Tauhid Zat, Sifat, dan Perbuatan

 Zat Allah SWT.
Kerancuan konsep keesaan tuhan (tauhid) jenis ini –tauhid uluhiyah hanya diidentikkan dengan tauhid dalam peribadatan- yang mengakibatkan kerancuan pengikut Wahaby dalam menentukan obyek syirik sehingga mereka pun akhirnya suka menuduh kaum muslimin yang bertawassul (mencari penghubung dengan Allah) dan bertabarruk (mencari berkah) sebagai bagian dari pebuatan syirik. Karena kaum Wahaby menganggap bahwa denga perbuatan itu –tawassul dan tabarruk- berarti pelakunya telah menyembah selain Allah. Disaat menyembah selain Allah berarti ia telah meyakini ketuhanannya karena tidak mungkin menyembah kepada selain yang diyakininya sebagai Tuhan.Islam dibawa oleh Muhammad bin Abdillah saw. Sebagaimana fungsi pengutusan para nabi terdahulu, Muhammad Rasulullah saw diutus untuk mengajarkan ajaran pengesaan (tauhid) Allah swt dan untuk menyebarkan agama Ilahi yang terkenal denga sebutan Islam. Islam adalah agama tauhid yang menentang segala macam jenis syirik (penyekutuan) Allah swt. Atas dasar itu semua mazhab-mazhab dalam Islam selalu menyerukan akidah tauhid sebagai penentangan atas akidah syirik.
Kaum yang mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy (baca: Wahaby) selain mereka merasa diri sebagai paling monoteisnya (ahli tauhid) makhluk di muka bumi maka dengan otomatis merekapun akhirnya suka menuduh kelompok muslim lainnya yang tidak sepaham sebagai pelaku syirik, penyekutu Allah swt. Padahal terbukti bahwa para pengikut muslim lain -selain Wahaby- pun telah mengikrarkan Syahadatin (dua kalimat syahadat) dengan ungkapan “Tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Kalimat ini sebagai bukti bahwa seseorang telah dinyatakan muslim (pengikut Islam Muhammad) dan telah terjauhkan dari ajaran syirik yang diperangi oleh agama Islam dari berbagai mazhab Islam manapun.
Dalam tulisan ringkas ini kita akan sebutkan secara global apa dan bagaimana konsep keesaan Tuhan menurut al-Quran sehingga dapat menjadi pedoman dalam menentukan tauhid atau syiriknya sebuah keyakinan. Sekaligus akan menjadi jawaban terhadap tuduhan kaum Wahhaby terhadap kaum muslimin lainnya. Untuk artikel kali ini kita hanya mencukupkan dengan menggunakan dalil teks agama saja yang mencakup al-Quran dan as-Sunnah. Adapun untuk artikel selanjutnya akan kita perluas dalil kita kepada dalil-dalil lain.
Dalam pembahasan akidah Islam yang berdasarkan al-Quran disebutkan bahwa para ulama telah membagi akidah tauhid menjadi beberapa bagian. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa tingkatan tauhid versi al-Quran:
Pertama: Tauhid dalam Dzat Allah swt
Tauhid Dzat juga dapat diistilahkan dengan Tauhid Dzati. Yang dimaksud dengan tauhid jenis ini adalah keyakinan bahwa Dzat Allah swt adalah satu dan tiada yang menyamai-Nya. Ajaran tauhid ini didasarkan atas ayat al-Quran yang tercantum dalam surat al-Ikhlash ayat 1 yang berbunyi: “Katakanlah: ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”.
Kedua: Tauhid dalam Penciptaan (Khaliqiyah)
Yang dimaksud dengan keyakinan tauhid dalam penciptaan adalah suatu keyakinan yang menyatakan bahwa di alam wujud ini tiada pencipta –yang menciptakan secara murni dan independent secara penuh- lain selain Allah swt semata. Dalam arti, tiada yang mampu untuk memberi kesan secara independent berkaitan dengan sebenap alam wujud –baik yang bersifat material, maupun non materi seperti ruh dan malaikat- secara murni melainkan karena perintah, kehendak dan izin Allah swt, karena Ia penguasa alam semesta. Ajaran tauhid semacam ini disandarkan kepada ayat al-Quran yang terdapat dalam surat ar-Ra’d ayat 16 yang berbunyi: “…Katakanlah: Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.
Ketiga: Tauhid dalam Pengaturan/Pemeliharaan (Rububiyah)
Yang dimaksud dengan keyakinan tauhid jenis ini adalah berkaitan dengan keyakinan bahwa di alam wujud hanya terdapat satu pengatur yang bersifat sempurna secara mutlak dimana tidak lagi memerlukan terhadap selainnya. Sang pengatur itu adalah Allah swt, Tuhan seru sekalian alam. Adapun berbagai pengaturan yang dilakukan oleh malaikat –sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran- dan makhluk lainnya semuanya dapat terjadi karena izin-Nya. Tanpa izin Allah swt niscaya pengaturan makhluk-makhluk lain tidak akan pernah terjadi. Keyakinan tauhid jenis ini disandarkan kepada ayat al-Quran dari surat Yunus ayat 3 yang berbunyi: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasyi untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesuadah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”
Yang dimaksud dengan kata “Syafi’” (pemberi syafa’at) dalam ayat di atas tadi adalah penyebab-penyebab lain yang bersifat vertical. Disebut vertical karena semua yang terjadi di alam ini terjadi secara beruntun dan keterkaitan antara hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang harus kembali kepada sebab yang tiada lagi perlu terhadap sebab lain. Sebab Maha Sempurna yang tidak lagi memerlukan sebab lain itu adalah Allah swt. Dalam ayat tadi, disebutkan kata “” (syafi’) –yang sama arti dengan kata “adh-Dham” (memasukkan/campurtangan)- karena kesan apapun di alam semesta ini yang dihasilkan oleh segala sesuatu selain Allah swt harus melalui izin Allah swt.
Keempat: Tauhid dalam Penentuan Hukum (Tasyri’iyah)
Yang dimaksud dengan tauhid pada jenis ini adala suatu keyakinan yang menyatakan bahwa, tiada yang layak untuk menentukan hukum syariat melainkan Allah swt. Dalam arti, tiada yang berhak –secara mutlak- menghalalkan dan mengharamkan atau memerintahkan dan melarang secara syar’i melainkan Allah swt. Ajaran tauhid ini disandarkan kepada ayat 40 dari surat Yusuf yang berbunyi: “…Sesungguhnya hukum itu hanyalah kepunyaan Allah”.
Kelima: Tauhid dalam Ketaatan
Yang dimaksud dengan tauhid jenis ini adalah keyakinan akan ketiadaan yang layak ditaati secara esensial dan mutlak melainkan Allah swt. Jika kita diperintahkan untuk taat kepada Nabi, orang tua, ulama dan sebagainya, itu semua karena ketaatan kita kepada Allah swt. Dikarenakan Allah-lah yang memerintahkan kita taat kepada mereka. Hanya melalui izin Allah akhirnya kita mentaati mereka. ajaran tauhid ini disandarkan kepada ayat 16 dari surat at-Taghabun yang berbunyi: “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atilah…”.
Keenam: Tauhid dalam Kekuasaan (Hakimiyah)
Yang dimaksud dengan konsep tauhid ini adalah keyakinan bahwa segenap manusia adalah sama dimana tidak ada yang dapat menguasai satu atas yang lainnya. Akan tetapi kekuasaan dan kepemimpinan (wilayah) hanyalah milik Allah swt semata. Atas dasar itu, barangsiapa yang mempraktekkan konsep kekuasaan dan kepemimpinan di alam ini maka ia harus mendapat izin (legalitas) dari Allah swt. Tanpa itu maka ia telah mencuri hak Allah swt sehingga meniscayakan murka-Nya. Ajaran tauhid jenis ini disandarkan pada ayat 57 dari surat al-An’am yang berbunyi: “…Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.

Ketujuh: Tauhid dalam Pemberian Ampun dan Syafaat
Yang dimaksud dengan ajaran tauhid ini adalah keyakinan bahwa hak mutlak untuk memberikan ampunan dan syafaat hanyalah milik Allah semata. Dan kalaupun ada beberapa makhluk –dari jajaran para nabi, rasul, para syuhada’ dan kekasih Allah (waliyullah)- yang juga dapat memberi syafaat maka itu semua adalah karena izin dari Allah. Mereka tidak dapat mendapat kemampuam pemberan syafaat melainkan melalui izin Allah. Ajaran tauhid ini disandarkan kepada ayat 255 dari surat al-Baqaran yang berbunyi: “…Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah melainkan dengan izin-Nya…”. dan surat Aali Imran ayat 135 yang berbunyi: “…dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?”.
Kedelapan: Tauhid dalam Peribadatan
Tauhid jenis ini berarti keyakinan bahwa tiada yang layak disembah melainkan Allah swt semata. Dan tiada yang layak disekutukan dalam masalah peribadatan dengan Allah swt. Ini adalah konsep tauhid yang telah menjadi kesepakatan segenap kaum monoteis (ahli tauhid). Tiada seorang ahli tauhid pun yang menyangkal keyakinan itu. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat yang sangat mencolok dalam masalah-masalah kecil –cabang dari pembahasan tadi- antara mayoritas mutlak Ahlusunah wal Jamaah dengan kelompok Wahaby (Salafy Gadungan) dalam masalah seperti istighosah kepada para wali Allah, meminta doa dan bertawassul kepada mereka yang hal-hal tadi digolongkan prilaku syirik ataukah tidak? Apakah keyakinan diperbolehkannya hal-hal semacam tadi tergolong syirik karen tergolong beribadah kepada selain Allah swt ataukah tidak? Alhasil, singkat kata, perbedaan mencolok antara Wahaby dan Ahlusunah wal Jamaah bukan terletak pada konsep teuhid dalam peribadatan, namun lebih pada penentuan obyek akidah tersebut. Pada kesempatan selanjutnya (artikel selanjutnya) akan kita bahas satu persatu ketidakpahaman dan kerancuan ajaran kaum Wahaby dalam memahami permasalah itu akhirnya menyebabkan mereka terjerumus dalam jurusan pengkafiran kelompok lain (takfir) yang tidak sepaham dengan doktrin ajarannya. Dari situ akhirnya ia disebut dengan “jama’ah takfiriyah” (kelompok pengkafiran).
Setelah kita mengetahui secara singkat dan global tentang pembagian tahapan ajaran tauhid yang sesuai dengan ajaran al-Quran maka dalam tulisan kali ini, marilah kita menengok sejenak kerancuan pembagian akidah tauhid versi Wahabi yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam jurang pengkafiran.
Dalam buku-buku karya ulama Wahaby –sebagai contoh dapat anda telaah dalam kitab at-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab yang disyarahi oleh Abdul Aziz bin Baz- akan kita dapati bahwa ajaran tauhid menurut kaum Wahaby hanya mereka bagi menjadi dua bagian saja; tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) dan tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah). Lantas tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) mereka artikan dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Sedang mereka tafsirkan tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah) dengan tauhid dalam peribadatan (ubudiyah). Dengan kata lain, kaum wahabi telah mengidentikkan ketuhanan (uluhiyah) dengan peribadatan (ubudiyah), dan pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) dengan penciptaan (khaliqiyah). Dan akan jelas sekali kasalahan fatal dalam pembagian, pengertian dan pengidentikan semacam ini. Akan kita buktikan secara ringkas di sini.
Dalam masalah pokok bagian pertama, yaitu tentang tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) mereka artikan dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Padahal yang dimaksud dengan pengaturan dan pemeliharaan (rububiyah) adalah pengaturan dan pemeliharaan alam semesta setelah tercipta, pasca penciptaan. Kata “ar-Rab” yang berarti pemilik (as-Shohib) memiliki tugas untuk mengatur dan memelihara yang dimilikinya (al-marbub). Sebagaimana pemilik (rab) kendaraan, rumah dan kebun yang bertugas untuk mengatur dan memelihara semua itu. Maka tauhid dalam pemeliharaan dan pengaturan (rububiyah) jelas berbeda dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Walaupun pemeliharaan dan pengaturan berasal dari penciptaan. Dalam arti, konsep tauhid dalam pemeliharaan dan pengaturan alam semesta adalah imbas dari konsep tauhid dalam penciptaan Allah atas alam semesta.
Dalam masalah pokok bagian kedua, yaitu tentang tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah) yang mereka tafsirkan dan identikkan dengan tauhid dalam peribadatan (ubudiyah). Jadi mereka jadikan tauhid dalam ketuhanan bertumpu pada ungkapan bahwa Tuhan (ilah) berarti obyek ibadah (ma’bud). Padahal Tuhan Hal itu memiliki banyak konsekuensi, bukan hanya sekedar obyek penghambaan. Jika kita lihat pada hakekatnya Tuhan (ilah) dan lafaz “Jalalah” (Allah) memiliki arti yang sama. Bedanya, kata “ilah” bersifat umum (nakirah) dan mencakup konsep universal tentang tuhan, namun “Allah” adalam nama obyek (isim ‘alam) yang bersifat khusus (makrifah) dan wujud riil (ekstensi) dari konsep universal tadi. Jadi sewaktu kita sebut kata “uluhiyah” yang berasal dari kata “ilah” maka tidak ada lain yang dimaksud melainkan kata “Allah” yang berarti lafadz Jalalah yang menunjukkan atas Tuhan Yang Esa (baca: satu), bukan hanya sekedar berarti “Dzat Yang disembah” (ma’bud). Kerancuan konsep keesaan tuhan (tauhid) jenis inilah yang mengakibatkan kerancuan pengikut Wahaby dalam menentukan obyek syirik sehingga mereka pun akhirnya suka menuduh kaum muslimin yang bertawassul (mencari penghubung dengan Allah) dan bertabarruk (mencari berkah) sebagai bagian dari pebuatan syirik. Karena kaum Wahaby menganggap bahwa dengan perbuatan itu –tawassul dan tabarruk- berarti pelakunya telah menyembah selain Allah. Disaat menyembah selain Allah berarti ia telah meyakini ketuhanannya karena tidak mungkin menyembah kepada selain yang diyakininya sebagai Tuhan.

Sifat Allah SWT.
Inilah BARANG BUKTi  KiTAB KiFAYATUL ‘AWAM :
Terjemahan kitab: ===Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama berkata : “ TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Ibnul Arabi dan Sanusi mengikuti pendapat ini===
Siapakah PENYUSUN DAFTAR SiFAT 50 PERTAMA KALi ?????
Jawab : Ajaran Sifat 20 atau akidah 50 di susun pertama kali oleh Syaikh As Sanusi ( lahir tahun 1437 M dan wafat tahun 1490 M ) dalam Kitab Umm Al Barahin…
Ajaran sifat 20 bukan lah susunan Abu Hasan Al Asy’ari.. Ini fakta sejarah internasional…
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa Mengimani dalil NAQLi (Al Quran dan Hadis adalah wajib hukum nya).. Murid SD pun tahu hal tersebut
Akan tetapi, apakah mengimani dalil aqli ( dalil akal ) yang dikarang OLEH Si PENYUSUN DAFTAR akidah  50 adalah mutlak wajib ????? Mari kita buktikan :
1. Dalam berbagai kitab kalam (kitab kuning) disebut kan tentang TEORi JAUHAR FARD (teori atom)… Menurut orang zaman dulu, atom (bahasa arab: jauhar fard) adalah benda yang amat halus, materi yang tidak dapat dibagi bagi lagi karena sangat halus nya..
Namun FATAL !!!!!!!!! Akal orang zaman dulu patah ketika perkembangan ilmu alam modern (ahli science modern) ternyata mampu membagi bagi atom menjadi electron, proton dan neutron…. Orang Islam yang pertama kali memaparkan teori tersebut ialah Abu Huzail al ‘Ulaaf tokoh Mu’tazilah dari Bashrah.. T
teori ini bersumber dari seorang filosof Yunani; DEMOCRiTOS… Teori Jauhar Al Fard sebenarnya dimaksud kan untuk menyanggah teori materi eternal (Al Maddah al Qadimah) yang di kemukakan oleh Aristoteles… Apakah dalil akal yang macam begini jika tidak kita percayai membuat kita jadi KAFiR ???? Tanya aja murid SD
2. Pada dalil kebaruan alam terdapat 7 pokok pembicaraan yang terkenal dengan sebutan mathalib sab’ah.. Syaikh Bajuri menyatakan : “mathalib sab’ah ini tidak dapat diketahui kecuali oleh orang orang yang rasikh atau yang sangat dalam ilmu nya”… Syaikh Sanusi menyatakan : “dengan mathalib sab’ah inilah si mukallaf akan selamat dari pintu jahannam yang tujuh”… Ini merupakan dalil akal yang bercampur filsafat Yunani yang mereka masukkan kedalam kitab kuning…
Apakah dalil akal yang macam begini, jika tidak kita percayai membuat kita jadi KAFiR ? akidah bukan dari orang orang filsafat
Ilmu mantiq yang berasal dari sikafir yunani digunakan untuk pembahasan akidah islam
Akidah yang benar adalah akidah Rasulullah S.A.W dan para sahabat nya r.a… Akidah bersifat tauqifiyyah dan ittiba’ pada Rasulullah S.A.W
Menurut penulis, sejumlah pembahasan ilmu kalam dalam kitab kuning merupakan model teologi yang telah dikembangkan oleh para pengikut Asy’ariyah, tidak selalu sama dengan pokok pemikiran Imam Abu Hasan Asy’ari.. Misal nya : Ajaran Sifat 20 di susun oleh Syaikh As Sanusi ( 1437 M- 1490 M ) dalam Kitab Umm Al Barahin… Ajaran sifat 20 bukan lah susunan Abu Hasan Al Asy’ari.. Ini fakta sejarah internasional…
Terdapat sejumlah kejanggalan ilmu kalam dalam kitab kuning, misal nya :
1. Pada dalil kebaruan alam terdapat 7 pokok pembicaraan yang terkenal dengan sebutan mathalib sab’ah ( silahkan check : Kitab Kifayatul Awam )
Syaikh Bajuri menyatakan : “mathalib sab’ah ini tidak dapat diketahui kecuali oleh orang orang yang rasikh atau yang sangat dalam ilmu nya”
Syaikh Sanusi menyatakan : “dengan mathalib sab’ah inilah si mukallaf akan selamat dari pintu jahannam yang tujuh”
JAWABAN SAYA :
Wahai Syaikh As Sanusi !!!! Bagaimana gerangan pendapat mu terhadap para Sahabat Rasulullah dan ulama ulama lain yang tidak menetap kan adanya Tuhan dengan perantaraan mathlab tujuh itu ?? Apakah lantaran itu pintu neraka jahannam menjadi terbuka bagi beliau beliau itu ?????
Wahai Syaikh Bajuri !!!!! apakah ilmu beliau beliau itu itu kurang rasikh atau tidak rasikh ???? Jangan mencampur akidah Islam dengan filsafat !!!!
2. Tentang bahagian bahagian alam.. Menurut orang orang mu’tazilah ; benda terdiri dari bagian bagian kecil yang tidak dapat dibagi bagi lagi (jauhar fard atau atom). Teori atom ini menjadi dasar pendapat mu’tazilah tentang kekuasaan Tuhan dan hubungan nya dengan alam…. Teori ini bersumber dari seorang filosof Yunani; DEMOCRiTOS yang masih di sengketakan di antara filosof filosof Yunani
Dengan demikian, akan timbul permasalahan sebagai berikut :
a. Kenapa dalam sejumlah kitab kuning; teori jauhar fard di anggap sebagai bagian dari akidah Islam versi Asy’ariyyah ??? Padahal sejarah pemikiran Islam membuktikan bahwa orang yang pertama kali memaparkan teori tersebut ialah Abu Huzail al ‘Ulaaf tokoh Mu’tazilah dari Bashrah.
b. Kalau penulis kitab Kifayatul Awam ingin membuktikan Tuhan dengan teori Jauhar Fard ( atom, dari bahasa Yunani : atomos; individed )… Bagaimana kah dengan penemuan baru bahwa atom terdiri dari proton, neutron dan electron ?
c. Teori tersebut bukan dari Islam… Itukah dalil aqli yang harus kita percayai ?
3.Al Qur an juga tidak menggunakan istilah istilah filsafat seperti jauhar, aradl dan sebagai nya.. karena agama tidak hanya untuk orang orang filosof
4.Membahas hukum hukum akal ( law of reason ) yang terbagi dalam tiga kategori :
– wajib pada akal, mustahil pada akal, jaiz pada akal .. Menurut para pengkaji; penggunaan hukum hukum ini di pengaruhi dialektika Yunani dan logika Aristoteles…..
.
Meyakini sifat 20  menjadi kewajiban umat islam Sunni dengan alasan alasan akal…
Penyusun daftar akidah sifat 20 adalah Abu Abdillah  Muhammad bin Yusuf As Sanusi (833 – 895 H / 1427 – 1490 M ) atau popular dengan panggilan Syaikh Sanusi  dari Tilimsan Negara Al Jazair, beliau mengarang kitab UMMUL  BARAHiN (Aqidah Sughra)
Sifat 20 atau akidah 50 merupakan tahrif terhadap sifat sifat Allah SWT
Apakah itu yang namanya tauhid ???
Saudaraku…
Yang pasti tidak ada dalil yang menyatakan sifat wajib Allah SWT  cuma dua puluh…
Lagipula Nabi SAW, sahabat dan para imam ahlul bait tidak pernah menyebut nyebut sifat 20 ataupun  akidah 50…
Pemahaman “Sifat Allah Yang Wajib Cuma 20″ bukan kebenaran mutlak dan bisa dikritik.
Pada masa Nabi  SAW, akidah belum bercampur dengan unsur unsur budaya luar, masalah baru muncul saat wilayah Islam meluas ke daerah non Arab yang mana daerah daerah tersebut sudah memiliki budaya sendiri…
Ilmu kalam pesantren menyusun akidah wajib dengan pemahaman filosofis sehingga sesuatu yang sebenarnya masih dalam tahap filsafat teoritis dinaikkan tingkat menjadi akidah…
Padahal yang namanya filsafat teoritis masih bersifat praduga sehingga mazhab sunni tidak lagi mengenal yang mana akidah dan yang mana filsafat…
Pandangan filosofis dianggap kebenaran mutlak dan disamarkan menjadi akidah wajib, disitulah letak kesalahan  Asy’ari dan penerus penerusnya
Misal : Terminologi seperti  jauhar, jisim, ‘aradh, jirim, jauhar fard dan daur tasalsul dalam kitab kuning  sunni  itu bukanlah akidah tetapi filsafat teoritis yang dipakai untuk membahas materi
Mareka mentahrif sifat Allah menjadi Cuma 20 saja, apakah itu kerjaan umat Islam dan apa itu yang namanya tauhid ???
Pemikiran  kalam tentang Sifat 20 sudah banyak yang kritik, tetapi sudah enak. Kalau mereka mau dikritik maka tidak mungkin umat islam hari ini selemah sekarang..
Dalam Al Quran ada 1108 ayat tentang sains tetapi ulama sunni tidak menelitinya secara mendalam sehingga menimbulkan ekses yang sangat buruk bagi perkembangan Islam
Kita diperintah meneliti alam (apa yang ada dilangit dan dibumi)  atau meneliti makhluk Nya, mengapa ulama sunni mengabaikan perintah tersebut lalu sibuk meneliti yang tidak dianjurkan yaitu  Zat Nya…
Kitab kuning dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak ada budaya kritik, memunculkan kekakuan pemikiran !!!
Misal : Menurut mereka, orang yang mampu menghapal sifat 20 atau akidah 50 sudah dianggap tauhidnya mendalam…
Doktrin dan pendidikan agama di sekolah harus ditulis ulang, jangan berhenti berijtihad kontemporer dalam segala aspek
Berimanlah kepada ayat ayat Allah secara total tanpa memilah antara ayat ayat alam dengan ayat ayat syari’at
Setiap gagasan teologi dalam kitab kuning harus dikaji ulang. Ulama sunni jangan mengharamkan apalagi mengkafirkan orang orang yang melakukan pengkajian tersebut
Faktanya, untuk memperbaiki gagasan teologi tersebut sangat sulit karena dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak boleh ada ijtihad susulan…
Tauhid pada kitab kuning sunni sulit di revisi karena manusia tidak mau memakai AKAL yang telah ALLAH berikan…
Apa dampak buruk kalam dan manthiq Yunani seperti  aristoteles terhadap mazhab sunni ??
Jawab :
Dampak buruknya adalah menyerupakan Tuhan dengan makhluk, sebab titik tolak logika Aristoteles yang tidak berbasis wahyu kan bertentangan dengan logika yang berbasis wahyu
Allah SWT bukanlah objek yang bisa dijadikan objek eksperimen oleh ulama sunni.. Ahli kalam sunni terlalu berani membuat eksperimen terhadap Dia. Dia Yang Agung yang tidak dapat dicapai oleh pandangan materi…
Penjabaran kalam sunni terlalu dipaksakan padahal Allah SWT  tidak pernah meminta kita untuk meneliti Zat Nya, tetapi yang diminta adalah meneliti ciptaan Nya agar semakin mengenal Dia
Apa dampak fatal manthiq Aristoteles terhadap akidah sunni ??
Jawab :
Manthiq aristoteles dengan tolak ukur materi sedangkan Allah SWT immateri (transedent)  sehingga logika aristoteles tidak bisa dijadikan akidah, karena akidah Islam tidak butuh filsafat yunani dalam penjabaran
Yang pasti Allah SWT memerintahkan kita meneliti Alam agar mengenal Nya, jadi bukan dengan meneliti Zat Nya…
Pada tauhid asma’ wa shifat hingga detik ini masih memunculkan polemic berkepanjangan antara hambaliyyah (termasuk wahabi) dengan kaum sunni tradisional seperti NU
Sifat Allah SWT adalah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at Nya…
Akal ahlul kalam sunni mempunyai batasan karena pengaruh ruang dan waktu, sementara Allah SWT tidak dibatasi oleh ruang dan waktu…
Teori jauhar, ‘aradh, jisim dll  YANG  SERiNG  DiSEBUT  SEBUT  DALAM KiTAB  KUNiNG  hanya berlaku untuk materi, bukan untuk membuktikan ada atau tidaknya Allah SWT karena Allah adalah immateri, tentu tidak bisa ditentukan keberadaan Nya dengan teori teori materi apalagi dengan teori yang masih bersifat trial and error (coba coba bisa gagal)
Kitab kuning teologi sunni banyak memakai istilah istilah Yunani untuk memahami tentang materi berdasarkan teori kebendaan.. lalu mereka pakai untuk menentukan keberadaan Allah SWT
.
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”.Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah  (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
bahwa kalam Asy’ari  dan  tasawuf adalah penyebab kemunduran Sunni  walaupun Asy’ariyah dan sufi  telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah  dan sufi sangat terbelakang di banding Barat.
Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat
Setiap generasi memiliki tantangan yang khas. Setiap tantangan menghasilkan pemecahan yang khas pula. Maka dari itu, tidak mengherankan satu peradaban yang dibangun oleh generasi tertentu memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan peradaban yang dibangun oleh generasi yang lain. Setiap keunikan dalam peradaban tersebut adalah kebaikan dalam dirinya sendiri. Artinya adalah bahwa tidak setiap kebaikan yang ada pada masa tertentu adalah kebaikan juga pada masa yang lain.Untuk itu perubahan demi perubahan seharusnya diupayakan sebagai usaha pembaruan sebagai respon dari tantangan zaman.
Mu’tazilah  dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21)
.
melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414)
Rumusan klasik di bidang teologi  sunni yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw.
.
Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya
.
Namun, untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Merekontruksi teologi sunni  klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia.
Rumusan klasik sunni  di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari fakta-fakta nyata kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif
.
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya)
.
Oleh karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar Islam lebih survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka perlu adanya perubahan diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia
metodologi teologi sunni  tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya.
teologi sunni tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial maka perlu beralih ke teologi syi’ah
Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah
.
“…Jika para pendahulu telah memulai muqaddimah konvensional mereka
yang bersifat keimanan itu dengan nama Allah;
maka kami memulainya atas nama bumi yang terampas, atas nama kemerdekaan, atas nama kebaikan,atas nama perlawanan,
atas nama persamaan dan keadilan, atas nama persatuan umat
atas nama kemajuan,atas nama kebangkitan umat,
atas nama cinta kemurnian, atas nama mereka yang terbungkam,
dan atas nama seluruh kaum Muslimin yang tertindas…”
.
Teologi sunni yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam sunni juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.
Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran
.
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena sinkritis ini tampak jelas dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
.
Dalam  kitab  kuning  Pesantren  tradisional  yaitu  Kitab  “Kifayatul  Awam” : Menurut  abu  hasan  al   asy’ari   “Wujud   adalah  maujud  itu  sendiri  maka  wujud  Allah  Ta’ala  adalah  Zat  Nya  sendiri, maka  jadilah  wujud  itu  bukan  sifat, maka  jadilah  sifat  sifat  yang  wajib  itu  12”
Saudaraku…
Imam  Al  Asy’ari  berpendapat  bahwa  sifat  ma’nawiyah  itu  tidak  ada,  yang  ada  adalah  sifat  ma’ani ( sumber  kutipan : Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997 )
Saudaraku…
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun  1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah  (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
saudaraku…
Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi sunni klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat
istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.
analisa realitas perlu dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
teologi sunni  dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin saya  terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati
————————————————————————————————————–
Khusus  tentang  kepercayaan  kepada  Allah  dan  Rasul, aliran tradisional  membahas hukum hukum  akal  ( law  of  reason ) yang  terbagi   dalam  tiga  kategori  : wajib, mustahil, dan  jaiz..  Menurut  para pengkaji, penggunaan  hukum hukum ini  dipengaruhi  dialektika  Yunani  dan  logika  Aristoteles
Sumber  kutipan :
1.   Mohd. Nor  Ngah, Kitab  Jawi : Islamic  Thought  Of  The  Malay  Muslim Scholars ( Singapore : Institute  of  Southeast  Asian  Studies, 1982 ) halaman  9
2. Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997
————————————————————————————————————–
Jawaban kami :
Hukum  akal  terbagi  tiga menurut  kaum  sunni  :
-  Wajib  pada  akal
-  Mustahil  pada  akal
-  Jaiz   pada  akal
Menurut  para pengkaji, penggunaan  hukum hukum ini  dipengaruhi  dialektika  Yunani  dan  logika  Aristoteles
Apakah  akidah  kepada  Allah  dan  Rasul  bisa  tegak  dengan  memakai  akal  akalan  ulama  penulis  kitab  kuning  ????? Pantas lah  umat  sunni   mundur dalam  pengamalan   akidah !!!!!!!!!
saudaraku….
http://syiahali.files.wordpress.com/2010/10/sifat20.jpg?w=257
Takrifan:1. Sifat Nafsiah – diri zat Allah swt, wujudNya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab
2. Sifat Salbiah – menafikan perkara-perkara yang tidak layak bagi Zat Allah swt atau hujah-hujah sifat yang membesarkan kelebihan zat yang Maha Agung itu daripada sekalian yang baharu
3. Sifat Ma’ani – sifat yang berdiri pada zat Allah swt, yakni sifat khusus yang dimiliki oleh Allah swt dan lazim melazimi pula ia dengan sifat ma’anawiyah
4. Sifat Ma’anawiyah – zat yang disebabkan suatu sebab akan wujudnya, yakni kelakuan zat atau fungsi zat yang mempunyai sifat ma’ani atau kelakuan sifat ma’ani yang digerakkan oleh zatNya.
http://syiahali.files.wordpress.com/2010/10/sifat20-istaghna_iftiqar.jpg?w=244
Takrifan:
ISTAGHNA – Sifat KEKAYAAN Allah swt
IFTIQAR – Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt
saudaraku….
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah  (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
Lalu bagaimana dengan hadits:
Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah.”
[Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677]
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya. Selain itu kalimat “…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah” bukan merupakan kalimat tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: “Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh”. Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya.
“Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”
nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. “Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”
——————————————————————————————
….. Demikianlah  ciri ciri utama pemikiran  tradisionalisme  tentang  ilmu tauhid  yang  bertolak  dari   Rukun  Iman. Diantara  rukun rukun tersebut, rukun yang pertama  atau  kepercayaan kepada  Allah  lebih dominant. Meskipun  rukun ini  diutamakan, tetapi hanya  berpusat  pada  ajaran sifat 20. Konsep  akidah  seperti  ini bukan saja dipengaruhi  dialektika  yunani  dan  logika  aristoteles, bahkan  dianggap  sempit   dan tidak  menyentuh  kehidupan  manusia.
Memerlukan  cara  baru  untuk  menulis  teologi. Keadaan  sosial, politik  dan filsafat  banyak  pengaruhnya terhadap  perkembangan  teologi  dalam  Islam, dengan tidak mengetahui  hal hal tersebut, pengetahuan  kita  tentang  teologi  Islam  akan  terasa  kurang  mempunyai  dasar yang kukuh…
Sumber  kutipan :
Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997
——————————————————————————————
Khusus  tentang  kepercayaan  kepada  Allah  dan  Rasul, aliran tradisional  membahas hukum hukum  akal  ( law  of  reason ) yang  terbagi   dalam  tiga  kategori  : wajib, mustahil, dan  jaiz..  Menurut  para pengkaji, penggunaan  hukum hukum ini  dipengaruhi  dialektika  Yunani  dan  logika  Aristoteles
Sumber  kutipan :
a.  Mohd. Nor  Ngah, Kitab  Jawi : Islamic  Thought  Of  The  Malay  Muslim Scholars ( Singapore : Institute  of  Southeast  Asian  Studies, 1982 ) halaman  9
b. Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997
—————————————————————
Saudaraku….
Kritik  dilancarkan terhadap  ajaran  tauhid  tradisional   yang  mengajarkan  sifat  20  yang  dianggap  berasaskan  logika  aristoteles (Sumber kutipan : A. Hassan, Kitab  Al  Tauhid (Penang: Persama  Press, 1959) hal. 23 -24…. Nik  Mohyideen  Musa, Pelajaran  Ilmu  Tauhid ( Kuala  Lumpur : Dewan  Bahasa  dan  Pustaka, 1979 ) halaman 102-104
—————————————————————
Saudaraku….
Mengenai  kepercayaan  kepada  Nabi  dan  Rasul, pembahasannnya  juga  menggunakan  hukum  hukum  akal.  Ada  empat  sifat  wajib, yaitu  shidiq, amanah, tabligh  dan  fathanah.  Sedangkan sifat  mustahil  ialah  yang  berlawanan  dengan  keempat  sifat  ini. Sifat  jaiz  bagi  rasul  ialah  sifat  sifat  sebagai  manusia  biasa  yang  tidak  merendahkan  martabat  mereka  sebagai  Nabi  dan  Rasul  ( Sumber kutipan : Hussain  bin  Nasir  Al  Banjari, Tamrin  al  Sibyan, halaman  14-15 ; idem, Hidayat  Al Sibyan, halaman 7; Haji  Mohd. Sharif  bin  Abdul  Rahman, al Muqaddimah  Al  Tauhidiyah (Pulau  Pinang : Abdullah B.M. nurdin  Al  Rawi, 1959), halaman 8-9
Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Saya melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung ingin tahu wujud Tuhan  menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik
Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang
Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogannya yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin
tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Syi’ah mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru.
adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat.
Artinya, teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata
Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam keseluruhan sistem serta bangunan keberagamaan kaum Muslim. Keabsahan semua rangkaian upacara keagamaan mereka sangat bergantung pada eksistensi tauhidnya
.
Membahas masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, 1903:9)
.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46)
.
Sementara Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8)
.
Di samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya, semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri
.
Dengan demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat mirip sebuah ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praksis untuk menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.
Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian berkarakter subversif: menantang mainstream status quo dan memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik, tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan transformatif
.
Namun, seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Diskursus teologi yang pada awalnya berkorelasi kuat dengan kenyataan aktual kemanusiaan, direduksi sedemikian rupa menjadi kumpulan wacana spekulatif yang tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan yang hidup dalam gerak sejarah. Berkembangnya tradisi keilmuan baru yang mewujud pada kerja sistematisasi, penyusunan formal (al-tadwin) dan spesialisasi bidang keilmuan, menyebabkan doktrin-doktrin tauhid tertransformasi ke dalam bangunan doktrinal baku, tertutup, teoritik dan kurang memiliki daya dorong sosial
.
Tauhid hanya mampu bergaung dalam karya-karya tulis, bukan berkibar di medan-medan tempur sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw. Demikianlah, ajaran tauhid kehilangan fungsi transformasinya. Ironisnya, pemahaman ajaran tauhid model ini yang kemudian diwarisi generasi umat Islam hingga sekarang.
Berpijak pada kemandegan pemikiran di bidang teologis yang tidak lagi memiliki fungsi sosial transformatif inilah, diperlukan penggalian ulang spirit of theology yang leberatif, progresif dan berkorelasi sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai core teologinya beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam konteks ini pembahasan tulisan ini difokuskan agar bisa keluar dari kungkungan dogmatis dan menawarkan metode pendekatan baru agar bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu kalam
.
Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar,
.
teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat
.
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan
.
tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. AlQur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal
.
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi
.
Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi
.
Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna
.
Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman
.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek
.
saya melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari’atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-’adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi
.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam
.
Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah
.
Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern
.
Pemahaman tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu ‘aqidah iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
.
Konsep Keadilan Sosial.
Konsep keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-’adl).
teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda.
Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-’adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia
.
Artinya realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula hanya akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia”, seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan menindas.
.
Konsep Spirituaitas Pembebasan.
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian
.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan
.
Oleh sebab itu, selain menumpukan diri pada gagasan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil
.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan
.
Dalam pada itu Isam sebagai entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak. Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya mengambi jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan “mengubah manusia untuk mengubah dunia”.
Rekomendasi ini niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan dan mandulnya beragan paradigma teologi Islam yang dianut mereka untuk memotivasi berlangsungnya proses transformasi sosial. Dua kenyataan inilah yang secara langsung menjadi basis historis mengapa rekontruksi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik kesimpulan betapa Islam dalam proses sejarah telah semakin jauh dari rasionalitas Tuhan ketika ia diturunkan
.
Terkait itulah rekontruksi terhadap teologi warisan Islam klasik ini menjadi hal yang sangat strategis guna memulai transformasi sosial umat secara total. Redefinisi teologi Islam klasik menuju teologi Islam yang transformatif akan memberikan signifikansi bagi kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks (Qur’an/hadits, ide-ide kemanusiaan) dan konteks kekinian. Pada saat berbarengan ia berpotensi pula menjadi motivasi reigius bagi umat untuk melakukan transformatif atas realitas ketertindasan yang mengkungkung mereka baik berupa ideologi Barat seperti developmentalisme atau kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri, termasuk “nilai-nilai agama”
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis antropomorpisme itu penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni pertama, dilevel wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad pertengahan, khususnya, di ranah teoogi. Disitu jargon-jargon semisal “membuka pintu Ijtihad” disatu sisi dan berlawanan dengan “pintu ijtihad telah tertutup” pada sisi yang lain akan menemukan momentum dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, dehumanisasi, dan sejenisnya.
Pada saat yang sama ia akan mendorong pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan sesuatu yang sudah dipastikan, seperti pemahaman teologi tradisional, melainkan sudah bersifat sosial—-tercipta oleh struktur-sistem yang memang menghendaki demikian
.
Paling tidak melalui dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali menjadi menemukan memontumnya dan akan dikagumi baik bagi umat Islam sendiri maupun dunia Barat.
Hari ini banyak perkara yang telah hilang dari umat Islam. Di antaranya ialah ilmu dan hikmah, kasih sayang, perpaduan, empayar, jemaah dan ummah. Mungkin kerana itu hilanglah wibawa umat Islam. Bila umat Islam tidak ada wibawa ertinya tidak ada kekuatan, lemah dan lumpuh. Akhirnya umat Islam seluruh dunia hari ini macam kain buruk atau debu-debu yang berterbangan yang tidak ada harga satu sen pun atau ibarat buih-buih di laut yang dipecah belahkan oleh ombak laut. Itulah yang sedang berlaku pada dunia Islam hari ini, akibat dari itu umat Islam menjadi hina. Hina disebabkan dijajah tapi jajah bentuk baru bukan bentuk lama. Penjajahan bentuk lama bersifat fizikal, tapi bentuk baru ini, kalau orang itu tidak kuat dengan Tuhan tidak prihatin, bukan sahaja awamul muslimin, ulama dan pemimpin Islam pun tidak faham, bahkan ulama dan pemimpin Islam sudah anggap kita sudah merdeka hari ini padahal kalau kita prihatin umat Islam hari ini dijajah bentuk baru. Penjajahan secara bentuk baru inilah yang umat Islam termasuk pemimpin dan ulama tidak faham.
Penjajahan bentuk baru yang sedang berlaku pada umat Islam hari ini yang besar-besarnya ialah:
  1. Ideology telah menjajah syariat atau ideology telah menjadi syariat. Semua negara Islam menggunakan ideology dari yahudi menggantikan syariat Islam.
  2. Pendidikan sudah dijajah. Daripada pendidikan yang bertunjangkan iman di tukar kepada pendidikan sekuler yang tidak dikaitkan dengan iman yang tidak bertunjangkan Tuhan.
  3. Ekonomi dunia dahulu dikuasai umat Islam yang bersifat khidmat, bersih dari riba, monopoli dan penindasan kini dijajah oleh ekonomi yang besifat riba, penzaliman, penindasan dan monopoli,
  4. Kebudayaan Islam yang bersih sudah dijajah oleh kebudayaan yang kotor, maksiat, bahkan sesetengah hal, telah diganti oleh kebudayaan yang lucah.
Penjajahan yang berbetuk rohani dan maknawi ini bukan sahaja umat Islam tidak faham tapi ulama dan pemimpin Islam pun tidak faham, sebab itu umat Islam hari berbangga umat Islam merdeka tapi hakikatnya belum merdeka, sebab sebenarnya penjajahan sekarang bertukar dari penjajahan bentuk lama ke bentuk baru. Kalau dahulu berbetuk fizikal tapi sekarang berbentuk maknawi dan rohani. Ini hakikatnya yang sedang berlaku pada umat Islam pada hari ini.
Umat Islam Indonesia adalah ahlus sunnah waljama’ah, yang mayoritasnya adalah pengikut Aqidah Asy’ariyyah. Aqidah Asy’ariyyah ditandai dengan keimanan kepada sifat 20; serta menakwil sifat-sifat Allah yang lainnya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok salaf sunni, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.
Para ulama salaf sunni  sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125)
.
Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289)
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah[2] (320-324/330 H) yaitu Allah SWT  memiliki wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain tetapi berbeda dengan makhluk, akidah seperti ini adalah akidah salafi wahabi yang dicela  Nahdlatul  Ulama dan Asya’irah
(2) Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Siapa yang merenungkan kitab Shahih BUKHARi dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara.
Asya’irah Menentang Abu Hasan Al Asy’ari !!! Kontradiksi
Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852).
Kesimpulan :
Akidah syi’ah imamiyah menta’wilkan tangan Allah, menta’wilkan wajah Allah dll
Jadi  yang  sesat  Abu  Hasan Al Asy’ari  ataukah  syi’ah imamiyah ???
Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:
فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين: 229)
Pendidikan dan pengaruh Mu’tazilah tidak bisa dilepaskan dari al-Asy’ari yang dibuktikan dengan dialektiaka yang tetap ia gunakan meskipun sudah keluar dari Mu’tazilah. Hanya saja ia menggunakan pendekatan dialektis dan logis untuk mendukung pendapatnya dalam mengukuhkan madzhab Asy’ariyah. Ia menggunakan filsafat bukan sebagai kebenaran itu filsafat itu sendiri, tetapi ia memakainya sebagai alat untuk mengungkap dan memperjelas argumennya
.
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy’ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy’ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dan kelemahan itu diantaranya:
.
• Asy’ari cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
• Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
• Konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.
Dari uraian-uraian diatas kita bisa mengetahui berbagai polemic-polemik permasalahan yang muncul pada tubuh Asy’ariah dalam doktrin aqidah islamiah. Di satu sisi karena pangaruh Al Ghozali dengan paparan argumenya yang logis, Asy’ariah bisa berkembang dengan begitu pesat, di sisi lain Asy’ariah seakan mambodohi masyarakat dengan konsep kasb nya yang sulit untuk dimengerti dan malah cenderung membingungkan banyak orang. Malah di sebutkan dalam kitab Jawharat al-Tawhid,
Wa ‘indana li al-’abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu’atstsir-an fa ‘l-ta’rifa
Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb,
Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh
Jadi, intinya manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya.
dalam proses perkembangan paham Asy’ari, konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya
Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Barangkali di masa itu kebutuhan untuk menjawab tantangan aqidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena di masa itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen kalangan ahli logika ketika menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode aqidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Bila dilihat dari kaca lain seperti di zaman di mana tantangan akal ini tidak lagi mendominasi, bisa saja terasa agak janggal karena metode akal atau rasio yang digunakan terasa kurang relevan lagi.
Karena itu wajar bila dikritisi lebih detail, ada saja hal-hal yang dirasa kurang pas dan relevan lagi. Sebagian para pengkritik menyataskan bahwa paham As’ariyah menyalahi ahlussunnah wa al-jamaah dalam lima belas masalah, salah satunya adalah masalah asma’ dan sifat. Meski demikian, para pendukung mazhab Asy‘ari juga punya argumen yang membenarkan pendapat mereka.
Penyebaran Aqidah Asy-”ariyah
Aqidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul Muluk pad dinasti ani Saljuq dan seolah menjadi aqidah resmi negara.
Semakin berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah,baik yang ada di Baghdad maupun di kotaNaisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Jugadidukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi”i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa aqidah Asy-”ariyah ini adalah aqidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Para Ulama yang Berpaham Asy-”ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham aqidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
* Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
* Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
* Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
* Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
* Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Cak Nur juga menyoroti sisi kelemahan paham ini untuk dijadikan bahan refleksi. Kelemahan paham Asy’ariyah menurut Cak Nur terletak pada Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Al-Asy’ari sebetulnya hendak menengahi dua kubu ekstrim yang berkembang ketika itu. Kedua kubu tersebut adalah paham Jabariyah yang cenderung fatalistik dan menganggap manusia ibarat robot, sudah didesain dan dikendalikan. Namun paham ini ditolak oleh Qadariyah, mengatakan manusia mempunyai kebebasan bertindak dan menentukan pilihan (free will). Al-Asy’ari memberikan format baru dengan konsep kasb. Tetapi konsep tersebut dipandang sulit dipahami oleh Cak Nur dan cenderung fatalistik. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.
Cak Nur lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiah, tokoh reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua tindakan manusia tidak dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap mempunyai kemerdekaan bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan kehendak (iradah) yang dengannya manusia mampu memilih jalan hidup.
Sangat tampak kritisisme Cak Nur dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan dan absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa yang dimaksudkan al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic sekalipun dalam syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan manusia tidak bebas dan tidak pula terpaksa. Dalam hemat penulis apa yang dimaksudkan Ibnu Taymiah juga dimaksudkan oleh al-Asy’ari. Kelihatannya al-Asy’ari menemui kesulitan untuk menjelaskan maksud itu. Namun, tawaran Cak Nur juga baik karena yang dilihat adalah aspek kemaslahatan supaya konsep free will lebih mudah dipahami.
Sebetulnya antara al-Asy’ari dan Ibnu Taymiah juga sepakah ketidak-setujuan keduanya terhadap pendekatan Qadariyah atau pun Jabariyah. Keduanya hendak menengahi antara kedua kubu sehingga konsepnya lebih bisa diterima. Sebab, sikap moderat adalah kecenderungan mayoritas. Tetapi bukan masalah kecenderungan—dalam hemat penulis—tetapi pijakan kedua tokoh itu konsistensi pada kebenaran.
Secara eksplisit tulisan Cak Nur menjelaskan, di samping keunggulan di bidang metodologi, kelebihan paham Asy’ariyah juga karena kepiawaian pendirinya memanfaatkan logika dan filsafat untuk menjelaskan konsep Asy’ariyah. Melalui kekuatan argumentasinya ia mampu memukau ilmuan modern dan teolog Kristen.
Paham teologi Asy’ari termasuk paham teologi tradisional,
yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang
leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu’tazilah
dan Salafiyah, tetapi “benang merah” sebagai jalan tengah
yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak
Mu’tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali
lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang
bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]
Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy’ari lebih baik
memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.
Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang
pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi
zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy’ari juga
tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.
Sebenarnya, nama asli Imam Asy’ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy’ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Abu al-Hasan al-Asy’ari pada mulanya belajar membaca,
menulis dan menghafal al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya,
yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir
dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah
al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’kub, Abdur Rahman
Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih
Syafi’i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340
H./951 M.) -seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Sampai umur
empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba’i, serta
ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran
Mu’tazilah. [9]
Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan
al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Untuk hal
ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab
meninggalkan atau keluar dari Mu’tazilah. Sebab klasik yang
biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena
terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran
pokok Mu’tazilah, yaitu masalah “keadilan Tuhan.” Mu’tazilah
berpendapat, “semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari
manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,
kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti
menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan
manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa ‘l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy’ari (A) – Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga
orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam
bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam
keadaan masih kecil.
Aldubba’i (J) – yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir
masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.
A – Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih
baik di Sorga, mungkinkah?
J – Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan
jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil
belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.
A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan
salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang
taqwa itu.
J – Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,
jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan
engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah – Red) matikan
engkau adalah untuk kemaslahatanmu.
A – Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, “Ya Tuhanku
Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?
Al-Jubba’i menjawab, “Engkau gila, (dalam riwayat lain
dikatakan, bahwa Al-Jubba’i hanya terdiam dan tidak
menjawab). [11]
Dalam percakapan di atas, al-Jubba’i, jagoan Mu’tazilah itu,
tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh
al-Asy’ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah
ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy’ari sendiri untuk
memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang
Mu’tazilah.
Bagi Mu’tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan
protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai
dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di
sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan
tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan
bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,
tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan
orang-orang yang taqwa.
Di alam akhirat, menurut Mu’tazilah, tidak ada lagi
perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah
mendapati al-Wa’ad wa al-Wa’id. Dia sudah menepati janji.
Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan
jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan
masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka
bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan
Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan
ajaran-ajaran Mu’tazilah karena pernah bermimpi melihat
Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada
bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi
kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal
tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan
itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah
yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.
[15]
Diriwayatkan bahwa al-Asy’ari sebelum mengambil keputusan
untuk keluar dari Mu’tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya
selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu
naik mimbar dan menyampaikan:
“Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah makhluk; Allah
swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin
di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya
sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya
lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya
lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar
dari kekejian dan skandal Mu’tazilah.” [16]
Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas
dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita
ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy’ari meninggalkan faham
Mu’tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan
ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,
sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di
kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi
kesamaan yang sangat mirip.
Al-Asy’ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar
pada Mu’tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas
menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,
sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran
al-Asy’ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa
tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy’ari memakai
ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang
Mu’tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,
penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali
menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan
bid’ah dan kufur. Al-Asy’ari melakukan sanggahan terhadap
Mu’tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran
Mu’tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang
bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan
aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah
buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan
al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,
kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam
sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,
baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf
dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut
al-Falasifah (kesalahan para filsuf).
Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa
al-Asy’ari adalah para tokoh Mu’tazilah, karena itu
sanggahannya tertuju langsung pada Mu’tazilah. Sementara
para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional
Mu’tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap
aliran al-Asy’ari harus dengan tegas pula melakukan
sanggahan terhadap filsuf.
Pemikiran al-Asy’ari yang asli baru dapat diketahui setelah
ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu’tazilah dan
pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad
bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari
penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia
hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh
nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis
dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah
sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur’an.
[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan
mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang
sakral dianggap suatu bid’ah. Setiap dogma harus dipercayai
tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh
al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan
keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui
ajaran-ajaran al-Asy’ari, kita dapat melihat pada
kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:
1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama
dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber
yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:
a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2.Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang
kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya
terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam
buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu’tazilah.
3.Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala ahl al-Zaigh wa al-bida’,
berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu Kalam.
Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang
terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma’. Yang
pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam
arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu’tazilah.
Sedangkan buku kedua (al-Luma’), peranan akal lebih tinggi
dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran
kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu
kalam. [19]
Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy’ari pada kitabnya
al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar
dari Mu’tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam
rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,
sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap
Mu’tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang
dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini
dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan
teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,
maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh
itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya
terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah
mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,
menampakkan sikap bencinya terhadap Mu’tazilah lebih nyata.
Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis
langsung setelah al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah.
Lain halnya dengan kitabnya al-Luma’, yang ditulis setelah
kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy’ari
dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma’,
argumentasi rasional al-Asy’ari menonjol kembali dalam
memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi
metaforisnya (ta’wil). Kecenderungannya pada metode kaum
Mu’tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak
paham teologi al-Asy’ari.
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap
al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi
kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan
berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.
Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah barang tentu al-Asy’ari
berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm). Yang benar, Tuhan itu
mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan
sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]
Disini terlihat, al-Asy’ari menetapkan sifat kepada Tuhan
seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,
sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa
sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan
makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, “Siapa yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi
“Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku,” lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya.” [21]
Lain halnya dengan al-Asy’ari, baginya arti sifat tidak jauh
berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi
al-Asy’ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,
dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy’ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari
paradoks. [22]
Bagi Mu’tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak
mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang
mengetahui (‘Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan
(‘Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy’ari yang
lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy’ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata al-Asy’ari, hanyalah yang tak punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]
Argumen al-Qur’an yang dimajukannya antara lain,
“Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah” (QS. al-Qiyamah: 22-23).
Menurut al-Asy’ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa
berarti memikirkan seperti pendapat Mu’tazilah, karena
akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti
menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada
penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]
Sungguhpun al-Asy’ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin
nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,
namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat
dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy’ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta’wilkan ayat yang berikut ini:
Artinya: “Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia
dapat mengangkat penglihatannya.” (al-An’am: 103) Ayat
tersebut di atas diartikan oleh al-Asy’ari, bahwa yang
dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan
sebagian dari pemikiran al-Asy’ari tentang tauhid. Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.
Al-Asy’ari, seperti Mu’tazilah, meyakini bahwa Allah adalah
Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham
al-Shalah wa al-Ashlah Mu’tazilah, artinya, Tuhan wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy’ari, bebas memperbuat apa yang
kehendaki-Nya. [28]
Al-Asy’ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya “menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya,” yaitu seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy’ari, kalau Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut
pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah
berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy’ari ini mirip dengan paham sebagian
umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang
raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,
bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada
undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy’ari menganalogikan bahwa
Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun
yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di
akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya
seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup
menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy’ari, selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan
absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy’ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham
Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy’ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy’ari, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]
Melihat kepada pengertian, “sesuatu yang timbul dari yang
berbuat” mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan
bahwa “kasb itu adalah ciptaan Tuhan” menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya
kasb oleh Tuhan adalah ayat:
“Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.” (QS.
al-Shaffat 37:96)
Jadi dalam paham al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia
adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)
bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,
dapat dilihat dari pendapat al-Asy’ari tentang kehendak dan
daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy’ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
“Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki” (QS.
al-Insan 76:30).
Ayat ini diartikan oleh al-Asy’ari bahwa manusia tak bisa
menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,
dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam
perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki
dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu
mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu
besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham
al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,
daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh
dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah
daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan.
Karena manusia dalam teori kasb al-Asy’ari tidak mempunyai
pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli
menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan
Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,
sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga
berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy’ari
kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya
Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy’ari telah gagal dengan konsep
kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan
Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya
al-Asy’ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham
Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya
kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang
sudah kita uraikan di atas, al-Asy’ari menegaskan bahwa kasb
manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan
perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy’ari itu tidak
masuk akal. [46]
PENGARUH KALAM AL-ASY’ARI
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi
al-Asy’ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang
lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Allah.
Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan
kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat
Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu
berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk
menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak
perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab
undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Karena teologi al-Asy’ari didirikan atas kerangka landasan
yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang
lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia
dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi al-Asy’ari ialah karena sejak
awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya – umat
Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.
Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy’ari telah berhasil
menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini
membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai paham resmi pada waktu
itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy’ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,
al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran
itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat
Islam menganutnya sampai detik ini.
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi
al-Asy’ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya
terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis
dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan
demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran
dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham
al-Asy’ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh
negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran
rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy’ari, mempunyai daya yang
lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,
yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain
dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat
mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat
merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat
kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed
Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
al-Asy’ari. [49]
Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan
manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan
lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa
terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham
Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak
Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab
atasnya.
Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti
rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan
manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan
merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan
takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang
terjadi.
Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil
bahwa faham teologi al-Asy’ari mempunyai basis yang kuat
pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara
hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi
teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.
CATATAN
1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,
tahun 1976, h. 46
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy’ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-lbanah ‘an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy’ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3
3.Abu Musa al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat
Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali
Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy’ari,
Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu’tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310
6.Hamuddh, Al-Asy’ari, hal. 60
7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29
8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.
36
9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain
al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93
10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu’tazilah. Bairut, 1974, h. 102
11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,
h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm
al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy’ari, h.65
12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.
159.
13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan
perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu’tazilah, dapat
dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah
al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,
Iskandiyah, h. 41
17.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah’an Ushul al-Dinayah,
Mesir,1397 H. H.8
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
19.Hasan Mahmud al-Asy’ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa
Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38
20.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ Fi al-Rad’ala ahl
al-Zaigh wa al-Bida’, Kairo, 1965, h. 30
21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz
M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50
23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51
24.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,
Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy’ari, Ibid, h. 13
26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,
27.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 16
28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 71
32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167
33.Mahmud Kasim, h. 168
34.Ibid.
35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,
Kairo, tt., h.205
36.Al-Asy’ari, al-Luma’, h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 57
41.Ibid, h. 41
42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,
1971, h. 562
43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,
1981, h. 133-134
44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205
45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.
112
46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17
47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34
48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.
472 473.
para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman pengikutnya.
Umat Islam Indonesia adalah ahlus sunnah waljama’ah, yang mayoritasnya adalah pengikut Aqidah Asy’ariyyah. Aqidah Asy’ariyyah ditandai dengan keimanan kepada sifat 20; serta menakwil sifat-sifat Allah yang lainnya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok salaf sunni, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.
Para ulama salaf sunni  sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125)
.
Sedangkan di dalam kitab Maqalat beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah (maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah. (Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
dalam fase kedua ini al-Asy’ari menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin Kadzibil muftari hal. 289)
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah[2] (320-324/330 H) yaitu Allah SWT  memiliki wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain tetapi berbeda dengan makhluk, akidah seperti ini adalah akidah salafi wahabi yang dicela  Nahdlatul  Ulama dan Asya’irah
(2) Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Siapa yang merenungkan kitab Shahih BUKHARi dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara.
Asya’irah Menentang Abu Hasan Al Asy’ari !!! Kontradiksi
Klaim bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi (676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852).
Kesimpulan :
Akidah syi’ah imamiyah menta’wilkan tangan Allah, menta’wilkan wajah Allah dll
Jadi  yang  sesat  Abu  Hasan Al Asy’ari  ataukah  syi’ah imamiyah ???
Bahkan imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para salaf shalih) mengatakan:
فهذه جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين: 229)
Meyakini sifat 20  menjadi kewajiban umat islam Sunni dengan alasan alasan akal…
Penyusun daftar akidah sifat 20 adalah Abu Abdillah  Muhammad bin Yusuf As Sanusi (833 – 895 H / 1427 – 1490 M ) atau popular dengan panggilan Syaikh Sanusi  dari Tilimsan Negara Al Jazair, beliau mengarang kitab UMMUL  BARAHiN (Aqidah Sughra)
Sifat 20 atau akidah 50 merupakan tahrif terhadap sifat sifat Allah SWT
Apakah itu yang namanya tauhid ???
Saudaraku…
Yang pasti tidak ada dalil yang menyatakan sifat wajib Allah SWT  cuma dua puluh…
Lagipula Nabi SAW, sahabat dan para imam ahlul bait tidak pernah menyebut nyebut sifat 20 ataupun  akidah 50…
Pemahaman “Sifat Allah Yang Wajib Cuma 20″ bukan kebenaran mutlak dan bisa dikritik.
Pada masa Nabi  SAW, akidah belum bercampur dengan unsur unsur budaya luar, masalah baru muncul saat wilayah Islam meluas ke daerah non Arab yang mana daerah daerah tersebut sudah memiliki budaya sendiri…
Ilmu kalam pesantren menyusun akidah wajib dengan pemahaman filosofis sehingga sesuatu yang sebenarnya masih dalam tahap filsafat teoritis dinaikkan tingkat menjadi akidah…
Padahal yang namanya filsafat teoritis masih bersifat praduga sehingga mazhab sunni tidak lagi mengenal yang mana akidah dan yang mana filsafat…
Pandangan filosofis dianggap kebenaran mutlak dan disamarkan menjadi akidah wajib, disitulah letak kesalahan  Asy’ari dan penerus penerusnya
Misal : Terminologi seperti  jauhar, jisim, ‘aradh, jirim, jauhar fard dan daur tasalsul dalam kitab kuning  sunni  itu bukanlah akidah tetapi filsafat teoritis yang dipakai untuk membahas materi
Mareka mentahrif sifat Allah menjadi Cuma 20 saja, apakah itu kerjaan umat Islam dan apa itu yang namanya tauhid ???
Pemikiran  kalam tentang Sifat 20 sudah banyak yang kritik, tetapi sudah enak. Kalau mereka mau dikritik maka tidak mungkin umat islam hari ini selemah sekarang..
Dalam Al Quran ada 1108 ayat tentang sains tetapi ulama sunni tidak menelitinya secara mendalam sehingga menimbulkan ekses yang sangat buruk bagi perkembangan Islam
Kita diperintah meneliti alam (apa yang ada dilangit dan dibumi)  atau meneliti makhluk Nya, mengapa ulama sunni mengabaikan perintah tersebut lalu sibuk meneliti yang tidak dianjurkan yaitu  Zat Nya…
Kitab kuning dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak ada budaya kritik, memunculkan kekakuan pemikiran !!!
Misal : Menurut mereka, orang yang mampu menghapal sifat 20 atau akidah 50 sudah dianggap tauhidnya mendalam…
Doktrin dan pendidikan agama di sekolah harus ditulis ulang, jangan berhenti berijtihad kontemporer dalam segala aspek
Berimanlah kepada ayat ayat Allah secara total tanpa memilah antara ayat ayat alam dengan ayat ayat syari’at
Setiap gagasan teologi dalam kitab kuning harus dikaji ulang. Ulama sunni jangan mengharamkan apalagi mengkafirkan orang orang yang melakukan pengkajian tersebut
Faktanya, untuk memperbaiki gagasan teologi tersebut sangat sulit karena dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak boleh ada ijtihad susulan…
Tauhid pada kitab kuning sunni sulit di revisi karena manusia tidak mau memakai AKAL yang telah ALLAH berikan…
Apa dampak buruk kalam dan manthiq Yunani seperti  aristoteles terhadap mazhab sunni ??
Jawab :
Dampak buruknya adalah menyerupakan Tuhan dengan makhluk, sebab titik tolak logika Aristoteles yang tidak berbasis wahyu kan bertentangan dengan logika yang berbasis wahyu
Allah SWT bukanlah objek yang bisa dijadikan objek eksperimen oleh ulama sunni.. Ahli kalam sunni terlalu berani membuat eksperimen terhadap Dia. Dia Yang Agung yang tidak dapat dicapai oleh pandangan materi…
Penjabaran kalam sunni terlalu dipaksakan padahal Allah SWT  tidak pernah meminta kita untuk meneliti Zat Nya, tetapi yang diminta adalah meneliti ciptaan Nya agar semakin mengenal Dia
Apa dampak fatal manthiq Aristoteles terhadap akidah sunni ??
Jawab :
Manthiq aristoteles dengan tolak ukur materi sedangkan Allah SWT immateri (transedent)  sehingga logika aristoteles tidak bisa dijadikan akidah, karena akidah Islam tidak butuh filsafat yunani dalam penjabaran
Yang pasti Allah SWT memerintahkan kita meneliti Alam agar mengenal Nya, jadi bukan dengan meneliti Zat Nya…
Pada tauhid asma’ wa shifat hingga detik ini masih memunculkan polemic berkepanjangan antara hambaliyyah (termasuk wahabi) dengan kaum sunni tradisional seperti NU
Sifat Allah SWT adalah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at Nya…
Akal ahlul kalam sunni mempunyai batasan karena pengaruh ruang dan waktu, sementara Allah SWT tidak dibatasi oleh ruang dan waktu…
Teori jauhar, ‘aradh, jisim dll  YANG  SERiNG  DiSEBUT  SEBUT  DALAM KiTAB  KUNiNG  hanya berlaku untuk materi, bukan untuk membuktikan ada atau tidaknya Allah SWT karena Allah adalah immateri, tentu tidak bisa ditentukan keberadaan Nya dengan teori teori materi apalagi dengan teori yang masih bersifat trial and error (coba coba bisa gagal)
Kitab kuning teologi sunni banyak memakai istilah istilah Yunani untuk memahami tentang materi berdasarkan teori kebendaan.. lalu mereka pakai untuk menentukan keberadaan Allah SWT
.
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”.Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah  (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
bahwa kalam Asy’ari  dan  tasawuf adalah penyebab kemunduran Sunni  walaupun Asy’ariyah dan sufi  telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah  dan sufi sangat terbelakang di banding Barat.
Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat
Setiap generasi memiliki tantangan yang khas. Setiap tantangan menghasilkan pemecahan yang khas pula. Maka dari itu, tidak mengherankan satu peradaban yang dibangun oleh generasi tertentu memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan peradaban yang dibangun oleh generasi yang lain. Setiap keunikan dalam peradaban tersebut adalah kebaikan dalam dirinya sendiri. Artinya adalah bahwa tidak setiap kebaikan yang ada pada masa tertentu adalah kebaikan juga pada masa yang lain.Untuk itu perubahan demi perubahan seharusnya diupayakan sebagai usaha pembaruan sebagai respon dari tantangan zaman.
Mu’tazilah  dipelopori oleh Wasil ibn Atho’. Mu’tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21)
.
melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414)
Rumusan klasik di bidang teologi  sunni yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw.
.
Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya
.
Namun, untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Merekontruksi teologi sunni  klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia.
Rumusan klasik sunni  di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari fakta-fakta nyata kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif
.
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya)
.
Oleh karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar Islam lebih survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka perlu adanya perubahan diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia
metodologi teologi sunni  tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya.
teologi sunni tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial maka perlu beralih ke teologi syi’ah
Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah
.
“…Jika para pendahulu telah memulai muqaddimah konvensional mereka
yang bersifat keimanan itu dengan nama Allah;
maka kami memulainya atas nama bumi yang terampas, atas nama kemerdekaan, atas nama kebaikan,atas nama perlawanan,
atas nama persamaan dan keadilan, atas nama persatuan umat
atas nama kemajuan,atas nama kebangkitan umat,
atas nama cinta kemurnian, atas nama mereka yang terbungkam,
dan atas nama seluruh kaum Muslimin yang tertindas…”
.
Teologi sunni yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam sunni juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.
Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran
.
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena sinkritis ini tampak jelas dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
.
Dalam  kitab  kuning  Pesantren  tradisional  yaitu  Kitab  “Kifayatul  Awam” : Menurut  abu  hasan  al   asy’ari   “Wujud   adalah  maujud  itu  sendiri  maka  wujud  Allah  Ta’ala  adalah  Zat  Nya  sendiri, maka  jadilah  wujud  itu  bukan  sifat, maka  jadilah  sifat  sifat  yang  wajib  itu  12”
Saudaraku…
Imam  Al  Asy’ari  berpendapat  bahwa  sifat  ma’nawiyah  itu  tidak  ada,  yang  ada  adalah  sifat  ma’ani ( sumber  kutipan : Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997 )
Saudaraku…
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun  1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah  (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
saudaraku…
Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi sunni klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat
istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.
analisa realitas perlu dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
teologi sunni  dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin saya  terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati
————————————————————————————————————–
Khusus  tentang  kepercayaan  kepada  Allah  dan  Rasul, aliran tradisional  membahas hukum hukum  akal  ( law  of  reason ) yang  terbagi   dalam  tiga  kategori  : wajib, mustahil, dan  jaiz..  Menurut  para pengkaji, penggunaan  hukum hukum ini  dipengaruhi  dialektika  Yunani  dan  logika  Aristoteles
Sumber  kutipan :
1.   Mohd. Nor  Ngah, Kitab  Jawi : Islamic  Thought  Of  The  Malay  Muslim Scholars ( Singapore : Institute  of  Southeast  Asian  Studies, 1982 ) halaman  9
2. Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997
————————————————————————————————————–
Jawaban kami :
Hukum  akal  terbagi  tiga menurut  kaum  sunni  :
-  Wajib  pada  akal
-  Mustahil  pada  akal
-  Jaiz   pada  akal
Menurut  para pengkaji, penggunaan  hukum hukum ini  dipengaruhi  dialektika  Yunani  dan  logika  Aristoteles
Apakah  akidah  kepada  Allah  dan  Rasul  bisa  tegak  dengan  memakai  akal  akalan  ulama  penulis  kitab  kuning  ????? Pantas lah  umat  sunni   mundur dalam  pengamalan   akidah !!!!!!!!!
saudaraku….
http://syiahali.files.wordpress.com/2010/10/sifat20.jpg?w=257
Takrifan:1. Sifat Nafsiah – diri zat Allah swt, wujudNya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab
2. Sifat Salbiah – menafikan perkara-perkara yang tidak layak bagi Zat Allah swt atau hujah-hujah sifat yang membesarkan kelebihan zat yang Maha Agung itu daripada sekalian yang baharu
3. Sifat Ma’ani – sifat yang berdiri pada zat Allah swt, yakni sifat khusus yang dimiliki oleh Allah swt dan lazim melazimi pula ia dengan sifat ma’anawiyah
4. Sifat Ma’anawiyah – zat yang disebabkan suatu sebab akan wujudnya, yakni kelakuan zat atau fungsi zat yang mempunyai sifat ma’ani atau kelakuan sifat ma’ani yang digerakkan oleh zatNya.
http://syiahali.files.wordpress.com/2010/10/sifat20-istaghna_iftiqar.jpg?w=244
Takrifan:
ISTAGHNA – Sifat KEKAYAAN Allah swt
IFTIQAR – Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt
saudaraku….
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Sifat 20 ternyata bukan bersumber dari ajaran Al Asy’ari, tetapi dari Muhammad bin Yusuf As Sanusi ( wafat 1490 ) melalui risalah yang berjudul : Umm Al Barahin..
Syaikh Abu ’Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Sanusi ( lahir tahun 1427 M di Tilimsan Aljazair dan wafat pada tahun 1490 M ) telah mengajarkan ajaran pengkafiran,
sebagaimana yang dikutip dalam kitab kuning “KiFAYATUL ‘AWAM” karya Syaikh Muhammad Al Fudhali yang berbunyi sbb: “”Adapun taklid yakni mengetahui akidah akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalil nya yang ijmaly atau tafshily maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.. Sebagian ulama berkata : TiDAK MENCUKUPi TAKLiD iTU DAN ORANG YANG BERTAKLiD KAFiR”. Sanusi mengikuti pendapat ini”” ( sumber : Kitab kuning Kifayatul ‘Awam )
Aliran Asy’ariyah di Indonesia bercorak Sanusiyah ( Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 78).
Dengan demikian aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia lebih dekat kepada aliran Sanusiyah daripada Asy’ariyah (Sumber : Buku “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ?”,Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1978 halaman 71)
Imam Al Asy’ari berpendapat bahwa SiFAT MA’NAWiYAH itu tidak ada, yang ada adalah sifat ma’ani ( Sumber : Buku “Pemikiran Islam di Malaysia” karya Dr.Abdul Rahman Haji Abdullah  (dari Pusat Pendidikan Jarak Jauh Universitas Sains Malaysia), hal. 42 Penerbit Gema Insani Pers, Jakarta, 1997) ..
Gawat !!! Siapa yang harus kita ikuti ??? Apakah Akidah Imam Al Asy’ari ataukah akidah sifat 20 Syaikh Sanusi ??? Maka patah sudah ajaran pengkafiran !!!!
Lalu bagaimana dengan hadits:
Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah.”
[Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677]
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya. Selain itu kalimat “…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah” bukan merupakan kalimat tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: “Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh”. Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya.
“Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”
nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. “Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya”
——————————————————————————————
….. Demikianlah  ciri ciri utama pemikiran  tradisionalisme  tentang  ilmu tauhid  yang  bertolak  dari   Rukun  Iman. Diantara  rukun rukun tersebut, rukun yang pertama  atau  kepercayaan kepada  Allah  lebih dominant. Meskipun  rukun ini  diutamakan, tetapi hanya  berpusat  pada  ajaran sifat 20. Konsep  akidah  seperti  ini bukan saja dipengaruhi  dialektika  yunani  dan  logika  aristoteles, bahkan  dianggap  sempit   dan tidak  menyentuh  kehidupan  manusia.
Memerlukan  cara  baru  untuk  menulis  teologi. Keadaan  sosial, politik  dan filsafat  banyak  pengaruhnya terhadap  perkembangan  teologi  dalam  Islam, dengan tidak mengetahui  hal hal tersebut, pengetahuan  kita  tentang  teologi  Islam  akan  terasa  kurang  mempunyai  dasar yang kukuh…
Sumber  kutipan :
Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997
——————————————————————————————
Khusus  tentang  kepercayaan  kepada  Allah  dan  Rasul, aliran tradisional  membahas hukum hukum  akal  ( law  of  reason ) yang  terbagi   dalam  tiga  kategori  : wajib, mustahil, dan  jaiz..  Menurut  para pengkaji, penggunaan  hukum hukum ini  dipengaruhi  dialektika  Yunani  dan  logika  Aristoteles
Sumber  kutipan :
a.  Mohd. Nor  Ngah, Kitab  Jawi : Islamic  Thought  Of  The  Malay  Muslim Scholars ( Singapore : Institute  of  Southeast  Asian  Studies, 1982 ) halaman  9
b. Dr. Abdul  Rahman  Haji   Abdullah  ( Pusat  Pendidikan  Jarak  Jauh Universitas  Sains  Malaysia ), Buku   “Pemikiran  Islam  di  Malaysia, Sejarah  dan  Aliran”, Penerbit   Gema  Insani  Press, Jakarta, 1997
—————————————————————
Saudaraku….
Kritik  dilancarkan terhadap  ajaran  tauhid  tradisional   yang  mengajarkan  sifat  20  yang  dianggap  berasaskan  logika  aristoteles (Sumber kutipan : A. Hassan, Kitab  Al  Tauhid (Penang: Persama  Press, 1959) hal. 23 -24…. Nik  Mohyideen  Musa, Pelajaran  Ilmu  Tauhid ( Kuala  Lumpur : Dewan  Bahasa  dan  Pustaka, 1979 ) halaman 102-104
—————————————————————
Saudaraku….
Mengenai  kepercayaan  kepada  Nabi  dan  Rasul, pembahasannnya  juga  menggunakan  hukum  hukum  akal.  Ada  empat  sifat  wajib, yaitu  shidiq, amanah, tabligh  dan  fathanah.  Sedangkan sifat  mustahil  ialah  yang  berlawanan  dengan  keempat  sifat  ini. Sifat  jaiz  bagi  rasul  ialah  sifat  sifat  sebagai  manusia  biasa  yang  tidak  merendahkan  martabat  mereka  sebagai  Nabi  dan  Rasul  ( Sumber kutipan : Hussain  bin  Nasir  Al  Banjari, Tamrin  al  Sibyan, halaman  14-15 ; idem, Hidayat  Al Sibyan, halaman 7; Haji  Mohd. Sharif  bin  Abdul  Rahman, al Muqaddimah  Al  Tauhidiyah (Pulau  Pinang : Abdullah B.M. nurdin  Al  Rawi, 1959), halaman 8-9
Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Saya melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung ingin tahu wujud Tuhan  menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik
Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang
Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogannya yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin
tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Syi’ah mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru.
adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat.
Artinya, teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata
Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam keseluruhan sistem serta bangunan keberagamaan kaum Muslim. Keabsahan semua rangkaian upacara keagamaan mereka sangat bergantung pada eksistensi tauhidnya
.
Membahas masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, 1903:9)
.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46)
.
Sementara Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8)
.
Di samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya, semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri
.
Dengan demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat mirip sebuah ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praksis untuk menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.
Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian berkarakter subversif: menantang mainstream status quo dan memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik, tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan transformatif
.
Namun, seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Diskursus teologi yang pada awalnya berkorelasi kuat dengan kenyataan aktual kemanusiaan, direduksi sedemikian rupa menjadi kumpulan wacana spekulatif yang tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan yang hidup dalam gerak sejarah. Berkembangnya tradisi keilmuan baru yang mewujud pada kerja sistematisasi, penyusunan formal (al-tadwin) dan spesialisasi bidang keilmuan, menyebabkan doktrin-doktrin tauhid tertransformasi ke dalam bangunan doktrinal baku, tertutup, teoritik dan kurang memiliki daya dorong sosial
.
Tauhid hanya mampu bergaung dalam karya-karya tulis, bukan berkibar di medan-medan tempur sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw. Demikianlah, ajaran tauhid kehilangan fungsi transformasinya. Ironisnya, pemahaman ajaran tauhid model ini yang kemudian diwarisi generasi umat Islam hingga sekarang.
Berpijak pada kemandegan pemikiran di bidang teologis yang tidak lagi memiliki fungsi sosial transformatif inilah, diperlukan penggalian ulang spirit of theology yang leberatif, progresif dan berkorelasi sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai core teologinya beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam konteks ini pembahasan tulisan ini difokuskan agar bisa keluar dari kungkungan dogmatis dan menawarkan metode pendekatan baru agar bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu kalam
.
Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar,
.
teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat
.
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan
.
tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. AlQur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal
.
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi
.
Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi
.
Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna
.
Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman
.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek
.
saya melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari’atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-’adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi
.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam
.
Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah
.
Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern
.
Pemahaman tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu ‘aqidah iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
.
Konsep Keadilan Sosial.
Konsep keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-’adl).
teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda.
Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-’adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia
.
Artinya realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula hanya akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia”, seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan menindas.
.
Konsep Spirituaitas Pembebasan.
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian
.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan
.
Oleh sebab itu, selain menumpukan diri pada gagasan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil
.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan
.
Dalam pada itu Isam sebagai entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak. Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya mengambi jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan “mengubah manusia untuk mengubah dunia”.
Rekomendasi ini niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan dan mandulnya beragan paradigma teologi Islam yang dianut mereka untuk memotivasi berlangsungnya proses transformasi sosial. Dua kenyataan inilah yang secara langsung menjadi basis historis mengapa rekontruksi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik kesimpulan betapa Islam dalam proses sejarah telah semakin jauh dari rasionalitas Tuhan ketika ia diturunkan
.
Terkait itulah rekontruksi terhadap teologi warisan Islam klasik ini menjadi hal yang sangat strategis guna memulai transformasi sosial umat secara total. Redefinisi teologi Islam klasik menuju teologi Islam yang transformatif akan memberikan signifikansi bagi kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks (Qur’an/hadits, ide-ide kemanusiaan) dan konteks kekinian. Pada saat berbarengan ia berpotensi pula menjadi motivasi reigius bagi umat untuk melakukan transformatif atas realitas ketertindasan yang mengkungkung mereka baik berupa ideologi Barat seperti developmentalisme atau kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri, termasuk “nilai-nilai agama”
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis antropomorpisme itu penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni pertama, dilevel wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad pertengahan, khususnya, di ranah teoogi. Disitu jargon-jargon semisal “membuka pintu Ijtihad” disatu sisi dan berlawanan dengan “pintu ijtihad telah tertutup” pada sisi yang lain akan menemukan momentum dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, dehumanisasi, dan sejenisnya.
Pada saat yang sama ia akan mendorong pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan sesuatu yang sudah dipastikan, seperti pemahaman teologi tradisional, melainkan sudah bersifat sosial—-tercipta oleh struktur-sistem yang memang menghendaki demikian
.
Paling tidak melalui dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali menjadi menemukan memontumnya dan akan dikagumi baik bagi umat Islam sendiri maupun dunia Barat.
Hari ini banyak perkara yang telah hilang dari umat Islam. Di antaranya ialah ilmu dan hikmah, kasih sayang, perpaduan, empayar, jemaah dan ummah. Mungkin kerana itu hilanglah wibawa umat Islam. Bila umat Islam tidak ada wibawa ertinya tidak ada kekuatan, lemah dan lumpuh. Akhirnya umat Islam seluruh dunia hari ini macam kain buruk atau debu-debu yang berterbangan yang tidak ada harga satu sen pun atau ibarat buih-buih di laut yang dipecah belahkan oleh ombak laut. Itulah yang sedang berlaku pada dunia Islam hari ini, akibat dari itu umat Islam menjadi hina. Hina disebabkan dijajah tapi jajah bentuk baru bukan bentuk lama. Penjajahan bentuk lama bersifat fizikal, tapi bentuk baru ini, kalau orang itu tidak kuat dengan Tuhan tidak prihatin, bukan sahaja awamul muslimin, ulama dan pemimpin Islam pun tidak faham, bahkan ulama dan pemimpin Islam sudah anggap kita sudah merdeka hari ini padahal kalau kita prihatin umat Islam hari ini dijajah bentuk baru. Penjajahan secara bentuk baru inilah yang umat Islam termasuk pemimpin dan ulama tidak faham.
Penjajahan bentuk baru yang sedang berlaku pada umat Islam hari ini yang besar-besarnya ialah:
  1. Ideology telah menjajah syariat atau ideology telah menjadi syariat. Semua negara Islam menggunakan ideology dari yahudi menggantikan syariat Islam.
  2. Pendidikan sudah dijajah. Daripada pendidikan yang bertunjangkan iman di tukar kepada pendidikan sekuler yang tidak dikaitkan dengan iman yang tidak bertunjangkan Tuhan.
  3. Ekonomi dunia dahulu dikuasai umat Islam yang bersifat khidmat, bersih dari riba, monopoli dan penindasan kini dijajah oleh ekonomi yang besifat riba, penzaliman, penindasan dan monopoli,
  4. Kebudayaan Islam yang bersih sudah dijajah oleh kebudayaan yang kotor, maksiat, bahkan sesetengah hal, telah diganti oleh kebudayaan yang lucah.
Penjajahan yang berbetuk rohani dan maknawi ini bukan sahaja umat Islam tidak faham tapi ulama dan pemimpin Islam pun tidak faham, sebab itu umat Islam hari berbangga umat Islam merdeka tapi hakikatnya belum merdeka, sebab sebenarnya penjajahan sekarang bertukar dari penjajahan bentuk lama ke bentuk baru. Kalau dahulu berbetuk fizikal tapi sekarang berbentuk maknawi dan rohani. Ini hakikatnya yang sedang berlaku pada umat Islam pada hari ini.
Pendidikan dan pengaruh Mu’tazilah tidak bisa dilepaskan dari al-Asy’ari yang dibuktikan dengan dialektiaka yang tetap ia gunakan meskipun sudah keluar dari Mu’tazilah. Hanya saja ia menggunakan pendekatan dialektis dan logis untuk mendukung pendapatnya dalam mengukuhkan madzhab Asy’ariyah. Ia menggunakan filsafat bukan sebagai kebenaran itu filsafat itu sendiri, tetapi ia memakainya sebagai alat untuk mengungkap dan memperjelas argumennya
.
Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy’ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy’ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dan kelemahan itu diantaranya:
.
• Asy’ari cenderung bersikap pasrah kepada nasib (fatalisme). tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya
• Dengan melakukan kasb seperti telah di ketahui pada faham asy”ri, hal tersebut tidak akan berpengaruh apapun dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
• Konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya.
Dari uraian-uraian diatas kita bisa mengetahui berbagai polemic-polemik permasalahan yang muncul pada tubuh Asy’ariah dalam doktrin aqidah islamiah. Di satu sisi karena pangaruh Al Ghozali dengan paparan argumenya yang logis, Asy’ariah bisa berkembang dengan begitu pesat, di sisi lain Asy’ariah seakan mambodohi masyarakat dengan konsep kasb nya yang sulit untuk dimengerti dan malah cenderung membingungkan banyak orang. Malah di sebutkan dalam kitab Jawharat al-Tawhid,
Wa ‘indana li al-’abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu’atstsir-an fa ‘l-ta’rifa
Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb,
Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh
Jadi, intinya manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya.
dalam proses perkembangan paham Asy’ari, konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya
Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Barangkali di masa itu kebutuhan untuk menjawab tantangan aqidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena di masa itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen kalangan ahli logika ketika menyerang aqidah Islam. Karena itulah metode aqidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Bila dilihat dari kaca lain seperti di zaman di mana tantangan akal ini tidak lagi mendominasi, bisa saja terasa agak janggal karena metode akal atau rasio yang digunakan terasa kurang relevan lagi.
Karena itu wajar bila dikritisi lebih detail, ada saja hal-hal yang dirasa kurang pas dan relevan lagi. Sebagian para pengkritik menyataskan bahwa paham As’ariyah menyalahi ahlussunnah wa al-jamaah dalam lima belas masalah, salah satunya adalah masalah asma’ dan sifat. Meski demikian, para pendukung mazhab Asy‘ari juga punya argumen yang membenarkan pendapat mereka.
Penyebaran Aqidah Asy-”ariyah
Aqidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul Muluk pad dinasti ani Saljuq dan seolah menjadi aqidah resmi negara.
Semakin berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah,baik yang ada di Baghdad maupun di kotaNaisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Jugadidukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi”i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa aqidah Asy-”ariyah ini adalah aqidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Para Ulama yang Berpaham Asy-”ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham aqidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
* Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
* Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
* Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
* Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
* Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Cak Nur juga menyoroti sisi kelemahan paham ini untuk dijadikan bahan refleksi. Kelemahan paham Asy’ariyah menurut Cak Nur terletak pada Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Al-Asy’ari sebetulnya hendak menengahi dua kubu ekstrim yang berkembang ketika itu. Kedua kubu tersebut adalah paham Jabariyah yang cenderung fatalistik dan menganggap manusia ibarat robot, sudah didesain dan dikendalikan. Namun paham ini ditolak oleh Qadariyah, mengatakan manusia mempunyai kebebasan bertindak dan menentukan pilihan (free will). Al-Asy’ari memberikan format baru dengan konsep kasb. Tetapi konsep tersebut dipandang sulit dipahami oleh Cak Nur dan cenderung fatalistik. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.
Cak Nur lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiah, tokoh reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua tindakan manusia tidak dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap mempunyai kemerdekaan bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan kehendak (iradah) yang dengannya manusia mampu memilih jalan hidup.
Sangat tampak kritisisme Cak Nur dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan dan absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa yang dimaksudkan al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic sekalipun dalam syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan manusia tidak bebas dan tidak pula terpaksa. Dalam hemat penulis apa yang dimaksudkan Ibnu Taymiah juga dimaksudkan oleh al-Asy’ari. Kelihatannya al-Asy’ari menemui kesulitan untuk menjelaskan maksud itu. Namun, tawaran Cak Nur juga baik karena yang dilihat adalah aspek kemaslahatan supaya konsep free will lebih mudah dipahami.
Sebetulnya antara al-Asy’ari dan Ibnu Taymiah juga sepakah ketidak-setujuan keduanya terhadap pendekatan Qadariyah atau pun Jabariyah. Keduanya hendak menengahi antara kedua kubu sehingga konsepnya lebih bisa diterima. Sebab, sikap moderat adalah kecenderungan mayoritas. Tetapi bukan masalah kecenderungan—dalam hemat penulis—tetapi pijakan kedua tokoh itu konsistensi pada kebenaran.
Secara eksplisit tulisan Cak Nur menjelaskan, di samping keunggulan di bidang metodologi, kelebihan paham Asy’ariyah juga karena kepiawaian pendirinya memanfaatkan logika dan filsafat untuk menjelaskan konsep Asy’ariyah. Melalui kekuatan argumentasinya ia mampu memukau ilmuan modern dan teolog Kristen.
Paham teologi Asy’ari termasuk paham teologi tradisional,
yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang
leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu’tazilah
dan Salafiyah, tetapi “benang merah” sebagai jalan tengah
yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak
Mu’tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali
lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang
bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]
Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy’ari lebih baik
memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.
Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang
pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi
zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy’ari juga
tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.
Sebenarnya, nama asli Imam Asy’ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy’ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Abu al-Hasan al-Asy’ari pada mulanya belajar membaca,
menulis dan menghafal al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya,
yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir
dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah
al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’kub, Abdur Rahman
Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih
Syafi’i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340
H./951 M.) -seorang tokoh Mu’tazilah di Bashrah. Sampai umur
empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba’i, serta
ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran
Mu’tazilah. [9]
Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan
al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Untuk hal
ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab
meninggalkan atau keluar dari Mu’tazilah. Sebab klasik yang
biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena
terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran
pokok Mu’tazilah, yaitu masalah “keadilan Tuhan.” Mu’tazilah
berpendapat, “semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari
manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,
kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti
menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan
manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa ‘l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy’ari (A) – Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga
orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam
bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam
keadaan masih kecil.
Aldubba’i (J) – yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir
masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.
A – Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih
baik di Sorga, mungkinkah?
J – Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan
jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil
belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.
A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan
salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang
taqwa itu.
J – Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,
jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan
engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah – Red) matikan
engkau adalah untuk kemaslahatanmu.
A – Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, “Ya Tuhanku
Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?
Al-Jubba’i menjawab, “Engkau gila, (dalam riwayat lain
dikatakan, bahwa Al-Jubba’i hanya terdiam dan tidak
menjawab). [11]
Dalam percakapan di atas, al-Jubba’i, jagoan Mu’tazilah itu,
tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh
al-Asy’ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah
ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy’ari sendiri untuk
memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang
Mu’tazilah.
Bagi Mu’tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan
protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai
dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di
sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan
tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan
bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,
tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan
orang-orang yang taqwa.
Di alam akhirat, menurut Mu’tazilah, tidak ada lagi
perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah
mendapati al-Wa’ad wa al-Wa’id. Dia sudah menepati janji.
Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan
jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan
masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka
bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan
Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan
ajaran-ajaran Mu’tazilah karena pernah bermimpi melihat
Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada
bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi
kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal
tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan
itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah
yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.
[15]
Diriwayatkan bahwa al-Asy’ari sebelum mengambil keputusan
untuk keluar dari Mu’tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya
selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu
naik mimbar dan menyampaikan:
“Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah makhluk; Allah
swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin
di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya
sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya
lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya
lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar
dari kekejian dan skandal Mu’tazilah.” [16]
Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas
dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita
ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy’ari meninggalkan faham
Mu’tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan
ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,
sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di
kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi
kesamaan yang sangat mirip.
Al-Asy’ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar
pada Mu’tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas
menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,
sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran
al-Asy’ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa
tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy’ari memakai
ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang
Mu’tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,
penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali
menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan
bid’ah dan kufur. Al-Asy’ari melakukan sanggahan terhadap
Mu’tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran
Mu’tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang
bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan
aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah
buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan
al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,
kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam
sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,
baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf
dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut
al-Falasifah (kesalahan para filsuf).
Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa
al-Asy’ari adalah para tokoh Mu’tazilah, karena itu
sanggahannya tertuju langsung pada Mu’tazilah. Sementara
para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional
Mu’tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap
aliran al-Asy’ari harus dengan tegas pula melakukan
sanggahan terhadap filsuf.
Pemikiran al-Asy’ari yang asli baru dapat diketahui setelah
ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu’tazilah dan
pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad
bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari
penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia
hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh
nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis
dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah
sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur’an.
[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan
mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang
sakral dianggap suatu bid’ah. Setiap dogma harus dipercayai
tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh
al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan
keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui
ajaran-ajaran al-Asy’ari, kita dapat melihat pada
kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:
1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama
dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber
yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:
a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam
b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.
2.Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang
kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya
terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam
buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu’tazilah.
3.Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala ahl al-Zaigh wa al-bida’,
berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu Kalam.
Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang
terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma’. Yang
pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam
arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu’tazilah.
Sedangkan buku kedua (al-Luma’), peranan akal lebih tinggi
dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran
kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu
kalam. [19]
Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy’ari pada kitabnya
al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar
dari Mu’tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam
rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,
sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap
Mu’tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang
dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini
dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan
teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,
maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh
itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya
terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah
mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,
menampakkan sikap bencinya terhadap Mu’tazilah lebih nyata.
Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis
langsung setelah al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah.
Lain halnya dengan kitabnya al-Luma’, yang ditulis setelah
kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy’ari
dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma’,
argumentasi rasional al-Asy’ari menonjol kembali dalam
memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi
metaforisnya (ta’wil). Kecenderungannya pada metode kaum
Mu’tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak
paham teologi al-Asy’ari.
Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap
al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi
kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan
berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.
Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah barang tentu al-Asy’ari
berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm). Yang benar, Tuhan itu
mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan
sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]
Disini terlihat, al-Asy’ari menetapkan sifat kepada Tuhan
seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,
sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa
sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan
makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, “Siapa yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi
“Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku,” lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya.” [21]
Lain halnya dengan al-Asy’ari, baginya arti sifat tidak jauh
berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi
al-Asy’ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,
dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy’ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari
paradoks. [22]
Bagi Mu’tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak
mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang
mengetahui (‘Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan
(‘Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy’ari yang
lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy’ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata al-Asy’ari, hanyalah yang tak punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]
Argumen al-Qur’an yang dimajukannya antara lain,
“Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah” (QS. al-Qiyamah: 22-23).
Menurut al-Asy’ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa
berarti memikirkan seperti pendapat Mu’tazilah, karena
akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti
menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada
penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]
Sungguhpun al-Asy’ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin
nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,
namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat
dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy’ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta’wilkan ayat yang berikut ini:
Artinya: “Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia
dapat mengangkat penglihatannya.” (al-An’am: 103) Ayat
tersebut di atas diartikan oleh al-Asy’ari, bahwa yang
dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]
Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan
sebagian dari pemikiran al-Asy’ari tentang tauhid. Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.
Al-Asy’ari, seperti Mu’tazilah, meyakini bahwa Allah adalah
Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham
al-Shalah wa al-Ashlah Mu’tazilah, artinya, Tuhan wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy’ari, bebas memperbuat apa yang
kehendaki-Nya. [28]
Al-Asy’ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya “menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya,” yaitu seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy’ari, kalau Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut
pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah
berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy’ari ini mirip dengan paham sebagian
umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang
raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,
bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada
undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy’ari menganalogikan bahwa
Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun
yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di
akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya
seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup
menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy’ari, selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan
absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy’ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham
Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy’ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy’ari, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]
Melihat kepada pengertian, “sesuatu yang timbul dari yang
berbuat” mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan
bahwa “kasb itu adalah ciptaan Tuhan” menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya
kasb oleh Tuhan adalah ayat:
“Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.” (QS.
al-Shaffat 37:96)
Jadi dalam paham al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia
adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)
bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,
dapat dilihat dari pendapat al-Asy’ari tentang kehendak dan
daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy’ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:
“Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki” (QS.
al-Insan 76:30).
Ayat ini diartikan oleh al-Asy’ari bahwa manusia tak bisa
menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,
dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam
perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki
dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu
mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu
besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham
al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,
daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh
dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah
daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan.
Karena manusia dalam teori kasb al-Asy’ari tidak mempunyai
pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli
menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan
Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,
sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga
berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy’ari
kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya
Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy’ari telah gagal dengan konsep
kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan
Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya
al-Asy’ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham
Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya
kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang
sudah kita uraikan di atas, al-Asy’ari menegaskan bahwa kasb
manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan
perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy’ari itu tidak
masuk akal. [46]
PENGARUH KALAM AL-ASY’ARI
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi
al-Asy’ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang
lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Allah.
Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan
kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat
Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu
berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk
menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak
perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab
undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.
Karena teologi al-Asy’ari didirikan atas kerangka landasan
yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang
lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia
dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran.
Kunci keberhasilan teologi al-Asy’ari ialah karena sejak
awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya – umat
Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.
Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy’ari telah berhasil
menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini
membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai paham resmi pada waktu
itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy’ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,
al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran
itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat
Islam menganutnya sampai detik ini.
Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi
al-Asy’ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya
terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis
dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan
demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran
dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham
al-Asy’ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh
negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran
rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy’ari, mempunyai daya yang
lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,
yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain
dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat
mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat
merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat
kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed
Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
al-Asy’ari. [49]
Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan
manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan
lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa
terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham
Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak
Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab
atasnya.
Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti
rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan
manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan
merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan
takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang
terjadi.
Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil
bahwa faham teologi al-Asy’ari mempunyai basis yang kuat
pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara
hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi
teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.
CATATAN
1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,
tahun 1976, h. 46
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy’ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-lbanah ‘an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy’ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3
3.Abu Musa al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat
Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali
Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy’ari,
Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu’tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310
6.Hamuddh, Al-Asy’ari, hal. 60
7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29
8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.
36
9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain
al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93
10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu’tazilah. Bairut, 1974, h. 102
11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,
h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm
al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy’ari, h.65
12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.
159.
13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan
perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu’tazilah, dapat
dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah
al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,
Iskandiyah, h. 41
17.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah’an Ushul al-Dinayah,
Mesir,1397 H. H.8
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
19.Hasan Mahmud al-Asy’ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa
Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38
20.Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ Fi al-Rad’ala ahl
al-Zaigh wa al-Bida’, Kairo, 1965, h. 30
21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz
M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50
23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51
24.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,
Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy’ari, Ibid, h. 13
26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,
27.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 16
28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 71
32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167
33.Mahmud Kasim, h. 168
34.Ibid.
35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,
Kairo, tt., h.205
36.Al-Asy’ari, al-Luma’, h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy’ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy’ari, Al-Luma’, h. 57
41.Ibid, h. 41
42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,
1971, h. 562
43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,
1981, h. 133-134
44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205
45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.
112
46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17
47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34
48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.
472 47
.
Syi’ah  menolak  ajaran Abu Hasan Al Asy’ari  yang menyatakan Allah berada   di arsy, menolak  ajaran bahwa Allah  punya tangan – wajah – mata yang zhahir
Jika anda melihat sendiri dalam Sahih Bukhari, banyak hadis  palsu  Nabi s.a.w yang menyebut sifat Tangan, kaki, turun, wajah, dan sebagainya tanpa ditakwil kepada makna lain. Kami syi’ah  menolak  ajaran  menzahirkan  tangan-kaki-wajah Allah  SWT
قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّـلَمِى: وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍوَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ . فَاِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بَشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ . اَسَفَ كَمَا يَاْسـفُوْنَ . لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَاَعْتِقُهَا؟ قَالَ: اِئْتِنِيْ بِهَا. فَقَالَ لَهَا: اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّـمَآءِ . قَالَ: مَنْ اَنَا؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُـوْلُ اللهِ. قَالَ : اَعْتِقْهَا فَاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Berkata Muawiyah bin Hakam As-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya? Jawab Rasulullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasulullah bertanya lagi: Siapakah aku? Dijawabnya: Engkau Rasulullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”. (H/R Muslim dan Abi Daud)
Menurut  syi’ah, hadis  ini palsu !!! Allah  tidak bertempat  dilangit secara zahir, yang  benar  adalah  bahwa pusat  pemerintahan Allah  SWT  ada dilangit  dikendalikan  malaikat
manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat.
Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]
Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis..
Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
  1. Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah[2] (320-324/330 H).
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,
Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir
dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.
kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?
Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau
berkata;
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.
الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى
(Thoha ayat 5)
Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya:
بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64)
Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14)
Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah :
الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5)
Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ
Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).
Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :
…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).
…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ
Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).
.
Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya: …تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا
Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).
Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
.
Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.
Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah)
.
Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.
Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.
Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.
Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.
Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).
Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)
Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).
Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.
Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu
Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.
Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu
========================================================================================
ABU  HASAN  AL  ASY’ARi   YANG  MENJADi  KONTROVERSi   SALAFi  WAHABi   vs  NAHDLATUL  ULAMA
Pengikut  Asy’ari   seperti   Nahdlatul  Ulama  tidak menyadari   bahwa  akidah  Asy’ari  yang asli  mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.
Di lain pihak, Salafi  Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata  “masih ahlul kalam”….
Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam  dibidang akidah…
Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin:
“Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)”
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa  keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan  wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min  boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir..…  ARTiNYA  walaupun  mereka  menganggap hal tersebut   SEBAGAi   BERBEDA  DENGAN  MAKHLUK, tetapi  I’tiqad  ahlul  hadis  hasywiyyah  dan Abu Hasan  Al  Asy’ari   adalah  antropomorfis  !!!!!!
Dalam  kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin, tokoh  sunni   Abu  HAsan Al  Asy’ari  menulis  : “ Keagungan  Allah  mempunyai batas  yang  berdekatan dengan bagian  tertinggi   dari   ‘arsy nya”… Abu  Hasan  menyatakan : “Allah mempunyai  dua  tangan, dua mata, dua  kaki, semua  akan binasa kecuali  WAJAH nya ( Kitab  Maqalat  Al  islamiyyin hal. 295 )
Pertanyaan :
  1. Apakah  keagungan  ZAT  Allah  cuma  sebatas  bagian tertinggi  dari  arsy nya ???
  2. Apakah  tangan  dan  mata  Allah  akan  binasa  ????
Bagi   syi’ah  : ini  pelecehan ………
Pada masa  Rasululullah  SAW :   Kaum  mujassimah  dari  kalangan  Yahudi  ( ahlul kitab ) memiliki  i’tiqad MEMBADANKAN  ALLAH, sehingga mereka  terjerat kedalam ekstrimitas…Namun  hal tersebut  menyusup kedalam ajaran Islam
Abu  Hurairah  yang  merupakan  MANTAN  YAHUDi  (  kemudian ia masuk  Islam   ) memiliki  beberapa  orang  sahabat  karib  dari  kalangan  mantan  ahlul kitab yang  masuk  Islam seperti  Ka’ab  al  Ahbar  dan  Wahab Munabbih  memasukkan  akidah  israilliyat  kedalam  hadis  sunni…
Penganut  mazhab  hambali  ( salafiah ) menolak  keras  asy’ariyyah  maturidiyyah  karena  dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….
Pada  akhirnya….
Aliran   ASY’ARiYYAH   MAMPU  MENGALAHKAN  DUA  ALiRAN  :
  1. Aliran   rasionalis   mu’tazilah
  2. Aliran   ahlul   hadis  hasywiyyah  ( anti  ilmu  kalam )
kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi  asy’ari dan maturidy merupakan perintis  awal  aliran kalam aswaja sunni
—————-
Pertanyaan  : Dimanakah  posisi  Abu  Hasan Al  Asy’ari  ???
Jawab : Asy’ari  adalah  tokoh  aliran  kalam  yang  mencoba  memadukan aliran  mu’tazilah  dengan  aliran  ahlul  hadis  hasywiyyah
———————–
Pertanyaan : Wahabi  mengklaim  Abu  HAsan  Al  Asy’ari  mengalami  3  fase  kehidupan,  jadi  asy’ari  adalah  salafi  ????
Jawab : Abu  Hasan  Al  Asy’ari  mencetuskan  teori  kasb, yang mana teori  ini  dikecam  keras  oleh  iBNU   TAiMIYYAH  karena  berbau  jabariyah..
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan
ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang
tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau
berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan
oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat
sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang
memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi
kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta
pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau
menetapkan:
1.      Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya
dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala,
seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan,
dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan
bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu,
pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah
berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit
dunia
.
2.      Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3.      Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan
malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau
menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah
khususnya asma dan sifat yaitu;
1.      Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan,
sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2.      Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit
dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada
hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di
atas arsy.
3.      Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari
kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
Abu  Hasan  Al  Asy’ari  menyatakan : “Allah  bersemayam di atas  singgasana Nya, Dia  mempunyai  sepasang  tangan  tetapi bukan  sebagai  pemilikan, Dia  mempunyai  mata tetapi  bukan  sebagai  cara, dan  Dia  mempunyai  wajah”( Kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin  karya  Abu  Hasan  Al  Asy’ari  ) ….
Memang, pemahaman  metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali  dan  abu  Hasan  Al   Asy’ari   cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya  pengikut   asy’ari   mengkafir kan  ajaran  Asy’ari  Sang  Gembong  Pendiri  Mazhab  !!!!!
Hambaliyyah  dan  Asy’ari   berpendapat  bahwa  derajat  keagungan  Allah  mempunyai  batas  yang  berdekatan  dengan  bagian  paling  tinggi  dari  singgasana  Nya….
Imam  Ali  bin  Abu  Thalib  menolak  pandangan  kejasmaniahan  Allah  dan  menempatkan  Allah  diatas  kualitas kualitas yang  dapat  disifatkan  pada  makhluk Nya :
“”Mereka  yang  mengklaim  dapat  disamakan  dengan  Mu  menzalimi  Mu  ketika  menyamakan  Mu  dengan  berhala berhala  mereka, secara  keliru  melekatkan  pada Mu  suatu  sifat  yang  mungkin  cocok  bagi  ciptaan Mu, dan  secara  tersirat  mengakui  bahwa  Engkau  tersusun  dari   bagian  bagian  seperti  hal  hal  material ( Kitab  Nahj  Al  Balaghah  halaman  144 )
Syi’ah  menolak  kejasmaniahan  Allah…
Salafi  mengambil   arti  lahiriah, sedangkan  syi’ah  mengambil  arti  majazi  (kiasan)…
Syi’ah  menolak  hal  hal  material  seperti  kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan  komposisi  pada  Allah  SWT
.
Allah  ZAT  Yang Tak Terbatas  sehingga  Allah tidak menempati ruang..Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi
ayat  “Tuhan Yang Mahapengasih beristiwa’  di atas arsy ”[a] (QS. 20:5)
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4)
Demikian pula ketika Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.
Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-’ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih
Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan. Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103)
Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling menafsirkan, al-Qurn yufassiru ba’dhuhu ba’dhan.[b]
Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapatdijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179)
Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.
manusia bebas dalam kehendaknya (free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri. Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita atas  izin  Allah
Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya. Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160)
Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah Swt dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
[a] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225)
[b] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya
Setiap dalil yang menyiratkan seolah olah Zat Allah memiliki organ jasmaniah atau menempati ruang maka wajib hukumnya di majazi / di kiasan kan / di metafora kan, jadi tidak boleh dizahirkan
Bahkan, ketika dikatakan Isa adalah roh Allah, orang-orang Nasrani menetapkannya dengan makna zahir sehingga mendakwa Isa salah satu daripada sifat-sifat Allah.
Saudaraku…..
SAYYiD MUHAMMAD RASYiD RiDHA ( 1865-1935 ), adalah seorang pembaharu dari Aswaja Sunni.. Beliau merupakan murid Muhammad Abduh yang sangat populer
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Asy Syahid Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (a) ..
Berikut saya ringkas beberapa pendapat RASYiD RiDHA dalam Tafsir Al Manar
Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 115 ??
Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Kiblat yang diridhai Allah” (b)
Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan pendapat Mujahid ( w.104 H ) dan Imam Syafi’i ( w.204 H ) (c)
Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 272
Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (d)
Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al An’am (6) ayat 52
Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (e)
Apakah a’yunina pada Qs. Hud ( 11 ) ayat 37 artinya mata Allah atau pengawasan Allah ??
Jawab: Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha; penggunaan kata jamak a’yunina adalah mubalaghah (mempertegas) adanya perhatian Allah dalam mengawasi dan menjaga (f)
Kalau anda tanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan Mujahid ( w.104 H ) yang mengatakan bahwa orang orang Arab biasa menggunakan lafal ‘ayn dalam bentuk mufrad (tunggal) untuk menyebut perhatian dan menggunakan lafal a’yun dalam bentuk jamak untuk menyebut perhatian yang tinggi (g)
Apakah “kedua tangan Allah terbuka” pada Qs. Al Maidah (5) ayat 64 artinya Allah memiliki dua tangan zahir ataukah Allah Pemurah ?? Mana yang benar ???
Jawab : Yang benar artinya adalah Allah Pemurah.. Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Ibn Abbas (w.68 H) menyatakan bahwa lafal “ghull al yad” ( tangan terbelenggu ) sudah lumrah di pakai dalam bahasa Arab untuk arti kikir , dan lafal “basth al yad” ( tangan terbuka ) dipakai untuk arti pemurah dan dermawan (h)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengutip Qs. Al Isra’ (17) ayat 29 yang berbunyi; “Dan jangan lah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah pula kamu terlalu membukanya” .. (h) Apakah tangan manusia disini bermakna zahir ????
Jadi kenapa ada bentuk tunggal dan ganda pada YAD ALLAH dalam Qs.5:64 ?
Jawab: Menurut Al Baydhawi (w.691 H); bentuk ganda ( tatsniyah pada “bal yadahu mabsuthatan” ) bukan bentuk tunggal (mufrad seperti pada “yadullah maghlulah”) ADALAH untuk mempertegas kemurahan Nya dan mempertegas penolakan Nya terhadap fitnah keji orang orang Yahudi.. INGAT :Al Quran turun pada masa sastra Arab sedang berada dipuncaknya !!!
Rujukan :
a = Buku “Rasionalitas Al Quran” karya M. Quraisy Shihab hal. 71. Penerbit Lentera Hati, 2006
c = Ibnu Al Qayyim Al Jawziyah, Mukhtashar Al Shawa’iq Al Mursalah ‘An Al Jahmiyyah wa Al Mu’aththilah, cetakan ke 1 ( Beirut: Dar A- Kutub Al ‘ilmiyyah ) hal. 339
b = TAFSiR AL M A N A R, disusun Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, jilid 1, hal. 435
d= Ibid, Jilid 3 hal. 83
e = Ibid, Jilid 7 hal. 436
f = Ibid, Jilid 12 hal. 73
h = Ibid, Jilid 6 hal. 454
g= Buku “Rasyid Ridha, Konsep Teologi”, karya Dr. A.Athaillah dari IAIN ANTASARI, penerbit ERLANGGA
………………………………………………………………………..
Saudara pembaca  …..
Apa maksud wajah Allah ??
Jawab :
Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, “Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh).” Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?
Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.
Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini.
artinya : “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”
Maknalafadz illa wajhahu (kecuali wajah-Nya), al Imam al Bukhari berkata: “kecuali sulthan (tasharruf atau kekuasaan-) Allah”.
Mengaharapkan “wajah Allah” bermakna “mengharapkan pahala/ridho Allah
wa maa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillah
“Dan Janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena Keridhaan Allah ” (Al-Baqarah 272).
Dalam tafsir jalalain disebutkan : (illabtighaa-a wajhillah) mengharapkan ganjaran dari Allah saja bukan selainnya dari kekayaan dunia.
Tafsir Ayat Mutasyabihat WAJAH
Kemanapun engkau menghadap maka akan kamu dapati WAJAH ALLAH ( KIBLAT ALLAH ) (QS albaqarah 115) menurut  Mujahid
Saudaraku….
Tafsir Ayat Mutasyabihat TANGAN
Allah SWT telah berfirman dalam Adzariyat : 47
Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(Kekuasaan) Kami….” (Qs adzariyat ayat 47)
Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz  biaidin) adalah “dengan kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.
Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar sunni :
Dalam Tafsir Qurtuby:
Dalam Tafsir Thabary :
Dalam Tafsir Jalalain ; Biquwati
Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUTAN-NYA
kemudian dalam surat Al-Fath : 10
firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.
Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi saw bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”… Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi. Pada hadits lainnya dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dari arah Najd akan timbul dua tanduk iblis. Sekarang kita bertanya-tanya siapakah gerangan? Yakni Musailamah Al Kadzab dan Muhamad Bin Abdul Wahhab. Keduanya datang dari arah itu.
ternyata  akidah  wahabi   dibidang  asma’  wa  shifat  sama  dengan  akidah  Abu  Hasan  Al  Asy’ari…
Akidah Abu Hasan Al Asy’ari  Dalam Kitab Maqalat Al Islamiyyin Sam Dengan Akidah Wahabi  Salafi…  Kenapa  Kaum  Sunni  Cuma  Berani  Mengkafirkan  Akidah  Wahabi  Tetapi  Mengagung Agungkan  Abu Hasan  Al  Asy’ari…. Mazhab Anda Kacau Balau !

Al-Ibanah Adalah Kitab Karya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari Yang Sebenar

Abu-Syafiq telah menulis satu artikel di dalam blognya yang berjudul “Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah’ Bukan Kesemua Isi Kandungannya Tulisan Imam Asy’ari”. Artikel ini sangatlah tidak ilmiah dalam membuktikan dakwaan mereka terhadap kitab yang menunjukkan kembalinya Imam Asy’ari kepada aqidah salaf. Abu Syafiq kemudiannya berkata “Wahabi Berdusta pada Kitab Al-Ibanah” perkataan ini sangatlah tidak teliti malah menuduh serta mengklaim para wahabi yang menambah-nambah isi kandungannya. Di sini saya nukilkan kata-kata ulama bahawa Kitab Al-Ibanah adalah benar-benar adalah tulisan Imam Asy’ari dan bukan seperti yang di katakan oleh golongan ahbash terutamanya abu-syafiq yang berguru dengan syeikh Harari Al-Habasy seorang pengasas golongan Ahbash.
Tokoh yang terkenal Al-Hafiz Az-Dzahabi telah menisbatkan kitab Al-Ibanah kepada Abul Hasan Al-Asy’ari seperti mana katanya dalam kitab Al-’Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar halaman 278: “Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam kitabnya Al-Ibanah ‘An Usul Ad-Diyanah dalam bab Istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas ‘Arasy): “Jika seseorang berkata: “Apa pandanganmu tentang Istiwa?” Maka jawabnya: “Kami berpendapat bahawa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy sebagaimana firman Allah s.w.t:
“(Iaitu) Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arasy” [Thaaha: 5]
Az-Dzahabi meriwayatkan dari Al-Hafiz Abul Abbas Ahmad bin Tsabit Ath-Thuraqy, bahawa ia berkata: “Aku membaca kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang berjudul Al-Ibanah tentang dalil-dalil yang menetapkan bahawa Allah bersemayam di atas ‘Arasy”. Ia menukilkan juga dari Abu Ali Ad-Daqqaaq bahawa ia mendengar Zahir bin Ahmad Al-Faqih berkata: “Imam Abul Hasan Al-Asy’ari wafat di rumahku. Ketika sedang sakarat beliau mengucapkan: :Semoga Allah melaknat Mu’tazilah yang keliru dan bodoh”.[Dinukil daripada pengenalan pada kitab Al-Ibanah 'An Usul Al-Diyanah yang di tulis oleh Syeikh Hammad bin Muhammad Al-Anshari. Beliau adalah Pensyarah Fakulti dakwah Universiti Islamiyah Madinah Al-Munawwarah.]
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’:
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidhah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون – إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، – إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
“Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah:
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.
Di antara para ulama yang mengisbatkan buku Al-Ibanah kepada Imam Asy’ari juga adalah Al-Hafiz Al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, Asy-Syafi’I wafat pada tahun 458 H dalam kitabnya Al-I’tiqad wal Hidayah Ilaa Sabili Ar-Rasyaad pada bab Al-Qaulu fii Al-Quran halaman 31: “Asy-Syafi’I r.a menyebutkan bahawa bukti yang menunjukkan Al-Quran yang kita tulis dalam mushaf disebut Kalam Allah adalah bahawasanya Allah s.w.t berbicara dengan Al-Quran kepada hambaNya dan mengutuskan Rasul-Nya s.a.w dengan mambawa Al-Quran dan maknanya.
Di antara yang mengisbatkan Al-Ibanah adalah benar-benar daripada Imam Asy’ari ialah Ibn Farhun Al-Maliki. Ia berkata dalam kitabnya Ad-Dibaaj halaman 193-194: “Di antra kitab yang ditulis Abul Hasan Al-Asy’ari adalah Al-Luma’ Al-Kabir, Al-Luma’ Ash-Shaghir dan Kitab Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah.
Abu Al-Fallah Abdul Hayyi bin Al’Imad Al-Hanbali (w 1098 H) juga mengisbatkan kitab Al-Ibanah adalah karya Imam Asy-’ari. Ia berkata dalam kitabnya Syadzarat Adz-Dzahab fi A’yaanil min dzahab pada juz 2 halaman 303: “Abul Hasan Al-Asy’ari telah berkata dalam kitabnya Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah dan ini adalah kitab beliau yang terakhir”.
Seterusnya Abul Qaasim Abdul Malik bin Isa bin Darbas Asy’Syafi’I (w 605 H) ia berkata dalam kitab Adz-Dzabb ‘An Abil Hasan Al-Asy’ari: “Wahai saudara-saudara sekalian! Ketahuilah bahawa Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah adalah kitab yang ditulis oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan keyakinan beliau yang terakhir
Imam Abu Hanifah berkata lagi: Barangsiapa yang berkata: “Aku tidak tahu Rabbku, di langit atau di bumi?” bererti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahawa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku tidak tahu adakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. –al-Fiqhul Absath, ms. 46
Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya: “Dimanakah Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah itu ada di langit bukan di bumi.” Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat: وهو معكم اين ما كنتم? “Dia bersama kamu dimana kamu berada.” (Surah al-Hadid: 4).
IMAM MALIK BIN ANAS
Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata: “Ketika kami sedang berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arasy bagaimana bersemayamNya?” Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah peluh. Setelah ia mengangkat kepalanya, ia lantas berkata: “Cara bersemayamNya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang istiwanya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku menyangka engkau adalah si pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang itu keluar. –Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151), Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, ms. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari (XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, ms. 103
IMAM MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan oleh NabiNya s.a.w. kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah S.W.T. yang telah sampai kepadanya dalil bahawa al-Quran turun membawa keterangan tentang hal tersebut, juga sabda Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas sahih yang menerangkan masalah itu. Maka barangsiapa yang mengingkari atau berbeza dengan semuanya itu padahal hujah (dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, bererti ia kafir kepada Allah S.W.T. Adapun jika ia menentang kerana belum mendapat hujah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni kerana kebodohannya, kerana pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’Nya) tidak dapat dijangkau oleh akal dan pemikiran.
Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah S.W.T. bahawa Dia Maha Mendengar dan bahawa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan firmanNya: “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (Surah al-Maidah: 64). Dan bahawa Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan: “…Dan langit digulung dengan tangan kananNya.” (Surah az-Zumar: 67) dan bahawa Allah itu memiliki wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan: “Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah…” (Surah Al-Qasas: 88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemulian.” (Surah Ar-Rahman: 27). Juga bahawa Allah mempunyai tumit, sesuai dengan pernyataan Rasulullah s.a.w: “Sehingga Rabb Azza wa Jalla meletakkan tumitNya pada Jahannam.” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848) dan Allah ketawa berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. tentang orang yang mati fi sabilillah: “Ia akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla sedang Allah tertawa kepadanya….” (Riwayat Bukhari, no: 2826 dan Muslim, no:1890).
Dan bahawa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. tentangnya. Begitu juga keterangan bahawa Allah S.W.T. itu tidak buta sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi s.a.w. ketika baginda menyebut dajjal, baginda bersabda: “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no: 7231 dan Muslim, no: 2933). Dan bahawa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama, juga bahawa Allah S.W.T. mempunyai jari-jemari seperti ditetapkan oleh sabda Nabi s.a.w: “Tidaklah ada satu jari pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman Azza wa Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah ms.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis)
Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah S.W.T. sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah s.a.w. untukNya, hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau fikiran dan orang yang mengingkarinya kerana bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya) tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah ia kafir. Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia melihat dan mendengar dari Rasulullah s.a.w.
Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surah As-Syura: 11). –Dinukil daripada I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Syeikh Ibn Taimiyyah menyebut kata-kata Imam Hanbal: “Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arasy sesuai dengan kehendaknya tanpa dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepadanya seseorang yang berusaha mensifatinya telah sampai atau dengan batas yang kepadanya seseorang yang membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya. Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan.” –Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli (II/30)
Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal kepada Musaddad yang di antara isinya ialah: “Sifatilah Allah dengan sifat yang denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia nafikan dari diriNya. –Manaqib Imam Ahmad, ms. 221
Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan: “Jahm bin Safwan telah menyangka bahawa orang yang mensifati Allah dengan sifat yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya adalah seorang kafir atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” –Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, ms. 104
Abu  Hasan  Al  Asy’ari  menyatakan : “Allah  bersemayam di atas  singgasana Nya, Dia  mempunyai  sepasang  tangan  tetapi bukan  sebagai  pemilikan, Dia  mempunyai  mata tetapi  bukan  sebagai  cara, dan  Dia  mempunyai  wajah”( Kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin  karya  Abu  Hasan  Al  Asy’ari  ) ….
Memang, pemahaman  metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali  dan  abu  Hasan  Al   Asy’ari   cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya  pengikut   asy’ari   mengkafir kan  ajaran  Asy’ari  Sang  Gembong  Pendiri  Mazhab  !!!!!
Hambaliyyah  dan  Asy’ari   berpendapat  bahwa  derajat  keagungan  Allah  mempunyai  batas  yang  berdekatan  dengan  bagian  paling  tinggi  dari  singgasana  Nya….
Imam  Ali  bin  Abu  Thalib  menolak  pandangan  kejasmaniahan  Allah  dan  menempatkan  Allah  diatas  kualitas kualitas yang  dapat  disifatkan  pada  makhluk Nya :
“”Mereka  yang  mengklaim  dapat  disamakan  dengan  Mu  menzalimi  Mu  ketika  menyamakan  Mu  dengan  berhala berhala  mereka, secara  keliru  melekatkan  pada Mu  suatu  sifat  yang  mungkin  cocok  bagi  ciptaan Mu, dan  secara  tersirat  mengakui  bahwa  Engkau  tersusun  dari   bagian  bagian  seperti  hal  hal  material ( Kitab  Nahj  Al  Balaghah  halaman  144 )
Syi’ah  menolak  kejasmaniahan  Allah…
Salafi  mengambil   arti  lahiriah, sedangkan  syi’ah  mengambil  arti  majazi  (kiasan)…
Syi’ah  menolak  hal  hal  material  seperti  kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan  komposisi  pada  Allah  SWT
Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis..
Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
  1. Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah[2] (320-324/330 H).
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,
Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir
dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.
kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?
Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau
berkata;
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.
الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى
(Thoha ayat 5)
Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya:
بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64)
Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14)
Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah :
الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5)
Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ
Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).
Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :
…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).
…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ
Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).
.
Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya: …تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا
Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).
Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
.
Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.
Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah)
.
Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.
Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.
Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.
Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.
Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).
Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)
Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).
Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.
Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu
Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.
Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu
========================================================================================
ABU  HASAN  AL  ASY’ARi   YANG  MENJADi  KONTROVERSi   SALAFi  WAHABi   vs  NAHDLATUL  ULAMA
Pengikut  Asy’ari   seperti   Nahdlatul  Ulama  tidak menyadari   bahwa  akidah  Asy’ari  yang asli  mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.
Di lain pihak, Salafi  Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata  “masih ahlul kalam”….
Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam  dibidang akidah…
Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin:
“Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)”
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa  keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan  wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min  boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir..…  ARTiNYA  walaupun  mereka  menganggap hal tersebut   SEBAGAi   BERBEDA  DENGAN  MAKHLUK, tetapi  I’tiqad  ahlul  hadis  hasywiyyah  dan Abu Hasan  Al  Asy’ari   adalah  antropomorfis  !!!!!!
Dalam  kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin, tokoh  sunni   Abu  HAsan Al  Asy’ari  menulis  : “ Keagungan  Allah  mempunyai batas  yang  berdekatan dengan bagian  tertinggi   dari   ‘arsy nya”… Abu  Hasan  menyatakan : “Allah mempunyai  dua  tangan, dua mata, dua  kaki, semua  akan binasa kecuali  WAJAH nya ( Kitab  Maqalat  Al  islamiyyin hal. 295 )
Pertanyaan :
  1. Apakah  keagungan  ZAT  Allah  cuma  sebatas  bagian tertinggi  dari  arsy nya ???
  2. Apakah  tangan  dan  mata  Allah  akan  binasa  ????
Bagi   syi’ah  : ini  pelecehan ………
Pada masa  Rasululullah  SAW :   Kaum  mujassimah  dari  kalangan  Yahudi  ( ahlul kitab ) memiliki  i’tiqad MEMBADANKAN  ALLAH, sehingga mereka  terjerat kedalam ekstrimitas…Namun  hal tersebut  menyusup kedalam ajaran Islam
Abu  Hurairah  yang  merupakan  MANTAN  YAHUDi  (  kemudian ia masuk  Islam   ) memiliki  beberapa  orang  sahabat  karib  dari  kalangan  mantan  ahlul kitab yang  masuk  Islam seperti  Ka’ab  al  Ahbar  dan  Wahab Munabbih  memasukkan  akidah  israilliyat  kedalam  hadis  sunni…
Penganut  mazhab  hambali  ( salafiah ) menolak  keras  asy’ariyyah  maturidiyyah  karena  dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….
Pada  akhirnya….
Aliran   ASY’ARiYYAH   MAMPU  MENGALAHKAN  DUA  ALiRAN  :
  1. Aliran   rasionalis   mu’tazilah
  2. Aliran   ahlul   hadis  hasywiyyah  ( anti  ilmu  kalam )
kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi  asy’ari dan maturidy merupakan perintis  awal  aliran kalam aswaja sunni
—————-
Pertanyaan  : Dimanakah  posisi  Abu  Hasan Al  Asy’ari  ???
Jawab : Asy’ari  adalah  tokoh  aliran  kalam  yang  mencoba  memadukan aliran  mu’tazilah  dengan  aliran  ahlul  hadis  hasywiyyah
———————–
Pertanyaan : Wahabi  mengklaim  Abu  HAsan  Al  Asy’ari  mengalami  3  fase  kehidupan,  jadi  asy’ari  adalah  salafi  ????
Jawab : Abu  Hasan  Al  Asy’ari  mencetuskan  teori  kasb, yang mana teori  ini  dikecam  keras  oleh  iBNU   TAiMIYYAH  karena  berbau  jabariyah..
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan
ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang
tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau
berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan
oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat
sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang
memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi
kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta
pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau
menetapkan:
1.      Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya
dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala,
seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan,
dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan
bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu,
pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah
berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit
dunia
.
2.      Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3.      Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan
malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau
menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah
khususnya asma dan sifat yaitu;
1.      Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan,
sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2.      Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit
dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada
hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di
atas arsy.
3.      Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari
kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
Abu  Hasan  Al  Asy’ari  menyatakan : “Allah  bersemayam di atas  singgasana Nya, Dia  mempunyai  sepasang  tangan  tetapi bukan  sebagai  pemilikan, Dia  mempunyai  mata tetapi  bukan  sebagai  cara, dan  Dia  mempunyai  wajah”( Kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin  karya  Abu  Hasan  Al  Asy’ari  ) ….
Memang, pemahaman  metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali  dan  abu  Hasan  Al   Asy’ari   cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya  pengikut   asy’ari   mengkafir kan  ajaran  Asy’ari  Sang  Gembong  Pendiri  Mazhab  !!!!!
Hambaliyyah  dan  Asy’ari   berpendapat  bahwa  derajat  keagungan  Allah  mempunyai  batas  yang  berdekatan  dengan  bagian  paling  tinggi  dari  singgasana  Nya….
Imam  Ali  bin  Abu  Thalib  menolak  pandangan  kejasmaniahan  Allah  dan  menempatkan  Allah  diatas  kualitas kualitas yang  dapat  disifatkan  pada  makhluk Nya :
“”Mereka  yang  mengklaim  dapat  disamakan  dengan  Mu  menzalimi  Mu  ketika  menyamakan  Mu  dengan  berhala berhala  mereka, secara  keliru  melekatkan  pada Mu  suatu  sifat  yang  mungkin  cocok  bagi  ciptaan Mu, dan  secara  tersirat  mengakui  bahwa  Engkau  tersusun  dari   bagian  bagian  seperti  hal  hal  material ( Kitab  Nahj  Al  Balaghah  halaman  144 )
Syi’ah  menolak  kejasmaniahan  Allah…
Salafi  mengambil   arti  lahiriah, sedangkan  syi’ah  mengambil  arti  majazi  (kiasan)…
Syi’ah  menolak  hal  hal  material  seperti  kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan  komposisi  pada  Allah  SWT
.
Allah  ZAT  Yang Tak Terbatas  sehingga  Allah tidak menempati ruang..Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi
ayat  “Tuhan Yang Mahapengasih beristiwa’  di atas arsy ”[a] (QS. 20:5)
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4)
Demikian pula ketika Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.
Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-’ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih
Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan. Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103)
Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling menafsirkan, al-Qurn yufassiru ba’dhuhu ba’dhan.[b]
Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapatdijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179)
Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.
manusia bebas dalam kehendaknya (free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri. Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita atas  izin  Allah
Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya. Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160)
Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah Swt dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
[a] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225)
[b] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya
Setiap dalil yang menyiratkan seolah olah Zat Allah memiliki organ jasmaniah atau menempati ruang maka wajib hukumnya di majazi / di kiasan kan / di metafora kan, jadi tidak boleh dizahirkan
Bahkan, ketika dikatakan Isa adalah roh Allah, orang-orang Nasrani menetapkannya dengan makna zahir sehingga mendakwa Isa salah satu daripada sifat-sifat Allah.
Saudaraku…..
SAYYiD MUHAMMAD RASYiD RiDHA ( 1865-1935 ), adalah seorang pembaharu dari Aswaja Sunni.. Beliau merupakan murid Muhammad Abduh yang sangat populer
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Asy Syahid Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (a) ..
Berikut saya ringkas beberapa pendapat RASYiD RiDHA dalam Tafsir Al Manar
Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 115 ??
Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Kiblat yang diridhai Allah” (b)
Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan pendapat Mujahid ( w.104 H ) dan Imam Syafi’i ( w.204 H ) (c)
Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 272
Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (d)
Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al An’am (6) ayat 52
Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (e)
Apakah a’yunina pada Qs. Hud ( 11 ) ayat 37 artinya mata Allah atau pengawasan Allah ??
Jawab: Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha; penggunaan kata jamak a’yunina adalah mubalaghah (mempertegas) adanya perhatian Allah dalam mengawasi dan menjaga (f)
Kalau anda tanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan Mujahid ( w.104 H ) yang mengatakan bahwa orang orang Arab biasa menggunakan lafal ‘ayn dalam bentuk mufrad (tunggal) untuk menyebut perhatian dan menggunakan lafal a’yun dalam bentuk jamak untuk menyebut perhatian yang tinggi (g)
Apakah “kedua tangan Allah terbuka” pada Qs. Al Maidah (5) ayat 64 artinya Allah memiliki dua tangan zahir ataukah Allah Pemurah ?? Mana yang benar ???
Jawab : Yang benar artinya adalah Allah Pemurah.. Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Ibn Abbas (w.68 H) menyatakan bahwa lafal “ghull al yad” ( tangan terbelenggu ) sudah lumrah di pakai dalam bahasa Arab untuk arti kikir , dan lafal “basth al yad” ( tangan terbuka ) dipakai untuk arti pemurah dan dermawan (h)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengutip Qs. Al Isra’ (17) ayat 29 yang berbunyi; “Dan jangan lah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah pula kamu terlalu membukanya” .. (h) Apakah tangan manusia disini bermakna zahir ????
Jadi kenapa ada bentuk tunggal dan ganda pada YAD ALLAH dalam Qs.5:64 ?
Jawab: Menurut Al Baydhawi (w.691 H); bentuk ganda ( tatsniyah pada “bal yadahu mabsuthatan” ) bukan bentuk tunggal (mufrad seperti pada “yadullah maghlulah”) ADALAH untuk mempertegas kemurahan Nya dan mempertegas penolakan Nya terhadap fitnah keji orang orang Yahudi.. INGAT :Al Quran turun pada masa sastra Arab sedang berada dipuncaknya !!!
Rujukan :
a = Buku “Rasionalitas Al Quran” karya M. Quraisy Shihab hal. 71. Penerbit Lentera Hati, 2006
c = Ibnu Al Qayyim Al Jawziyah, Mukhtashar Al Shawa’iq Al Mursalah ‘An Al Jahmiyyah wa Al Mu’aththilah, cetakan ke 1 ( Beirut: Dar A- Kutub Al ‘ilmiyyah ) hal. 339
b = TAFSiR AL M A N A R, disusun Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, jilid 1, hal. 435
d= Ibid, Jilid 3 hal. 83
e = Ibid, Jilid 7 hal. 436
f = Ibid, Jilid 12 hal. 73
h = Ibid, Jilid 6 hal. 454
g= Buku “Rasyid Ridha, Konsep Teologi”, karya Dr. A.Athaillah dari IAIN ANTASARI, penerbit ERLANGGA
………………………………………………………………………..
Saudara pembaca  …..
Apa maksud wajah Allah ??
Jawab :
Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, “Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh).” Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?
Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.
Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini.
artinya : “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”
Maknalafadz illa wajhahu (kecuali wajah-Nya), al Imam al Bukhari berkata: “kecuali sulthan (tasharruf atau kekuasaan-) Allah”.
Mengaharapkan “wajah Allah” bermakna “mengharapkan pahala/ridho Allah
wa maa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillah
“Dan Janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena Keridhaan Allah ” (Al-Baqarah 272).
Dalam tafsir jalalain disebutkan : (illabtighaa-a wajhillah) mengharapkan ganjaran dari Allah saja bukan selainnya dari kekayaan dunia.
Tafsir Ayat Mutasyabihat WAJAH
Kemanapun engkau menghadap maka akan kamu dapati WAJAH ALLAH ( KIBLAT ALLAH ) (QS albaqarah 115) menurut  Mujahid
Saudaraku….
Tafsir Ayat Mutasyabihat TANGAN
Allah SWT telah berfirman dalam Adzariyat : 47
Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(Kekuasaan) Kami….” (Qs adzariyat ayat 47)
Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz  biaidin) adalah “dengan kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.
Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar sunni :
Dalam Tafsir Qurtuby:
Dalam Tafsir Thabary :
Dalam Tafsir Jalalain ; Biquwati
Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUTAN-NYA
kemudian dalam surat Al-Fath : 10
firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.
Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi saw bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”… Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi. Pada hadits lainnya dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dari arah Najd akan timbul dua tanduk iblis. Sekarang kita bertanya-tanya siapakah gerangan? Yakni Musailamah Al Kadzab dan Muhamad Bin Abdul Wahhab. Keduanya datang dari arah itu.
ternyata  akidah  wahabi   dibidang  asma’  wa  shifat  sama  dengan  akidah  Abu  Hasan  Al  Asy’ari…
Akidah Abu Hasan Al Asy’ari  Dalam Kitab Maqalat Al Islamiyyin Sam Dengan Akidah Wahabi  Salafi…  Kenapa  Kaum  Sunni  Cuma  Berani  Mengkafirkan  Akidah  Wahabi  Tetapi  Mengagung Agungkan  Abu Hasan  Al  Asy’ari…. Mazhab Anda Kacau Balau !
Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai
bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan
Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau
berkata;
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,
meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam
yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi
gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–
ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari
sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah
adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak
dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan
Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur,
dan Allah
bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.
الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى
(Thoha ayat 5)
Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif,
seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya:
بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64)
Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14)
Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah :
الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5)
Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ
Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).
Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :
…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).
…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ
Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).
.
Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya: …تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا
Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).
Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.
Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).
Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.
Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.
Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.
Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.
Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).
Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)
Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).
Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.
Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu.
Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.
Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu
========================================================================================
ABU  HASAN  AL  ASY’ARi   YANG  MENJADi  KONTROVERSi   SALAFi  WAHABi   vs  NAHDLATUL  ULAMA
Pengikut  Asy’ari   seperti   Nahdlatul  Ulama  tidak menyadari   bahwa  akidah  Asy’ari  yang asli  mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.
Di lain pihak, Salafi  Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata  “masih ahlul kalam”….
Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam  dibidang akidah…
Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.
Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah
orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu
Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.
Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa  keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan  wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min  boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir..…  ARTiNYA  walaupun  mereka  menganggap hal tersebut   SEBAGAi   BERBEDA  DENGAN  MAKHLUK, tetapi  I’tiqad  ahlul  hadis  hasywiyyah  dan Abu Hasan  Al  Asy’ari   adalah  antropomorfis  !!!!!!
Dalam  kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin, tokoh  sunni   Abu  HAsan Al  Asy’ari  menulis  : “ Keagungan  Allah  mempunyai batas  yang  berdekatan dengan bagian  tertinggi   dari   ‘arsy nya”… Abu  Hasan  menyatakan : “Allah mempunyai  dua  tangan, dua mata, dua  kaki, semua  akan binasa kecuali  WAJAH nya ( Kitab  Maqalat  Al  islamiyyin hal. 295 )
Pertanyaan :
  1. Apakah  keagungan  ZAT  Allah  cuma  sebatas  bagian tertinggi  dari  arsy nya ???
  2. Apakah  tangan  dan  mata  Allah  akan  binasa  ????
Bagi   syi’ah  : ini  pelecehan ………
Pada masa  Rasululullah  SAW :   Kaum  mujassimah  dari  kalangan  Yahudi  ( ahlul kitab ) memiliki  i’tiqad MEMBADANKAN  ALLAH, sehingga mereka  terjerat kedalam ekstrimitas…Namun  hal tersebut  menyusup kedalam ajaran Islam
Abu  Hurairah  yang  merupakan  MANTAN  YAHUDi  (  kemudian ia masuk  Islam   ) memiliki  beberapa  orang  sahabat  karib  dari  kalangan  mantan  ahlul kitab yang  masuk  Islam seperti  Ka’ab  al  Ahbar  dan  Wahab Munabbih  memasukkan  akidah  israilliyat  kedalam  hadis  sunni…
Penganut  mazhab  hambali  ( salafiah ) menolak  keras  asy’ariyyah  maturidiyyah  karena  dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….
Pada  akhirnya….
Aliran   ASY’ARiYYAH   MAMPU  MENGALAHKAN  DUA  ALiRAN  :
  1. Aliran   rasionalis   mu’tazilah
  2. Aliran   ahlul   hadis  hasywiyyah  ( anti  ilmu  kalam )
kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi  asy’ari dan maturidy merupakan perintis  awal  aliran kalam aswaja sunni
—————-
Pertanyaan  : Dimanakah  posisi  Abu  Hasan Al  Asy’ari  ???
Jawab : Asy’ari  adalah  tokoh  aliran  kalam  yang  mencoba  memadukan aliran  mu’tazilah  dengan  aliran  ahlul  hadis  hasywiyyah
———————–
Pertanyaan : Wahabi  mengklaim  Abu  HAsan  Al  Asy’ari  mengalami  3  fase  kehidupan,  jadi  asy’ari  adalah  salafi  ????
Jawab : Abu  Hasan  Al  Asy’ari  mencetuskan  teori  kasb, yang mana teori  ini  dikecam  keras  oleh  iBNU   TAiMIYYAH  karena  berbau  jabariyah..
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan
ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang
tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau
berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan
oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat
sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang
memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi
kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta
pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau
menetapkan:
1.      Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya
dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala,
seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan,
dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan
bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu,
pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah
berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit
dunia.
2.      Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3.      Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan
malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau
menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah
khususnya asma dan sifat yaitu;
1.      Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan,
sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
2.      Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit
dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada
hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di
atas arsy.
3.      Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari
kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
ABU  HASAN  AL  ASY’ARi   YANG  MENJADi  KONTROVERSi   SALAFi  WAHABi   vs  NAHDLATUL  ULAMA
Pengikut  Asy’ari   seperti   Nahdlatul  Ulama  tidak menyadari   bahwa  akidah  Asy’ari  yang asli  mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.
Di lain pihak, Salafi  Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata  “masih ahlul kalam”….
Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam  dibidang akidah…
Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.
Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah
orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu
Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.
Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa  keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan  wajib taat pada pemimpin…Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min  boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik
Dalam kitab  Al Maqalat  Al  Islamiyyin disebutkan :  Imam  Ahmad  bin  Hambal  ( Ahlul   hadis   ) dan   Abu  Hasan  Al Asy’ari   meyakini   bahwa  Allah  memiliki  anggota  badan   jasmaniah seperti  : dua tangan, wajah, dua mata, mereka  juga meyakini  bahwa  Allah  bertempat  di arsy  dan turun  ke langit  dunia  pada  sepertiga malam yang akhir..…  ARTiNYA  walaupun  mereka  menganggap hal tersebut   SEBAGAi   BERBEDA  DENGAN  MAKHLUK, tetapi  I’tiqad  ahlul  hadis  hasywiyyah  dan Abu Hasan  Al  Asy’ari   adalah  antropomorfis  !!!!!!
Dalam  kitab  Maqalat  Al  Islamiyyin, tokoh  sunni   Abu  HAsan Al  Asy’ari  menulis  : “ Keagungan  Allah  mempunyai batas  yang  berdekatan dengan bagian  tertinggi   dari   ‘arsy nya”… Abu  Hasan  menyatakan : “Allah mempunyai  dua  tangan, dua mata, dua  kaki, semua  akan binasa kecuali  WAJAH nya ( Kitab  Maqalat  Al  islamiyyin hal. 295 )
Pertanyaan :
  1. Apakah  keagungan  ZAT  Allah  cuma  sebatas  bagian tertinggi  dari  arsy nya ???
  2. Apakah  tangan  dan  mata  Allah  akan  binasa  ????
Bagi   syi’ah  : ini  pelecehan ………
Pada masa  Rasululullah  SAW :   Kaum  mujassimah  dari  kalangan  Yahudi  ( ahlul kitab ) memiliki  i’tiqad MEMBADANKAN  ALLAH, sehingga mereka  terjerat kedalam ekstrimitas…Namun  hal tersebut  menyusup kedalam ajaran Islam
Abu  Hurairah  yang  merupakan  MANTAN  YAHUDi  (  kemudian ia masuk  Islam   ) memiliki  beberapa  orang  sahabat  karib  dari  kalangan  mantan  ahlul kitab yang  masuk  Islam seperti  Ka’ab  al  Ahbar  dan  Wahab Munabbih  memasukkan  akidah  israilliyat  kedalam  hadis  sunni…
Penganut  mazhab  hambali  ( salafiah ) menolak  keras  asy’ariyyah  maturidiyyah  karena  dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….
Pada  akhirnya….
Aliran   ASY’ARiYYAH   MAMPU  MENGALAHKAN  DUA  ALiRAN  :
  1. Aliran   rasionalis   mu’tazilah
  2. Aliran   ahlul   hadis  hasywiyyah  ( anti  ilmu  kalam )
kedua aliran ini terkapar…. karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy… Jadi  asy’ari dan maturidy merupakan perintis  awal  aliran kalam aswaja sunni
—————-
Pertanyaan  : Dimanakah  posisi  Abu  Hasan Al  Asy’ari  ???
Jawab : Asy’ari  adalah  tokoh  aliran  kalam  yang  mencoba  memadukan aliran  mu’tazilah  dengan  aliran  ahlul  hadis  hasywiyyah
———————–
Pertanyaan : Wahabi  mengklaim  Abu  HAsan  Al  Asy’ari  mengalami  3  fase  kehidupan,  jadi  asy’ari  adalah  salafi  ????
Jawab : Abu  Hasan  Al  Asy’ari  mencetuskan  teori  kasb, yang mana teori  ini  dikecam  keras  oleh  iBNU   TAiMIYYAH  karena  berbau  jabariyah.. Itulah bukti  Asy’ari  adalah  tokoh  kalam dan  asy’ari   bukan  salafi  murni  !!!!!!!!!!!!!!
Allah SWT Dalam Akidah Ahlusunnah
Di antara keyakinan tentang Allah SWT dan sifat-sifat-Nya yang meniscayakan tajsîm dan tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah SWT itu butuh kepada ruang dan wadah untuk bertempat. Dan tempat itu adalah Arsy. Dan Arsy yang di atasnya Allah bersemayam itu dipikul oleh delapan malaikat dalam bentuk kambing hutan yang mengapung di atas laut di atas langit ke tujuh. Dalam laut itu seperti tebal antara langit yang satu dengan langit lainnya! Demikianlah keyakinan Mazhab Sunni dalam menggambarkan Tuhan yang dibangun di atas hadis-hadis yang diriwayatkan para muhaddis dan dibakukan sebagai dasar akidah oleh para ulama Sunni. Hadis tentangnya dikenal dengan nama hadis Au’âl (kambing jantan).
Untuk menyingkat pembahasan ini, saya akan sebutkan langsung nash hadis andalan Mazhab Sunni dalam menegakkan akidah yang satu ini.
Nash Hadis Au’âl!
Para muhaddis Sunni, di antaranya Al Hâkim dalam kitab al Mustadrak-nya[1] dengan sanad: Dari Abdullah ibn Umarah dari Abbas ibn Abdil Muththalib, ia berkata:
.

كنا جلوساً مع رسول الله (ص) بالبطحاء ، فمرت سحابة ، فقال رسول الله (ص) : أتدرون ما هذا ؟ فقلنا : الله ورسوله أعلم . فقال السحاب . فقلنا: السحاب ؟ فقال : والمزن فقلنا : وما المزن ؟ فقال : والعنان ، ثم سكت ، ثم قال : أتدرون كم بين السماء والأرض ؟

فقلنا : الله ورسوله أعلم .

فقال : بينهما مسيرة خمسمائة سنة ، وبين كل سماء إلى السماء التي تليها مسيرة خمسمائة سنة ، وكثف كل سماء مسيرة خمسمائة سنة ، وفوق السماء السابعة بحر بين أعلاه وأسفله كما بين السماء والأرض ، ثم فوق ذلك ثمانية أوعال بين ركبهم وأظلافهم كما بين السماء والأرض ، والله فوق ذلك ليس يخفى عليه من أعمال بني آدم شيء .

.
Ketika kami sedangn duduk di sisi Rasulullah saw. di sebuah lembah, lalu lewatlah awan, maka beliau saw. bersabda: ‘Tahukah kalian apa namanya ini?’ kamipun menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang lebih tau.’ Lalu beliau bersabda, ‘Ia adalah sahâb/awan.’ Maka kamipun mengatakan: ‘awan.’ Dan al muzn, lanjut beliau. Maka kami pun mengatakan, al muzn. Al ‘anân, tambah beliau lagi, dan kami pun mengatakannya. Kemudian beliau berhenti sejenak lalu bersabda: ‘Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi?
Kamipun menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui.’
Lanjut beliau: ‘Jarak antara langit dan bumi adalah lima ratus tahun (perjalanan). Dan jarak antara satu langit dengan langit setelahnya adalah lima ratus tahun (perjalanan). Dan tebal antara satu langit dengan langit berikutnya adalah lima ratus tahun (perjalanan).
Dan di atas langit ke tujuh terdapat lautan yang jarak antara atas dan bawahnya seperti jarak antara langit dan bumi. Kemudian di atas itu terdapat delapan kambing hutan yang antara lutut dan kuku-kuku mereka sepertti jarak antara langit dan bumi. Dan Allah berada di atas itu. Tiada terseumbunyi sedikitpun dari amal anak Adam.”
(Al Hâkim berkata; “Hadis ini shahhih sanadnya akan tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Adz Dzahabi juga menyetujui penshahihan itu.)
Seperti telah disinggung bahwa hadis di atas telah diriwayatkan banyak ulama selain al Hâkim, di antaranya adalah:
1)  Ahmad dalam Musnad-nya. Hanya saja dalam riwayat Ahmad terdapat tambahan di akhirnyta:
.

: ثم فوق ذلك ثمانية أوعال بين ركبهن وأظلافهن كما بين السماء والأرض ، ثم فوق ذلك العرش بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض ، والله تبارك وتعالى فوق ذلك وليس يخفى عليه من أعمال بنى آدم شيء

“Kemudian di atasnya terdapat delapan ekor kambing hutan yang jarak antara lutut dan kuku-kuku mereka seperti jarak antara kangit dan bumi. Kemudian di atasnya terdapat Arsy yang jarak antara atas dan bawahnya seperti jarak antara kangit dan bumi. Dan Allah Yang Maha Berkah dan maha Tinggi berada di atasnya. Dan tiada samar atas-Nya amal-amal bani Adam.[2]
2)      At Turmudzi dan ia mengatakan: “hadis itu Hasan Gharîb.
3)      Abu Daud.
4)      Ibnu Mâjah.
5)      Abu Ya’lâ al Mûshili.
6)      Al Bzzâr.
7)      Ibnu Ab Syaibah dalam kitab al ‘Arsy.
8)      Al Fâkihi dalam kitab Akhâr Mekkah.
9)      Ibnu Abi Hâtim.
10)   Al Lâlakai ath Thabari dalam ‘Ushûl I’tiqâd Ahlisunnah wal Jamâ’ah.
11) Al âjuri dalam kitab Syarî’ah.
12)   Utsman ibn Sa’ad ad Dârimi dalam an Naqdhi, dan dalam ar radd ‘Ala al jahmiah.
13)   Ibnu Khuzaimah dalam kitab at Tauhid.
14)   Ibnu Mandah dalam kitab at Tauhid.
15)   Al baihaqi dalam al Asmâ’ wa ash Shifât.
16)   Abu Bakr asy Syafi’i dalam kitab al Fawâid.
17)   Ar Ruyâni dalam Musnad-nya.
18)   Ibnu ABdil Barr dalam att Tamhid-nya.
19)   Abu Syaikh al Isfahâni dalam kitab al ‘Adhamah.
20)   Al Maqdisi dalam kitab al Mutkhtarah-nya.
21)   Adz Dzahabi dalam kktab al ‘Uluw-nya.
22)   Dan selain mereka masih banyak lainnya.[3]
Pernyataan Para Ulama Ahlusunnah wal Jamâah
Para ulama Ahlusunnah-khusunya yang bermazhab Hanbali, yang sekarang menamakan diri dengan Salafiyah telah menshahihkan hadis di atas dan menjadikannya dasar dalam meyakini bahwa Allah (Maha Suci Allah dari pensifatan kaum Jahil) itu bertempat dan bersemayam di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan malaikat yang menyerupai rupa kambing. Di antara mereka:
1)                  Al Hâkim
2)                  Adz Dzahabi seperti telah Anda baca bersama pernyataan mereka berdua.
3)      Ibnu Tamiyah (yang selalu mereka sebut dengan gelar Syeikhul Islam sebagai penghormatan.
Keterangan Ibnu Tamiyah
Dalam perdebatannya dengan lawan akidah al Wâsithiah-nya, Ibnu Tamiyah yang dipojokkan kerena meyakini apa yang disebutkan dalam hadis membela diri dengan mengatakan:
.

… وطلب بعضهم إعادة قراءة الأحاديث المذكورة في العقيدة ليطعن في بعضها ، فعرفت مقصوده . فقلت: كأنك قد استعددت للطعن في حديث الأوعـال: حديث العباس بن عبـد المطلب .

“Sebagian mereka meminta untuk meneliti kembali hadis-hadis tersebut dalam Aqidah karena sebagiannya ada yang cacat. Aku mengerti maksudnya, maka aku berkata, ‘Sepertinya kamu telah menyiapkan kecaman atas hadis Au’âl yaitu hadis riwayat Abbas ibn Abdul Muththalib
Lalu ia mengatakan:
.

وكانوا قد اعنتوا حتى ظفروا بما تكلم به زكي الدين عبد العظيم من قول البخاري في تأريخه : عبد الله بن عميرة لا يعرف له سماع من الأحنف . فقلت : هذا الحديث مع أنه رواه أهل السنن كأبي داود ، وابن ماجة ، والترمذي ، وغيرهم ، فهو مروي من طريقين مشهورين فالقدح في أحدهما لا يقدح في الآخر .

فقال : أليس مداره على ابن عميرة ، وقد قال البخاري : لا يُعرف له سماع من الأحنف ؟

فقلت : قد رواه إمام الأئمة ابن خزيمة في كتاب التوحيد الذي اشترط فيه أنه لا يحتج فيه إلا بما نقله العدل عن العدل موصولاً إلى النبي صلى الله عليه (وآله) وسلم . قلت : والإثبات مقدم على النفي ، والبخاري إنما نفى معرفة سماعه من الأحنف ، لم ينف معرفة الناس بهذا ، فإذا عرف غيره كإمام الأئمة ابن خزيمة ما ثبت به الإسناد كان معرفته وإثباته مقدماً على نفي غيره وعدم معرفته .

.
“Mereka telah bersungguh-sungguh dalam memerhatikan hadis ini sehingga mereka menemukan keterangan dari Zakiyyuddîn Abdul ‘Adzim yang menukil pernyataan Bukhari dalam kitab Târîkh-nya: ‘Abdullah ibn ‘Umairah itu tidak dikenal pernah mendengar hadis dari Ahnaf.’ Maka aku berkata: ‘Hadis ini telah diriwayatkan oleh penulis kitab Sunan seperti Abu Daud, Ibnu Mâjah, at Turmudzi dan lainnya. Dia telah diriwayatkan dari dua jalur yang terkenal. Mengecam salah satunya tidak akan mencacat hadis jalur lainnya.
Ia berkata: ‘Bukankah hadis itu berporos pada Ibnu ‘Umairah, sementara Bukhari telah berkata: ‘Abdullah ibn ‘Umairah itu tidak dikenal pernah mendengar hadis dari Ahnaf?’
Maka aku berkata: “Hadis itu telah diriwayatkan oleh imam para imam; Ibnu Khuzaimah dalam kitab at Tauhid-nya yang di dalamnya ia mensyaratkan untuk tidak berhujjah melainkan dengan hadis yang dinukil oleh parawi adil hingga bersambung kepada Nabi saw. Aku (Ibnu Taimyah) berkata: ’Dan yang menetapkan lebih diutamakan dari yang menafikan. Bukhari hanya menafikan pengetahuannya bahwa Ibnu ‘Umairah itu pernah mendengar riwayat dai Ahnaf. Tetapi ia tidak menafikan pengetahuan orang lain. Maka jika ada seorang imam lain seperti Ibnu Khuzaimah; imam para imam mengetahuinya yang dengannya telah tetap sanad maka ia lebih diutamakan atas penafian selainnya dan ketidak tauannya. [4]
4)      Ibnu Qayyim al Jauziyah (murid setia Ibnu Tamiyah)
Ibnu Qayyim juga menshahihkan hadis ini dalam Hasyiah (cacatan pinggir atas kitab) Sunan Abu Daud. Dan setelah menyebutkan beberap kritik di antaranya pertentangannya dengan hadis Abu Hurairah, ia berkata:

فكل منهما يصدق الآخر ويشهد بصحته ، ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافاً كثيراً .

“Maka kedua hadis itu saling membenarkan dan mendukung keshahihannya. Andai bukan dari Allah pastilah kamu menemukan pertentangan yang banyak. [5]
Inilah dongeng Au’âl yang menjadi akidah andalan para ulama Ahlusunnah. Dan itulah keterangan para ulama tentangnya dan selain mereka masih banyak lainnya.
Ibnu Jakfari berkata
Jika Anda meneliti akidah kaum pagan dan rajin membaca dongeng-dongeng bangsa Yunani kuno pasti Anda akan segera mengetahui sumber dongeng yang berubah menjadi akidah andalan Mazhab Sunni. Dalam dongeng bangsa Yunani kuno digambarkan bahwa tuahn mereka mengendareai singgasana dan kendaraan yang memuatnya. Jelas gambaran Tuhan seperti dalam hadis Au’âl adalah akidah yang sangat bertentangan dengan Kemaha Sucian Allah!
Saya yakin Anda setuju jika ada yang mengatakan bahwa Allah harus disucikan dari pensifatan kaum jahil. Dan meyakini bahwa Allah –Dzat Yang Maha Agung dan Maha Suci dari butuh kepada makhluk-Nya!
Tetapi jika kebutuhan Allah kepada bertempat….  Bersemayam di atas Arsy yang dipikul oleh Au’âl (kambing hutan jantan) yang mengapung di atas lautan yang berada di atas langit ke tujuh itu tidak dianggap bertentangan dengan kemaha sucian Allah SWT.. maka apa yang harus kami katakkan?
Para ulama Ahlusunnah (khususnya mereka yang kental dengan kayakinan tajsîm dan tasybîh) hanya sibuk menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Au’âl itu adalah para malaikat yang memikul Arsy yang di atasnya Allah SWT bersemayam, bukan kambing hutan jantan yang beneran. Mungkin dalam anggapan mereka dengan demikian masalahnya menjadi beres… kemaha sucian Allah terselamatkan!
Apa bedanya, Allah yang sedang bersemayam di atas Arsy yang mana Arsy-Nya dipikul makhluk-Nya, baik dia itu kambing hutan jantan atau malaikat? Apakah akan merubah masalah? Tolong fatwakan kepada kami, semoga Allah merahmati dan memberi upah surga abadi untuk kalian wahai Sunniyyûn?
Mungkin akal kami sangat terbatas dan tidak sejenius kalian, sehingga mampu meyakini Kemaha Sucian Allah itu terletak pada bersemayamnya Allah di atas Arsy yang ditegakkan di atas punggung Au’âl dan bukan pada ketidak butuhan Allah SWT kepada tempat, apapun dia, Arsy atau lainya? Sebab seperti disabdakan dan diajarkan para imam Ahlulbait as. yang kami beriman akan keimamahan dan kemaksuman mereka menegaskan bahwa Maha Suci Allah dari bertempat, sebab Dia adalah Dzat yang Azali dan telah wujud sebelum wujudnya tempat. Dialah yang menciptakan tempat, lalu bagaimana Dia butuh kepada bertempat.
Namun sayang, sabda-sabda suci para imam suci tidak kalian hiraukan dan tidak diindahkan. Kalian lebih bangga mengandalkan hadis-hadis palsu buatan kaum pembatil. Innâ Lillâhi wa Innâ ilaihi Râji’ûn.

[1] Mustadrak,1/378.
[2] Musnad Ahmad,1/206.
[3] Sunan at Turmudzi,5/395 hadis:3320, Sunan Abu Daud,4/231, ‘Aun al Ma’bûd (syarah Sunan Abu Daud,7/4-6, Sunan Ibnu Mâjah,1/69 hadis:193, Musnad al Bazzâr,4/135 hadis:1310, al Asmâ’ wa ash Shifât:526, Musnad Abu Ya’lâ,12/76 hdis:6713, Akhbâr Mekkah,3/76, 77 hadis:1827, kitab Al Arsy:319-322, ar Radd ‘ala al Jahmiah:50 hadis 72, at Tamhîd,7/140, al Ahâhîts al Mikhtârah,8/378 dan 375 hadis: 462 dan376 hadis:464, Syarah ‘Ushûli Aqidah Ahlisunnah,3/389-390 nomer:650, 390-391 nomer:651, at Tauhîd; Ibnu Khuzaimah:101-102, kitab as Sunnah; Ibnu Abi ‘Âshim,1/253 hadis:577, 254 hadis:578 , kitab al ‘Adhamah:82 nomer 206, 2/566 nomer 15, asy Syari’ah:292, al ‘Uluw:59, Itsbât Shifati al ‘Uluw; Ibnu Qudamah al Maqdisi:59, dan Firdaus al Akhbâr,5/130.
[4] Majmû’ Fatâwa Ibn Tamiyah,3/191-193.
[5] Hasyiyah atas Sunan Abu Daud,7/8 Dan pernyataan Ibnu Qayyim di atas dapat juga Anda baca dalam Tuhfatu Ahwadzi (syarah Sunan at Turmudzi; Al Mubarakfuri)9/166.
=====================================================================
Bandingkan Akidah Kalian Dengan Akidah Kami!!
Tidak ada yang dapat dipercaya dalam mengawal agama Islam selain pribadi-pribadi suci yang telah direkomendasikan Allah dan rasul-Nya untuk menjadi pengawal dan menjaga agama-Nya dari kerusakan dan penyimpangan yang dilakoni oleh kaum-kaum, yang entah dengan sengaja atau karena keteledoran atau karena kelemahan dan kejahilan.
Dalam salah satu hadis shahihnya, Nabi tercinta saw. telah memperkenalkan kepada kita pribadi-pribadi suci yang lahir dari pohon kenabian. Beliau saw. bersabda:

فِيْ كُلِّ خَلَفٍ مِن أُمَّتِي عُدولٌ مِن أهْلِ بَيْتِي، يَنْفَونَ عَن هذا الدِّيْنِ تَحْرِيْفَ الضَّالِّيْن، وانْتِحالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتأوِيْلَ الجاهِلِين. الاَ و إنَّ أَئِمَّتَكُم وَفْدُكُم إلىَ اللهِ، فَانْظُرُوا مَنْ تُوْفِدُوْنَ.

“Pada setiap generasi dari umatku ada orang-orang adil dari Ahlulbaitku, mereka menghilangkan dari agama ini penyimpangan kaum sesat, penambahan kaum pembatil dan penakwilan menyimpang kaum jahil. Ketahuilah bahwa para imam kalian adalah delegasi yang membimbing kalian menuju Allah, maka perhatikan siapa yang kalian jadikan delegasi.” [1]
Perhatikan! Bagaimana Nabi saw. telah mensinyalir terjadinya kerusakan dan penyimpangan, khususnya dalam akidah dengan memperalat ayat-ayat mutasyâbihât dan memalsu atau tertipu oleh hadis palsu yang akan dialami oleh agama Islam -yang dengan susah payah dan pengorbanan beliau perjuangkan-. Dan yang melakoninya adalah trio penyesat umat:
  1. Kaum Sesat, dengan penyimpangan tafsir agama yang disengaja untuk menyesatkan para pejalan di padang pasir luas tak bertepi menuju hidayah Allah SWT…
  2. Kaum Pembatil yang mengaku-ngaku menyandang maqam tertentu dan memikiki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT yang kemudian dengannya mereka menjaring kaum yang sedang kebingungan mencari-cari figur panutannya yang akan menuntunnya menuju tepian petunjuk Ilahi dan kebahagian serta kedamaian abadi…
  3. Kaum Jahil yang memaksa diri menyelami lautan ajaran Islam lalu menebak-nebak takwil dan maksud ajaran langit…
Sebagai bukti kecil, kami akan sebutkan dua model sajian akidah yang ditawarkan Ahlulbait suci Nabi saw. dan yang ditawarkan oleh selain Ahlulbait suci as.
  • Akidah Tauhid Tawaran Sunni
Para ulama Sunni telah meriwayatkan hadis atas nama Nabi saw. dari Umar dan selainnya, bahwa Allah SWT duduk di atas Arsy-Nya. Dan Arsy itu mengeluarkan suara tanda adanya beban berat yang ia pikul. Maha Suci Allah dari bualan kaum Pembid’ah!
Al Haitsami meriwayatkan dalam kitab Majma’ az Zawâid,1/83 dari Umar:

أن امرأة أتت النبي (ص) فقالت: أدع الله أن يدخلني الجنة، فَعَظَّمَ الرب تبارك وتعالى وقال:إن كرسيه وسع السموات والأرض، وإن له أطيطاً كأطيط الرَّحْل الجديد إذا رُكب، من ثقله

“Bahwa ada seorang wanita datag menemui Nabi saw. lalu berkata, ‘Berdoalah agar Allah memasukkanku ke dalam surga.’ Maka Nabi saw. mengagungkan Tuhan Maha Berkah Lagi Maha Tinggi, lalu berkata: “Sesungguhnya Kursi-Nya melebihi luasnya langit-langit dan bumi, dan ia (kursi Allah) memiliki bunyi/athîth seperti athîth kendaraan baru jika dikendarai karena bobot-Nya.”
Setelah meriwayatkannya, al Haitsami menegaskan kesahihannya dengan mengatakan:

رواه البزار ورجاله رجال الصحيح

“Hadis ini dirwayatkan oleh al Bazzâr dan seluruh perawinya adalah parawi berkualitas sahih.”
Jika demikian pasti Anda berhak bertanya, berapa juta ton bobot Tuhan mereka sehingga Kursi Allah hampi-hampir tak sanggup menaggung-Nya dan merasa keberatan sehingga mengeluarkan suara/ athîth?
Sementara di hadis lain, yang juga diriwayatkan dan disahihahkan para penggede ulama dan imam Ahlusunnah bahwa langit … itu berada dalam genggaman jari-jemari Allah… dan yang aneh jari-jemari Allah masih belum jelas jumlahnya, menurut sebagian riwayatnya ada enam sementara hadis lainnya memastikan jumlahnya ada lima….
Imam Bukhaari meriwayatkan dalam kitab Shahih karangannya,6/33 dari Abdulllah ibn Umar, ia berkata:.
.

جاء حبر من الأحبار إلى رسول الله (ص) فقال: يا محمد إنا نجد أن الله يجعل السماوات على إصبع والأرضين على إصبع والشجر على إصبع والماء والثرى على إصبع وسائر الخلائق على إصبع فيقول أنا الملك! فضحك النبي (ص) حتى بدت نواجذه تصديقاً لقول الحبر!

.
“Ada seorang pendeta Yahudi datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Hai Muhammad, kami menemukan (dalam kitab Taurat_pen) bahwa Allah menjadikan langit-langit di atas sebuah jari, bumi-bumi di atas sebuah jari lain, pepohonan di atas jari lain lagi, air di atas jari, bintang di atas jari dan seluruh ciptaan di atas jari lain. Lalu Dia berfiman; “Akulah Raja!” Maka Nabi saw. tertawa sehingga gigi-gigi graham beliau terlihat sebagai pembenaran atas ucapan sang pendeta.”
Hadis serupa juga diriwayatkan Imam Sunni Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad-Nya,1/457 dari Abdullah ibn Mas’ud:

.

جاء حبر إلى رسول الله (ص) فقال: يامحمد أو يا رسول الله إن الله عز وجل يوم القيامة يحمل السموات على إصبع والأرضين على إصبع والجبال على إصبع والشجر على إصبع والماء والثرى على إصبع وسائر الخلق على إصبع، يهزهن فيقول أنا الملك! فضحك رسول الله (ص) حتى بدت نواجذه تصديقاً لقول الحبر.

“Ada seorang pendeta Yahudi datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Hai Muhammad, (atau ia berkata: Hai Rasul Allah), sesungguhnya Allah –Azza wa Jalla/Yang Maha Mulia lagi Maha Agung- pada hari kiamat akan menggotong langit-langit di atas sebuah jari, bumi-bumi di atas sebuah jari lain, gunung-gunung di atas sebuah jari, pepohonan di atas jari lain lagi, air di atas jari, bintang di atas jari dan seluruh ciptaan di atas jari lain, Dia menggoyangkannya sambil berfiman; “Akulah Raja!” Maka Nabi saw. tertawa sehingga gigi-gigi graham beliau terlihat sebagai pembenaran atas ucapan sang pendeta.” [2]
.
Hadis ini juga disambut gembira oleh pendiri sekte Wahhâbiyah; Ibnu ABdil Wahhâb dalam kitab at Tauhid karyanya.
Demikian mereka memperkenalkan kemaha agungan Allah…. Allah berbobot sehingga membuat berat Kusri yang Dia duduki dan dalam lembaran lain justru seluruh ciptaan-Nya  (termasuk Kursi sebab ia adalah termasuk ciptaan Allah) berada di atas sebuah jari-Nya.
Konsep Tauhid Tawaran Ahlulbait as.
Nah, sekarang bandingkan dengan sabda Ahlulbait suci as. sebagaimana diriwayatkan Nabi saw ; Syeikh al Kulaini dalam kitab berharga beliau al Kâfi yang mulia,1/130:

.

عن صفوان بن يحيى قال: سألني أبو قرة المحدث أن أدخله على أبي الحسن الرضا (عليه السلام) فأستأذنته فأذن لي فدخل فسأله عن الحلال والحرام، ثم قال له: أفتقر أن الله محمول؟ فقال أبو الحسن (عليه السلام): كل محمول مفعول به مضاف إلى غيره محتاج، والمحمول اسم نقص في اللفظ، والحامل فاعل وهو في اللفظ مدحة، وكذلك قول القائل: فوق وتحت وأعلى وأسفل، وقد قال الله: (وَللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا)، ولم يقل في كتبه، إنه المحمول،بل قال: إنه الحامل في البر والبحر، والممسك السماوات والأرض أن تزولا، والمحمول ما سوى الله! ولم يسمع أحد آمن بالله وعظمته قط قال في دعائه: يا محمول!!

“Dari Shafwân ibn Yahya, ia berkata, Abu Qarrah memintaku agar aku memasukkannya menemui Abul Hasan ar Ridha as., lalu aku memintakan izin untuknya, kemudian beliau mengizinkan dan iapun masuk, lalu bertanya kepada Imam tentang masalah (hukum) halal dan haram. Kemudian ia berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mengakui bahwa Allah itu dimuat/dipikul?’ Maka Abul Hasan as. bersabda: “setiap yang dipikul itu berarti ia maf’ûl (dikenai pekerjaan) dan disandarkan kepada sesuatu lainnya dan butuh. Yang diangkut itu adalah kata yang mengandung konotasi kurang/cacat. Sedangkan ‘si pembawa’ adalah palaku, dan ia dalam pengucapan adalah pujian. Demikain pula dengan ucapan seorang: di atas, di bawah, lebih tinggi dan lebih rendah/lebih di bawah. Dan Allah telah berfirman: “Dan bagi-Nya nama-nama yang baik, maka serulah Dia dengannya.” Dan Allah tidak pernah berfirman dalam kitab-kitab suci-Nya bahwa Dia dipikul/dimuat. Bahkan Dialah Dzat Yang Membawa baik di lautan maupun di daratan. Dialah yang menahan langit-langit dan bumi dari berjatuhan/sirna. Yang diangkut itu yang selain Allah! Dan tidak pernah didengar ada seorang yang beriman kepada Allah dan mengakui keagungan-Nya berkata dalam doa yang ia panjatkan: Wahai Dzat yang Diangkut.


قال أبو قرة: فإنه قال: (وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ) وقال: (الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ)؟

Abu Qarrah berkata: “Sesungguhnya Dia berfirman: Dan malaikat-malaikat berada di penjuru- penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.“ (QS. Al Hâqqah [69];17 (
Dan Dia berfiarman: “Malaikat- malaikat) yang memikul Arasy… “?
Maka Abul Hasan as. bersabda:

العرش ليس هو الله، والعرش اسم علم وقدرة، وعرشه فيه كل شئ، ثم أضاف الحمل إلى غيره: خلق من خلقه، لأنه استعبد خلقه بحمل عرشه، وهم حملة علمه، وخلقاً يسبحون حول عرشه وهم يعملون بعلمه، وملائكة يكتبون أعمال عباده؟ واستعبد أهل الأرض بالطواف حول بيته، والله (عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كما قال، والعرش ومن يحمله ومن حول العرش الله الحامل لهم، الحافظ لهم، الممسك القائم على كل نفس، وفوق كل شئ، وعلى كل شئ، ولا يقال: محمول ولا أسفل، قولاً مفرداً لايوصل بشئ فيفسد اللفظ والمعنى.

“Arsy bukanllah Allah dan Arsy adalah nama untuk ilmu dan kekuasaan. Arsy-Nya di dalamnya terdapat segala sesuatu. Kemudian Dia menyandarkan tugas memikul kepada selain-Nya yaitu makhluk dari ciptaan-Nya. Sebab Allah memperhambakan makhluk-Nya untuk memikul Arsy-Nya, mereka itu adalah para pemikul Arsy. Ada sekelompok ciptaan-Nya yang bertasbih di sekitar Arsy-Nya dan mereka beraktifitas atas sepengetahuan Allah. Dan ada pula para malaikat yang mencatat amal hamba-hamba-Nya. Dan Allah memperhambakan penduduk bumi dengan bertawaf mengelilingi rumah-Nya (Ka’bah) dan Allah beristiwâ’ di atas Arsy-Nya, seperti yang Ia firmankan. Dan Arsy berserta yang membawanya dan yang berada di sekitar Arsy, Allah lah yang membawa mereka, menjaga mereka, menahan mereka dari keruntuhan dan yang mengurus setiap jiwa. Dia di atas segala sesuatu. Dan tidak dikatakan bahwa Dia dimuat/angkut dan pula Dia di bawah sesuatu…


قال أبو قرة: فتكذب بالرواية التي جاءت أن الله إذا غضب إنما يعرف غضبه أن الملائكة الذين يحملون العرش يجدون ثقله على كواهلهم، فيخرون سجداً، فإذا ذهب الغضب خف ورجعوا إلى مواقفهم؟

Abu Qarrah berkata, “Lalu apakah Anda membohongkan riwayat yang berkata bahwa sesungguhnya jika Allah murka akan diketahui murka-Nya bahwa para malaikat yang memikul Arsy-Nya merasakan adanya berat di atas pundak-pundak mereka, lalu mereka sujud. Dan jika murka Allah hilang (berhenti) maka menjadi ringanlah Arsy itu dan mereka pun kembali ke pos-pos mereka masing-masing?”


فقال أبو الحسن (عليه السلام): أخبرني عن الله تبارك وتعالى منذ لعن إبليس إلى يومك هذا هو غضبان عليه، فمتى رضي؟ وهو في صفتك لم يزل غضبان عليه وعلى أوليائه وعلى أتباعه، كيف تجترئ أن تصف ربك بالتغيير من حال إلى حال وأنه يجري عليه ما يجري على المخلوقين. سبحانه وتعالى، لم يزُل مع الزائلين، ولم يتغير مع المتغيرين، ولم يتبدل مع المتبدلين، ومن دونه يده وتدبيره، وكلهم إليه محتاج، وهو غني عمن سواه

Maka Abul Hasan as. bersabda: “Baritahukan kepadaku tentang Allah Yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi sejak Dia melaknat Iblis hingga hari ini, tidakkah Dia murka atasnya, lalu kapan Dia rela? Dia (Allah) berdasarkan pensifatanmu itu senantiasa murka atas Iblis dan para pengikutnya, lalu bagaimana engkau berani mensifati Tuhanmu dengan adanya perubahan dari sebuah kondisi ke kondisi lainnya, dan sesungguhnya berlaku atas-Nya apa yang berlaku atas ciptaan-Nya?! Maha Suci dan Maha Tinggi Allah. Dia tidak beranjak bersama ciptaan yang beranjak dan Dia tidak berubah bersama benda-benda yang mengamali perubahan seta tidak berganti bersama makhluk yang berganti. ….. dan semuanya (selain-Nya) adalah butuh kepada-Nya dan Dia tidak butuh kepada selain Dzat-Nya sendiri.” [3]
Setelah menyajikan satu dari ratusan atau bahkan ribuan sabda para imam mulia Ahlulbait Nabi as., pembaca kami persilahkan untuk membandingkan tawaran konsep ketuhanan dan tauhid yang  mereka ajarkan dengan konsep tauhid yang ditawarkan diajarkan oleh selain para imam Ahlulbait as.?
Sepenuhnya saya serahkan kepada Anda.

[1] Hadis di atas dapat Anda temukan dalam ash Shawâiq:150 dan 151 ketika menafsirkan ayat ke 4 dari riwayat Mulla dalam Sirahnya juga Dzakhâir al ‘Uqba; Muhibbuddîn ath Thabari:17  dari Mulla.[2] Hadis ini juga diriwayatkan dalam banyak kesempatan lain oleh Ahmad ibn Hanbal, di antaranya:6/33 dan 8/174,202.
[3] Beberapa kalimat dalam hadis mulai di atas sengaja tidak kami terjemahkan karena ketidak mampuan kami dalam memilih kata yang tepat untuknya, agar kami tidak terjatuh dalam memaknai sabda mulia para imam suci dengan sembarangan. Sebab yang kami terjemahkan bukan ocehan Ka’ab Ahbâr misalnya.!!
===================================================================
Pembahasan Sanad Hadis Ummu Thufail “Nabi Melihat Allah Dalam Bentuk Pemuda Berambut Lebat”

Hadis Ru’yatullah termasuk hadis kontroversial yang diributkan baik ulama-ulama terdahulu maupun yang datang kemudian. Hadis ini diperbincangkan karena matannya mengandung lafaz yang mungkar yaitu Nabi SAW melihat Allah dalam bentuk Pemuda. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ummu Thufail. Dalam tulisan kali ini akan dibahas terlebih dahulu hadis Ummu Thufail
Takhrij Hadis Ummu Thufail

عن أم الطفيل امرأة أبي بن كعب قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ( رأيت ربي في المنام في صورة شاب موقر في خضر عليه نعلان من ذهب وعلى وجهه فراش من ذهب)

Dari Ummu Thufail Istri Ubay bin Ka’ab, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata “Aku melihat Rabbku di dalam mimpi dalam bentuk pemuda berambut lembat dengan pakaian hijau memakai sandal dari emas dan berada di atas tempat tidur dari emas”.
Hadis riwayat Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 25/143 no 346, Asmaa’ Was Shifaat Baihaqi hadis no 922, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 15/426, Daruquthni dalam Ar Ru’yah no 231 dan 232, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 62/161, Abu Ya’la dalam Ibthaalut At Ta’wiilat no 130, 131 dan 132, Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah no 9 dan Al Maudhu’at 1/125. Semuanya dengan jalan Ibnu Wahb dari Amru bin Al Harits dari Sa’id bin Abi Hilal dari Marwan bin Utsman dari Umaarah bin Amir bin Hazm Al Anshari dari Ummu Thufail.
Hadis ini sanadnya dhaif jiddan dan dengan matan yang mungkar maka tidak diragukan kalau hadis ini maudhu’ (palsu). Hadis ini mengandung illat
  • Marwan bin Utsman, dia seorang yang dhaif sebagaimana disebutkan Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/272 no 1244. Dalam Muntakhab Min Illal Al Khallal no 183 dan Ibthaalut Ta’wiilaat Abu Ya’la no 137 disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal menyatakan Marwan bin Utsman majhul. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/171 menyatakan ia dhaif sedangkan dalam Al Ishabah 8/246 no 12116 biografi Ummu Thufail ia menyatakan Marwan bin Utsman matruk.
  • Umaarah bin Amir, dia adalah perawi yang majhul. Dalam Muntakhab Min Illal Al Khallal no 183 Ahmad bin Hanbal menyatakan “ia tidak dikenal”. Al Bukhari dalam Tarikh As Shaghir juz 1 no 1419 juga berkata “Umaarah tidak dikenal”. Adz Dzahabi dalam Mughni Adh Dhu’afa no 4404 juga berkata “tidak dikenal”.
  • Inqitha’ (sanadnya terputus) Umaarah dari Ummu Thufail. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Bukhari dalam Tarikh As Shaghir juz 1 no 1419 dan Tarikh Al Kabir juz 6 no 3111 bahwa Umaarah tidak diketahui mendengar dari Ummu Thufail. Ibnu Hibban memasukkan Umaarah dalam kitabnya Ats Tsiqat juz 5 no 4682 dan menyatakan bahwa Ia tidak mendengar dari Ummu Thufail. Penyebutannya dalam kitab Ats Tsiqat tidak bisa dijadikan hujjah sebagai penta’dilan karena Umaarah telah dinyatakan majhul oleh Ahmad bin Hanbal dan Al Bukhari.
Cacat lain adalah pada sebagian sanadnya [Ibnu Jauzi, Ibnu Asakir dan Al Khatib] juga diriwayatkan oleh Nuaim bin Hammad dari Ibnu Wahb, dia walaupun dita’dilkan oleh sebagian orang tetapi ia juga dinyatakan dhaif oleh An Nasa’i [Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 617], Abu Fath Al Azdi dan Ibnu Ady menuduhnya sebagai pemalsu hadis [At Tahdzib juz 10 n0 833]. Ibnu Hajar dalam At Taqrib menyebutnya shaduq yukhti’u tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 7166 bahwa ia seorang yang dhaif. Kendati demikian Nuaim bin Hammad tidaklah menyendiri meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Wahb. Bersamanya ada Ahmad bin Shalih Al Mishri [Ath Thabrani], Ahmad bin Abdurrahman bin Wahb, Ahmad bin Isa [Baihaqi], dan Yahya bin Sulaiman [Ath Thabrani]. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah hadis tersebut maudhu’ karena illat yang telah kami sebutkan.
Hadis ini tidak diragukan lagi adalah hadis maudhu’ sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ulama diantaranya Ibnu Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’at 1/125. Ahmad bin Hanbal mengatakan hadis tersebut mungkar dalam Muntakhab Min Illal Al Khallal no 183 dan Ibthaalut Ta’wiilaat Abu Ya’la no 137. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 5 no 4682 juga mengakui kalau hadis tersebut mungkar. Begitu pula yang dikatakan Bukhari dalam Tarikh Al kabir juz 5 no 4682. Bashar Awad Ma’ruf pentahqiq kitab Tarikh Baghdad 15/426 juga menyatakan hadis tersebut maudhu’. Bahkan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah no 6371 menyatakan hadis tersebut maudhu’. Jadi hadis tersebut bukan sekedar dhaif tetapi memang maudhu’.
Syaikh Al Albani melakukan keanehan yang luar biasa dalam kitabnya Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah Ibnu Abi Ashim hadis no 471. Ibnu Abi Ashim meriwayatkan

ثنا اسماعيل بن عبدالله ثنا نعيم بن حماد ويحيى بن سليمان قالا حدثنا عبدالله بن وهب عن عمرو بن الحارث عن سعيد بن أبي هلال حدثه أن مروان بن عثمان حدثه عن عمارة بن عامر عن أم الطفيل امرأة أبي بن كعب قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول رأيت ربي في المنام في أحسن صورة وذكر كلاما

Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abdullah yang berkata menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad dan Yahya bin Sulaiman yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb dari Amru bin Al Harits dari Sa’id bin Abi Hilal yang menceritakan kepadanya, dari Marwan bin Utsman yang menceritakan kepadanya, dari Umaarah bin Amir dari Ummu Thufail istri Ubay bin Ka’ab yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata “Aku telah melihat Rabbku di dalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk –kemudian menyebutkan perkataan-.

Syaikh berkomentar bahwa hadis ini shahih lighairihi, shahih dengan penguat hadis-hadis sebelumnya, sanadnya dhaif gelap. Tentu saja bagi seorang peneliti pernyataan shahih lighairihi ini merupakan suatu keanehan. Pernyataan shahih lighairihi hanya berlaku bagi hadis yang sanadnya hasan lizatihi dan dikuatkan oleh hadis-hadis shahih lain. Hadis Ummu Thufail sudah jelas sangat dhaif sehingga tidak mungkin bisa naik menjadi shahih lighairihi.
Selain itu hadis Ru’yatullah riwayat Ummu Thufail adalah hadis yang berlafaz mungkar, lafaz itulah yang tidak disebutkan oleh Ibnu Abi Ashim dimana ia meringkasnya dengan kalimat –kemudian menyebutkan perkataan-. Tentu tidaklah sulit bagi seorang Syaikh Al Albani untuk mengetahui lafaz hadis Ummu Thufail tersebut secara lengkap, oleh karena itu sudah seharusnya Syaikh tidak menyatakan shahih hadis Ummu Thufail karena pada dasarnya hadis Ummu Thufail itu berbeda dengan hadis-hadis lainnya. Jika dikatakan bahwa hadis itu shahih hanya sebatas perkataan Aku telah melihat Rabbku di dalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk, maka sudah seharusnya Syaikh memberikan pernyataan secara eksplisit tentang hal itu dan mengatakan bahwa lafaz hadis Ummu Thufail itu sebenarnya mungkar dan yang shahih hanya bagian Aku telah melihat Rabbku di dalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk. Bagi kami hal seperti ini jelas sekali sangat penting apalagi hadis yang dibicarakan ini bukan masalah yang sederhana yaitu Nabi SAW melihat Rabb di dalam mimpi dalam bentuk pemuda berambut lebat.
Anehnya seorang ulama seperti Abu Zur’ah Ad Dimasyq tidak segan-segan mengakui kebenaran hadis Ummu Thufail yang berlafaz mungkar. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Daruquthni dalam Ar Ru’yah no 231 dan Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wilaat no 140, Abu Ya’la mengatakan kalau Abu Zur’ah menshahihkan hadis Ummu Thufail di atas. Abu Zur’ah berkata

كل هؤلاء الرجال معروفون لهم أنساب قوية بالمدينة فأما مروان بن عثمان فهو مروان بن عثمان بن أبى سعيد بن المعلى الأنصارى وأما عمارة فهو ابن عامر بن عمرو بن حزم صاحب رسول الله وعمرو بن الحارث وسعيد ابن أبى هلال فلا يشك فيهما وحسبك بعبد الله بن وهب محدثا فى دينه وفضله

Semua perawinya dikenal mempunyai nasab yang kuat di Madinah, Marwan bin Utsman dia adalah Marwan bin Utsman bin Abi Sa’id bin Al Ma’ally Al Anshari dan Umaarah dia adalah Ibnu Amir bin Amru bin Hazm sahabat Rasulullah. Amru bin Harits dan Sa’id bin Abi Hilal tidak diragukan keduanya dan cukuplah Abdullah bin Wahb muhaddis dalam agamanya dan keutamaannya.
Kami katakan perkataan Abu Zur’ah sungguh merupakan kekacauan yang patut disayangkan muncul dari beliau. Marwan bin Utsman telah disebutkan kalau Ahmad bin Hanbal menyatakan ia majhul dan Abu Hatim menyatakannya dhaif. Abu Zur’ah sendiri tidak menjelaskan keadaannya oleh karena itu tetaplah ia dengan predikat dhaif dan menjadi tertuduh karena hadis ini. Selain itu keadaan Umaarah sendiri tidak dijelaskan oleh Abu Zar’ah dan ulama lain telah menyatakan bahwa ia tidak dikenal. Jadi hadis tersebut maudhu’ dan tidak ada artinya penshahihan dari Abu Zar’ah. Sungguh tidak dapat dimengerti bagaimana lafaz mungkar pada hadis tersebut bisa diakui kebenarannya oleh ulama sekaliber Abu Zur’ah. Jauh setelah Abu Zur’ah ternyata Ibnu Taimiyyah ulama salafy yang terkenal itu ikut-ikutan menshahihkan hadis Ibnu Abbas dengan lafaz mungkar yang mirip hadis Ummu Thufail di atas. Ulama yang aneh
——————————————————————————————

Allah-nya Kaum Wahhabiyah Bersemayam Di Atas Arsy Dan Arsy-Nya Di Atas Punggung Delapan Kambing Hutan!

Dalam akhir kitab Tauhîd-nya, Imam Besar Sekte Wahhâbiyah menegaskan bahwa Allah bersemayan di atas Arsy… arsy-Nya berada di atas laut yang berada di atas langit ke tujuh dan memiliki kedalaman seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya yaitu 71 atau 72 atau 73 tahun perjalanan…. Nah di atas lautan itu ada delapan ekor kambing hutan yang ukurannya sangat besar, antara kuku-kuku danlutut-lututnya seperti jarak antara satu langit dengan langit lainnya.. di atas punggung-punggung kedelapan kambing hutan itulah Arsy Allah bertempat… lalu allah bersemayam di atas Arsy-Nya yang berada di atas punggung-punggung kambing hutan. (Kitab  Fathu al Majîd Syarh Kitab al Tauhîd:515-516)
Pentahqiqnya membanggakan konsep Tauhid sesat yang diusung Imam Sekte Wahhâbiyah ini. Ia mengatakan: Pengarang telah mengawali kitabnya yang agung ini dengan menerangkan tauhdi Ilahiyah, sebab kebanyakan umat yang datang belakangan jahil terhadapnya. Mereka malakukan sesuatu yang menyalahhi tauhdi berupa kemusyrikan dan menyekutukan Allah…. Kemdian beliau mengakhiri kitabnya dengan menerangkan Tauhdi Asmâ’ dan Sifat. Sebab kebanyakan kaum umum tidak perhatian terhadap ilmu ini yang digeluti oleh orang yang tidak mumpuni….. (Ibid.517)
Jadi inilah konsep Tauhid yang menjadi inti ajakan Imam Sekte Wahhâbiyah!! Kita diajak untuk mengimani konsep Tauhid yang mengatakan bahwa Allah bertengger di atas Arsy-nya yang berada di atas punggung-punggung delapan kambing hutan raksasa mengapun di atas air laut di atas laingit ke tujuh!
Saya beraharap ada seorang pelukis yang siap  melukis obyek unggulan ini untuk dijadikan hiasan dinding di kantor-kantor para mufti Sekte Whhâbiyah di Arab Saudi sana dan di depan mihrab-mihrab mmasjid mereka agar shalat mereka lebih khusuk dengan memerhatikan postur Tuhan mereka yang sedang diusung di atas punggung kambing hutan raksasa!
Atau  membuat miniature yang memposturisasi Tuhan mereka! Agar tidak kalah dengan para ppenyembah berhala di India atau negeri-negeri penyemba berhala lainnya!
Setuju?!
Teks Riwayat Andalan Imam Wahhabi Dari Kitab at Tauhid dan Fathul Majid:
Sebegian pembaca mungkin ada yang meragukan kebenaran apa yang kami tulis dalam artikel kami sebeulmnya tentang akidah Imam Wahhabiyah bahwa Arsy Allah dipikul oleh delapan ekor kambing hutan dan meminta teks asli yang termuat dalam kitab tersebut, maka kami dengan senang hati menampilkan teks asli tersebut.
و عن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و آله و سلم: هل تدرون كم بين السماء و الأرض؟ قلنا: ألله و رسوله أعلم. قال: بينهما مسيرة خمسمائة سنة، و من كل سماء إلى سما مسيرة خمسمائة سنة، و كثف كل سماء مسيرة خمسمائة سنة، و بين السماء السابعة و العرش بحر بين أسفله و أعلاه كما بين السماء و الآرض، و الله تعالى فوق ذلك. و ليس يخفى عليه شيئ من أعمال بني آدم. أخرجه أبو داود و غيره.
(Baca Fathul Majid:515)
Akan tetapi sebenaranya Imam Wahhabi melakukan manipulasi dan merobeh-robah sedikit redaksi riwayat di atas. Sebab apa yang tertera dalam kitab Sunan Abu Daud berbeda dengan apa yang ia sebutkan. Tetapi kami tidak akan mempermasalahkannya sekarang.
Karenanya Syeikh Abdurrahman (pensyarahnya) mengakuinya walaupun kemudian ia menutupinya dengan mengatakan bahwa Syeikh meringkas riwayat, sementara yang terjadi bukan meringkas akan tetapi merobah-robah (merusak keotentikannya).
Pensyarahnya menyebutkan riwayat dengan lengkap:
هل تدرون ما بعد ما بين السماء و الأرض؟ قالوا: لا ندري. قال: إن بعد ما بينهما إما واحدة أو اثنتان أو ثلاث و سبعون سنة، ثم السماء التي فوقها كذلك، حتى عدّ سبع سموات، ثم فوق السابعة بحر بين أسفله وأعلاه مثل ما بين سماء إلى سماء ثم فوق ذلك ثمانية أوعال، بين أظلافِهم و ركبهم مثل ما بين السماء إلى سماء ثم على ظهورهم العلرش بين اسفله و أعلاه كما بين سماء إلى سماء ثم الله فوق ذلك.
Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi? Mereka berkata: Kami tidak mengetahuinya. Beliau bersabda: Sesungguhnya jarak antara keduanya adalah tujuh puluh satau atau dua atau tiga tahun, kemudian langit yang ada di atasnya juga demikian hingga tujuh lapis langit. Kemudian di atas langit ke tujuh ada laut yang jarak antara bawah dan atasnya seperti jarak antara satu langit dengan langit atasnya. Kemudian di atasnya terdapat delapan ekor kambing hutan jarak antara kuku-kuku dan lutut-lutut mereka seperti jarak antara satu langit dengan langit atasnya. Kemudian di atas punggung mereka terdapat Arsy yang jarak antara bagian bawah dan atasnya seperti jakar antara satu langit dengan langit atasnya. Kemudian Allah di atas itu semua.
Adz Dzahabi berkata: Hadis ini telah diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan.
Akan tetapi, na’asnya hadis di atas adalah lemah dari sisi sanadnya, dan seperti ditegaskan oleh pentahqiq kitab tersebut Syeikh Muhammad Hamid Faqi. (Fathu al Majid:515-516)
————————————————————————————
Ibnu Taimiyyah Menshahihkan Hadis “Nabi Melihat Allah SWT Dalam Bentuk Pemuda Amrad”.

Kali ini hadis yang akan dibahas adalah hadis ru’yatullah riwayat Ibnu Abbas. Hadis ini juga tidak lepas dari kemungkaran yang nyata dengan lafaz “Melihat Allah SWT dalam bentuk pemuda amrad (yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya)”.Tetapi anehnya hadis dengan lafaz mungkar ini tidak segan-segan dinyatakan shahih oleh Abu Zur’ah, Ath Thabrani, Abu Bakar bin Shadaqah dan tentu syaikh salafy yang terkenal Ibnu Taimiyyah.
Takhrij Hadis Ibnu Abbas

ثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأيت ربي جعدا امرد عليه حلة خضراء

Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat Rabbku dalam bentuk pemuda amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”.

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Asmaa’ was Shifaat no 938, Ibnu Ady dalam Al Kamil 2/260-261, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55 biografi Umar bin Musa bin Fairuz, Adz Dzahabi dalam As Siyaar 10/113 biografi Syadzaan, Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 122, 123, 125, 126,127 ,129, dan 143 (dengan sedikit perbedaan pada lafaznya), Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah no 15. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Sedangkan yang meriwayatkan dari Hammad adalah Aswad bin Amir yakni Syadzaan (tsiqat dalam At Taqrib 1/102), Ibrahim bin Abi Suwaid (tsiqat oleh Abu Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil 2/123 no 377), Abdush Shamad bin Kaisan atau Abdush Shamad bin Hasan (shaduq oleh Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 6/51 no 272).
Hadis ini maudhu’ dengan sanad yang dhaif dan matan yang mungkar. Hadis ini mengandung illat
  • Hammad bin Salamah, ia tidak tsabit riwayatnya dari Qatadah. Dia walaupun disebutkan sebagai perawi yang tsiqah oleh para ulama, dia juga sering salah karena kekacauan pada hafalannya sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 14 dan At Taqrib 1/238. Disebutkan dalam Syarh Ilal Tirmidzi 2/164 yang dinukil dari Imam Muslim bahwa Hammad bin Salamah banyak melakukan kesalahan dalam riwayatnya dari Qatadah. Oleh karena itu hadis Hammad bin Salamah dari Qatadah ini tidak bisa dijadikan hujjah apalagi jika menyendiri dan lafaznya mungkar.
  • Tadlis Qatadah, Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 92 sebagai mudallis martabat ketiga, dimana Ibnu Hajar mengatakan bahwa pada martabat ketiga hadis perawi mudallis tidak dapat diterima kecuali ia menyebutkan penyimakannya dengan jelas. Dalam Tahrir At Taqrib no 5518 juga disebutkan bahwa hadis Qatadah lemah kecuali ia menyebutkan sama’ nya dengan jelas. Dalam hadis ini Qatadah meriwayatkan dengan ‘an ‘anah sehingga hadis ini lemah.
Kelemahan sanad hadisnya ditambah dengan matan yang mungkar sudah cukup untuk menyatakan hadis ini maudhu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal no 15. Kemungkaran hadis ini juga tidak diragukan lagi bahkan diakui oleh Baihaqi dan Adz Dzahabi dalam As Siyaar. Bashar Awad Ma’ruf dalam tahqiqnya terhadap kitab Tarikh Baghdad 13/55 menyatakan hadis ini maudhu’.
Sayang sekali kemungkaran hadis ini seperti nya luput dari pandangan sebagian ulama seperti Abu Zur’ah, Ath Thabrani dan Al Faqih Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Shadaqah [seorang Imam Hafiz yang tsiqat tsiqat sebagaimana disebutkan Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 5/40-41]. Mereka mengakui kebenaran hadis ini. Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 144 mengutip penshahihahn dari Ath Thabrani, ia berkata

قال وأبلغت أنّ الطبراني قال حديث قتادة عن عكرمة عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم في الرؤية صحيح ، وقال من زعم أني رجعت عن هذا الحديث بعدما حدثت به فقد كذب

Telah disampaikan bahwa Ath Thabrani berkata “hadis Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW  tentang Ru’yah adalah shahih, dan siapa yang mengatakan bahwa aku rujuk dari hadis ini setelah meriwayatkannya maka sungguh ia telah berdusta.
Dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 145 Ath Thbarani berkata

سمعت إبن صدقة الحافظ يقول من لم يؤمن بحديث عكرمة فهو زنديق

Aku mendengar Ibnu Shadaqah Al Hafiz berkata “siapa yang tidak mempercayai hadis Ikrimah [tentang Ru’yah] maka ia seorang zindiq”.
Dalam Al Laaly Al Masnu’ah 2/32 As Suyuthi mengutip perkataan Ath Thabrani

قال الطبراني سمعت أبابكر بن صدقة يقول سمعت أبا زرعة الرازي يقول حديث قتادة عن عكرمة عن إبن عباس في الرؤية صحيح رواه شاذان وعبدالصمد بن كيسان وإبراهيم بن أبي سويد لا ينكره إلاّ معتزلي

Ath Thabrani berkata aku mendengar Abu Bakar bin Shadaqah berkata aku mendengar Abu Zur’ah Ar Razi berkata “hadis Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas tentang Ru’yah adalah shahih yang diriwayatkan oleh Syadzaan, Abdush Shamad bin Kaisan dan Ibrahim bin Abi Suwaid, tidak ada yang mengingkarinya melainkan ia seorang mu’tazilah.
Tentu saja fenomena ini adalah keanehan yang luar biasa. Bagaimana mungkin mereka begitu berani menshahihkan hadis tersebut bahkan mengecam orang yang mengingkarinya. Sikap berlebihan seperti ini benar-benar patut disayangkan. Apakah ulama-ulama lain dan orang-orang islam yang mengingkari hadis ini akan dengan mudahnya mereka katakan zindiq atau mu’tazilah?. Apakah Imam Ahmad bin Hanbal itu zindiq atau mu’tazilah?. Terkadang sehebat apapun ulama tetap tampaklah kenehannya.
Selain mereka, ternyata ada pula Ibnu Taimiyyah yang ikut-ikutan menshahihkan hadis Ibnu Abbas ini. Ia dengan jelas menyatakan shahih marfu’ hadis dengan lafal pemuda amrad dalam kitabnya Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290.
Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah
Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah
Dan ini penggalan kitab tersebut juz 7 hal 290 dimana Ibnu Taimiyyah menshahihkan hadis Ru’yah dengan lafal pemuda amrad
Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290
Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290
Sudah jelas pernyataan shahih terhadap hadis ini adalah kebathilan yang nyata. Bagaimana mungkin mereka tidak risih untuk mengatakan bahwa Allah SWT menampakkan dalam bentuk pemuda amrad di dalam mimpi?. Dan kalau kita perhatikan ulama yang disebut Ibnu Taimiyyah ini, dalam kitab-kitabnya seperti Minhaj As Sunnah ia tidak segan-segan mendustakan berbagai hadis shahih keutamaan Ahlul Bait hanya karena hadis tersebut mungkar dalam pandangannya tetapi anehnya ia tidak segan-segan untuk menshahihkan hadis mungkar riwayat Ibnu Abbas di atas. Sungguh berkali-kali keanehan.
——————————————————————————————-
Pendahulu Kaum Wahhâbi Melarang Kaum Asy’ariyah Menuniakan Shalat Jum’at Di Masjid Jami’!
Kekakuan an keganasan sikap serta kebengisan perlakuaan yang sering kali kita saksikan dari kaum Wahhâbi/Salafi di berbagai daerah di tanah air dan juga seperti diberitakan di berbagai belahan duni Islam, khususnya ketika mereka merasa kuat… baik disebabkan banyak jumlah merreka atau karena ada dukungan dari penguasa … semua itu bukanlah hal baru dan sikap yang lahir dari kehampaan… Akan tetapi ia adalah model didikan dan doktrin yang ditanamkan dalam jiwa sempit mereka… ini adalah doktrin turn-temurun yang sudah menjadi bagian tak terpisahlkan dari ediologi dan keyakinan keberagamaan komunitas ini…
Sejarah mencatat bahwa pendahulu kaum Wahhabi/Salafi telah mengajarkan doktrin kekerasan dengan praktik nyata bagaimana mereka harus menyikapi lawan-lawan mereka; kaum Muslimin dari mazhab-mazhab lain selain mazhab Hanbali (yang mereka modifikasi menjadi mazhab galak dan sadis)!
Ibnu Katsir (ahli sejarah dan mufassir yang tak henti-hentinya dibanggakan kaum Salafi Wahhâbi) melaporkan (tentu kaum Wahhâbi harus menerimanya, sebab beliau adalaah imam terpercaya dalam keyakinan mereka)  bahwa kaum pendahulu kaum Wahhâbi (Hanâbilah) telah berbuat kejahatan agamis dengan melarang kaum Muslimin beraliran Asy’ariyah menunaikan shalat jum’at!
Dengar apa laporang Ibnu Katsir ketika beliau melaporkan pristiwa tahun 447 H:
وفيها وقعت الفتنة بين الأشـاعرة والحنابلـة ، فقـوي جانب الحنابلة قـوة عظيمـة ، بحيث أنه كان ليس لأحد من الأشاعرة أن يشهـد الجمعة ولا الجماعات .
“Pada tahun ini terjadilah fitnah (kekacauan) antara penganut Asy’ariyah dan kaum Hanâbilah. Lalu kuatlah posisi kaum Hanâbilah dengan kekuatan yang sangat sehingga tidak seorang pun dari pengikut Asy’ariyah yang dibolehkan menhadiri shalat Jum’at dan jama’ah.”[1]
Ibnu Jauzi juga melaporkan pristiwa tahun 447 H sebagai berikut:
ووقعت بين الحنابلة والأشاعرة فتنة عظيمة حتى تأخر الأشاعـرة عـن الجمعـات خـوفاً من الحنابلة .
“Dan terjadilah fitnah/kerusuha besar antara kaum Hanâbilah dan Asy’ariyah sampai-sampai kaum Asy’ariyah meninggalkan shalat jum’at karena takut dari kaum Hanâbilah.”[2]
Keurusahan yang terjadi, sekali lagi diakaibatkan kaum Hanbaliyah menyebarkan akidah sesat tentang tajsîm dan demi menikat hati kaum awam mereka membawa-bawa nama Imam Ahmad ibn Hanbal! Ibnu Kahldun merekam dengan rinci keganasan yang dipicu oleh pendahulu/Salaf kaum Salafi Wahhâbi dal;am masalah sifat Allah SWT. Ia melaporkan:
… وبين الحنابلة والشافعية وغيرهم من تصريح الحنابلة بالتشبيه في الذات والصفات ، ونسبتهم ذلك إلى الإمام أحمد ، وحاشاه منه ، فيقع الجدال والنكير ، ثم يفضي إلى الفتنة بين العوام .
“Dan antara kaum Hanbaliyah dan Syafi’iyah dan penganut mazhab lainnya terjadi perdebatan di mana kaum Hanbaliyah berterang-terangan dalam akidah tasybîh (menyerupakah Allah dengan makhluk-Nya) dalam Dzat dan Sifat dan mereka menisbatkan akidah itu kepada Imam Ahmad (dan tidak mungkin beliau berakidah seperti itu), lalu terjadilah perdebatan dan penolakan keras kemudian menyulut fitnah di kalangan kaum awam.”[3]
Ustad  Syi’ah  Ali :
Selamanya kaum Hanbaliyah (yang kini diwakili kaum Wahhâbi/Salafi) meracuni kaum awam (walaupun ulama mereka juga tidak kalah awamnya dengn kaum awam yang sangat awam) dengan bahasan-bahasan tentang tauhid yang berorientasi kepada doktrin penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Walaupun mereka selalu ngoto mengelak bahwa akidah mereka itu adalah inti akidah tasybîb dan tajsîm!
Kini cara-cara itu juga mulai dipergunakan kaum Wahhâbi selalui otot-ooto preman bayaran untuk melarang kaum Muslim yang tidak mereka sukai untuk menegakkan shalat di masjid-masjid; rumah ibadah!
Jika nanti mereka kuat, mungkin saja apa yang diprktikkan pendahulu mereka juga dikalukan kepada kaum Mulim non Wahhâbi…
Coba perhatikan sikap mereka ketika mendapat sedekit angin segar… ketika sedikit merasa kuat.. langgar-langgar kaum Muslim yang dahulu membaca Mauludan dan Diba’an atau tawassul dan istighatsah mereka kuasai kemudian semua acara ritual itu diporak-porandakan… dilarang… dengan alasan bid’ah! Mengandung unsur syirik.. dll. masjid-masjid yang dahulu membaca qunut dilarang dengan alasan Nabi saw. tidak pernah mensunnahkan qunut!
Al hasil… mereka adalah kelompok ganas yang tidak pernah mentolerir perbedaaan mazhab! Hanya mazhab mereka saja yang boleh dijalankan… sebab hanya mazhab mereka yang mengikuti Al Qur’an dan Sunnah! Mazhab-mazhab lain sesat! Menyimpang dari tuntunan Salaf!
Bukankah cara berpikir seperti itu adalah bahaya?!

[1] Al Bidâyah wa an Nihâyah,12/71. terbitan Dâr ar Rayyân Li at Tutrâts-Kairo.
[2] Al Muntadzim,15/347.
[3] Tarikh Ibn Khaldûn,3/477.
Segala hal ditempuh bagi kaum Wahhâbi/Salafy, khusunya bagi para sukarelawan dan Misionaris mereka dalam menegakkan akidah andalan mazhab menyimpang mereka! Demi meyakinkan kaum awam, dalil harus ditegakkan… Tidak ada Qur’an dan Sunnah shahihan, ucapan para pendata Yahudi dan/atau pendapat kaum Musyrik pun jadi! Demikian kira-kira semangat da’wah yang mereka usung!
Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan  Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..
Termasuk di antara akidah nyeleneh lagi menyimpang kaum Wahhâbi/Salafy adalah keyakinan bahwa Allah itu bersemayam/duduk di atas Arsy-Nya…. Mereka memperkosa berbagai ayat Al Qur’an dan menelan mentah-mentah riwayat palsu beracun dan menjadikan ucapan belum pasti kebenaranya dari orang-orang yang mereka vonis kafir-musyrik yang telah menyimpang akidahnya dan keluar dari agama! Menjadikan semua itu sebagai pondasi keyakinan dan akidah sesat mereka!
He he he….mari kita buktikan hadis hadis  yang dianggap sahih oleh Sunni karena ada dlm kitab Sahih Bukhori.
Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis hadis  Israilliyat spt:
1. Adam diciptakan spt bentuk Allah
2. Setan lari sambil kentut ktk mendengar suara adzan
3. Nabi Sulaiman as mengancam akan membelah bayi yg diperebutkan dua ibu
4. Allah menaruh kakinya di neraka
5. Nabi Sulaiman as meniduri 70 wanita dlm semalam tp hanya melahirkan seorang bayi separuh manusia
6. Nabi Muhammad saw membakar sarang semut karena gara2 digigit seekor semut.
7. Nabi Isa turun membunuh babi (apa salahnya babi ?)
8. Awan yg berbicara
9. Sapi dan serigala berbicara bhs Arab
10. Musa menampar malaikat
11. Nabi Musa yg telanjang mengejar batu yg lari membawa bajunya, terlihat kemaluannya oleh Bani Israil.
12. Allah mencipta Adam pada hari Jumat sesudah Ashar
13. Allah turun ke langit dunia.
14. Sungai Nil dan Efrat adalah sungai dari surga
15. Tidak ada penyakit yg menular
dll.
Dalam Sahih Bukhori hadis no. 3 umpamanya kita dpt baca peristiwa ketika Rasulullah menerima wahyu yg digambarkan spt orang yg ketakutan dan tdk mengenal siapa yg mendatanginya. Hadis ini driwiyatkan dari Aisyah. Ada keganjilan dlm hadis ini, baik dari sanad maupun matan :
1. Pada sanad riwayat disebutkan seorang bernama Al-Zuhri, Urwah bin Zubayr, dari Aisyah. Al-Zuhri adalah ulama penguasa yg berkhidmat kpd Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat terkenal membenci Imam Ali.
2. Ketika peristiwa turunnya wahyu itu, Aisyah belum dilahirkan. Dlm riwayat ini seolah-olah Aisyah mendengar sendiri. Dalam ilmu hadis seharusnya ia mengatakan :’ Aku mendengar Rasulullah saw bersabda….dst.
3. Rasulullah digambarkan tdk faham dg pengalaman ruhani yg dia alami. Padahal beliau adalah Insan Kamil.
Hadis2 yg bertentangan dg pernyataan Al-Quran tentang ketinggian maqom Nabi saw a.l. :
1. Lupa rakaat salat
2. Mau salat lupa mandi janabah
3. Menonton sambil bermesraan di depan org banyak
4. Rasul kena sihir
5. Allah punya betis
6. Nabi berbicara tanpa ilmu
7. Nabi lupa ayat al-Quran
8. Buang air menghadap kiblat.
dan masih banyak lagi hadis2 yg bermasalah baik dari segi sanad maupun matannya. Hal itu menunjukkan bahwa banyak hadis2 palsu dalam kitab hadis yg di-klaim sahih spt dlm Bukhori dan Muslim.
Bayangkan saja seorang Nabi yg Allah dan para malaikat-Nya membaca salawat dlm Al-Quran,digambarkan oleh hadis2 Sunni spt itu !!
Engga usah kemana-mana dulu gimana tanggapan ente ttg hadis2 yg bermasalah yg merendahkan derajat Nabi dlm kitab “sahih: Bukhori ? Contoh yg terakhir adalah riwayat bahwa Nabi doyan jimak (bersetubuh). Bayangkan sehari semalam 9 istri digilir ! Ini kitab hadis soalnya sdh beredar ke seluruh dunia melalui internet. Siapa kalo bgt yg bikin malu ? Diriwayatkan dari Qatadah berkata bahwa Anas bin Malik pernah bercerita kepada kami bahwa Nabi saw pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu waktu sehari semalam dan jumlah mereka ada sebelas orang. Qatadah mengatakan,’Aku bertanya kepada Anas,’Seberapa kuat beliau saw?’ Dia menjawab,’Kami pernah memperbincangkannya bahwa kekuatan beliau saw sebanding dengan (kekuatan) tiga puluh orang.” Said berkata dari Qatadah,’Sesungguhnya Anas menceritakan kepada mereka bahwa jumlah isteri-isterinya saw adalah sembilan orang.” (HR. Bukhori)
Berbeda dg ulama Sunni yg secara tergesa-gesa mengklaim sahihnya semua hadis dalam kitab hadis Bukhori Muslim, para ulama Syi’ah tdk mengambil sikap yg berlebihan dg meyakini bahwa semua hadis dlm kitab Al-Kafi adalah sahih. Tetapi mereka juga tdk bisa menerima jika keterbatasan pemahaman manusia dijadikan tolok ukur dlm menilai kesahihan suatu hadis. Atau menilai kedudukan suatu hadis hanya dg mengandalkan aspek sanad semata.Jadi sanad bukan segala-galanya, tapi harus ditimbang dg Al-Quran dan logika yg sehat.
Dalam khazanah intelektual Ahlul Bait ada kaedah2 dan neraca untuk mengenal ciri hadis yg sahih yg dpt diterima sbg sabda Nabi saw atau sabda para Imam Ahlul Bait dan membedakannya dari ucapan palsu yg dinisbahkan kpd Nabi saw dan para Imam. Kaidah2 itu adalah sbb :
Pertama, menimbang hadis dengan al-Quran
Kedua, mengambil hadis yg bertentangan dg hadis para penguasa dan pendukungnya.
Sementara itu Sahih Bukhori yg temen ente klaim sahih sanadnya ternyata setelah diteliti hadis2nya sangat bermasalah baik dari segi sanad maupun matannya. Diatas ane sdh memberikan beberapa contoh hadis2 yg bermasalah. Dan ternyata dari sekitar 2000-an hadis yg ada dalam kitab ringkasan “Sahih” Bukhori jumlah hadis yg katanya berasal dari Imam Ali hanya sekitar 5 atau 6 hadis. Lainnya didominasi oleh Abu Hurairah, Aisyah dan Anas bin Malik.
He he…kok engga mudeng juga. Emangnya cuma ulama Sunni yg punya Mustolah Hadis/Rijal Hadis atau Jarh wa Ta’dil. Syi’ah juga punya mang. Cuma bedanya Sunni cukup puas atau berhenti pada titik Jarh wa Ta’dil, sedangkan Syi’ah terus berlanjut ke verifikasi berdasarkan tolok ukur Al-Quran. Bukti2 yg menunjukkan bahwa para ulama hadis Sunni cukup puas dg verifikasi sanad dlm hadis Bukhori yg digembar-gemborkan sahih, adalah sbb :
1. Nabi lupa rakaat salat. Hadis no. 471)
Dari Abu Huarirah ra, ia berkata: Rasulullah saw salat bersama kami akan salah satu salat Maghrib dan Isya. Beliau salat bersama kami dua rakaat kemudian salam. Beliau berdiri pada kayu yg melintang di masjid. Lalu beliau bertelekan padanya seolah-olah beliau marah, beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, menjalinkan jari-jari dan meletakkan pipi kanan diatas bagian luar telapak tangan kiri beliau, dan keluarlah orang2 yang bersegera di pintu mesjid. Mereka berkata:’ Salatnya ringkas’. Di kalangan kaum itu ada Abu Bakar dan Umar takut untuk menyatakannya. Di kaum itu ada seorang laki2 yg kedua tangannya panjang bernama Dzul Yadain berkata :’Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa atau mengqashar salat ?’ Beliau bersabda:’Saya tdk lupa dan tdk pula salat itu diqashar.’ Ia bertanya:’Apakah sebagaimana yg dikatakan oleh Dzul Yadain ?’ Mereka menjawab:’Ya’. Maka beliau maju dan salat akan apa yg tertinggal, kemudian beliau salam, takbir dan sujud spt sujudnya, atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala, takbir, kemudian takbir dan sujud spt sujudnya atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala, takbir dan salam.
2. Mau salat lupa mandi janabah. (Hadis no. 176)
Abu Hurairah ra. menceritakan:”(Pada suatu ektika) orang telah qomat untuk salat. Saf telah diluruskan sambil berdiri. Rasulullah saw datang kpd kami. Setelah berdiri di tempatnya biasa salat, tiba2 ia ingat bahwa beliau junub. Beliau berkata kpd kami,”Tunggulah sebentar !” Sesudah mandi ia datang kembali kpd kami, sedangkan rambutnya masih basah. lalu beliau takbir dan salat bersama-sama dg kami”.
3. Nabi lupa ayat Al-Quran (Hadis no. 2532)
Dari Aisyah ra. Dia berkata:”Nabi saw mendengar seorang laki2 sedang membaca Al-Quran di masjid. Lalu beliau bersabda:”Semoga Allah merahmatinya. Dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan ayat ini dari surat ini yg hampir saja aku lupa.”
Bayangkan saja seorang Al-Mustafa (manusia pilihan), seorang kekasih Allah, seorang Sayidul Anbiya wal Mursalin, seorang yang akhlaknya Al-Quran atau yg disebut Al-Quran dg Khuluqil Adzim dan seorang Insan Kamil, dalam Sahih Bukhori ini digambarkan sbg orang pelupa yg biasa ada pada manusia biasa.
Perhatikan point 3. Walaupun hadis ini sangat pendek, tapi kandungan maknanya sangat membahayakan bangunan Islam, karena jika Rasulullah saw lupa akan ayat2 yg harus disampaikannya, lantas apa yg menjamin keaslian Al-Quran ? Jika hadis ini diterima, kita membuka peluang untuk meragukan otentitas Al-Quran !! Hadis ini bertentangan dg jaminan Allah, ‘Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran dan Kamilah yg menjaganya (QS Al-Hijr 9). ‘Kami akan membacakan Al-Quran kepadamu (Muhammad) sehingga kamu tidak akan (pernah) lupa (QS Al’Ala 6).
Bagaimana hadis2 spt bisa lolos ? Gawat….gawat….! Makanya engga cukup cuma pake kritik sanad (Mustholah Hadis dan Jarh wa’ ta’dil).
4. Rasul Allah kena sihir.(Hadis no. 3118)
Dari Aisyah ra, dia berkata:”Nabi saw disihir, shg terbayang oleh beliau bahwa beliau berbuat sesuatu padahal beliau tdk berbuat demikian itu, hingga pada suatu hari beliau berdoa dan berdoa dan di kemudian hari beliau beliau bersabda:”Adakah kamu (Aisyah) tahu bahwa Allah berfatwa (memenuhi doa) kepadaku mengenai kesembuhanku ? Telah datang kepadaku dua orang (malaikat Jibril dan Mikail, dlm mimpi). Seorang (Jibril) dari keduanya duduk di kepalaku dan yg lain (Mikail) di kedua kakiku. Seorang (Mikail) dari keduanya berkata: kpd yg lain (Jibril):’Apakah sakitnya laki2 (Nabi) ini ?”
Dia (Jibril) menjawab:”Dia disihir.”
Dia (Mikail) bertanya:” Dan siapakah yg menyihirnya ?”
Dia (Jibril) menjawab:” Labid bin ‘Asham.”……..dst.
Pemikir Islam spt Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Ridha menolak riwayat ini. Yah bayangkan saja seorang nabi Musa saja mampu mengalahkan puluhan tukang sihir di hadapan umum. Apalagi seorang Sayyidul Anbiya wal Mursalin spt Nabi Muhammad saw ? Tapi aneh dlm kitab hadis Sunni spt dlm Buhkori dan Muslim ada kisah spt ini yg jelas2 menurunkan derajat nabi saw yg sangat tinggi di sisi Allah ?
Mau tambah lagi ? He he cukup 4 contoh dulu…..
Dlm kitab2 hadis Syi’ah engga ada tuh riwayat2 spt itu. Eh, pake bilang ulama Syi’ah engga pede segala. Tapi salut juga sama ente, kitab sahihnya banyak kemasukan riwayat2 yg maudhu, eh sempat2nya bisa bilang org lain engga pede.
Hua kakak…kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata terlihat.
Nih lihat riwayat tahrif Al-Quran dari kitab hadis Sunni :
1.”Dari Qabishah bin Uqbah yg berasal dari Ibrahim bin ‘Alqamah. Ia berkata kpd kami:”Saya bersama pengikut ‘Abdullah bin Ubay datang ke Syam. Abu Darda yg mendengar kedatangan kami segera datang dan bertanya:”Adakah diantara kalian yg membaca Al-Quran?”. Orang2 menunjuk kpd saya. Kemudian ia berkata :”Bacalah!” Maka sayapun membaca :”Wa layli idza yaghsya wan nahaari idza tajalla wa dzdzakaro wal untsa”. Mendengar demikian dia bertanya:”Apakah engkau mendengarnya dari mulut temanmu ‘Abdullah bin Ubay? Aku menjawab:”Ya”. Ia melanjutkan:”Saya mendengarnya dari mulut Nabi saw dan mereka menolak untuk menerimanya.” (Sahih Bukhori Kitab At-Tafsir bab Surah wal laily idza yakhsya).
Bacaan tsb kurang “ma kholaqo”.
2. Umar bin Khattab berkata:”Bila bukan karena orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat kedalam Kitab Allah, akan kutulis ayat rajam dg tanganku sendiri.” (Sahih Bukhori, Bab Asy-Syahadah ‘indal Hakim fi wilayatil Qadha’).
Dg demikian Umar termasuk org yg meyakini adanya tahrif dan pengirangan dalam Al-Quran. Sebab ayat rajam yg dia yakini ada dalam Al-Quran, ternyata tidak ada !
3. Dari Khuzaifah yg berkata:”Saya pernah membaca Surah Ahzab pada masa Nabi saw dan tujuh puluh (70) ayat darinya saya sudah agak lupa dan saya tdk mendapatkannya di dalam Al-Quran yg ada sekarang.” ( Ad-Durrul Mansur, jilid 5, hal 180).
4. Dari Abdurrazaq yg berasal dari Tsauri dari Zirr bin Hubaisy yg berkata:”Ubay bin Ka’ab telah bertanya kpd saya:”Berapa jumlah ayat yg kalian baca dari Surah Al-Ahzab?” Saya menjawab:”Tujuh puluh tiga (73) atau tujuh puluh empat (74) ayat.” Dia bertanya:” Hanya sebanyak itu ?” Pada mulanya Surah tsb sama panjangnya dg Surah Al-Baqarah atau lebih. Dan di dalamnya terdapat Surah Rajam.” Saya bertanya:”Wahai Abu Mundzir, bagaimana bunyi Surah rajam itu ?” Dia menjawab:” Ayat tsb ialah :”..idza zanaya wasysyaihotu farjumu humal battatan nakalan minallah wallahu ‘azizun hakiim…”
Lah kalau ada ulama yg mengatakan kitab hadisnya sahih tapi ternyata banyak yg dhaif/maudhunya apa bukan penipu ?! Hi hi hi ente lucu deh. Soalnya ente kok bangga dg ulama spt itu.
Ajaran Islam dibangun di atas dua pilar utama; Al Qur’an dan Sunnah! Al Qur’an adalah qath’iul wurûd (sudah pasti dan terbukti datangnya dari sisi Allah SWT), kendati dalam dalâlah/petunjuknya bersifat dzanni (masih terbukanya beberapa penafsiran tentangnya). Sedangkan Sunnah Nabiwiyah kita terima dalam kualitas dzanniyah, yang rawan pemalsuan, kekeliruan dan penyelewengan. Sebagaimana dari sisi dalâlah-nya juga banyak yang bersifat dzanniyah.[1]
Berangkat dari kenyataan ini, adalah keharusan atas para ulama untuk menyeleksi dengan teliti semua riwayat yang memuat klaim Sunnah agar kita dapat menemukan Sunnah yang shahihah dari tumpukan riwayat-riwayat yang mengklaim memuat Sunnah!
Dan karena produk-produk palsu atas nama Sunnah Nabi saw. telah membanjiri ‘Pasar Hadis’ maka tidaklah heran jika banyak ‘Ahli Hadis’ yang tertipu dan kemudian menganggapnya sebagai Sunnah yang sedang mereka cari![2] Mereka mengoleksinya dalam kitab-kitab kebanggaan mereka dan generasi berikutnya menganggap produk palsu itu sebagai Sunnah Nabi Muhammad saw.; sumber kedua ajaran Islam yang murni! Kitab-kitab hadis yang diyakini penulisnya sebagai hanya memuat hadis-hadis shahih sekali pun ternyata tidak selamat dari rembesan hadis-hadis palsu atau hadis-hadis bermasalah!
Namun demikian sebagian pihak mengklaim dengan nada menantang bahwa apa yang dilakukan para Muhaddis Sunni telah mencapai puncak ketelitian dalam menyeleksi hadis-hadis, dan puncak dari usaha itu adalah dibukukannya enam kitab hadis Shahih, khususnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim!
Dalam kesempatan ini saya tidak sedang meragukan “kerja ngotot” mereka dalam menyaring hadis, akan tetapi sekedar mempertanyakan sejauh mana kesuksesan usaha tersebut! Sebab pada kenyataannya masih terlalu banyak hadis bermasalah yang lolos seleksi dan masuk dalam kategori hadis sehat, sementara ia mengandung penyakit!
Mungkin hal itu diakibatkan oleh dahsyatnya produk-produk palsu yang diikemas dengan kemasan menarik dan menipu sehingga bukan hal mudah membedakannya dari Sunnah yang Shahihah! Atau diakibatkan ketidak akuratan alat seleksi yang mereka pergunakan! Atau karena sebab lain! Wallahu A’lam.
Hadis-hadis bermasalah itu menyebar hamper dalam semua bab dan tema agama, dari tema akidah, syari’at (fikih), akhlak, sejarah para nabi as., sejarah Nabi Muhammad saw. dll.
Di bawah ini saya berharap ada jawaban memuaskan dari mereka yang membanggakan hasil usaha slektif para Ahli Hadis Sunni, yang dianggapnya telah mencapai puncaknya! Berbeda dengan dunia hadis Syi’ah yang masih amboradul, serba tidak matang, tak mengenal liku-liku sanad riwayat dan rentang kepalsuan! Saya berharap teman-teman tersebut mmeberikan jawaban ilmiah tentang hadis-hadis bermasalah riwayat Bukhari dean Muslim atau salah satu dari keduanya di bawah ini. Dan sengaja saya batasi telaah saya pada dua kitab tershahih setelah Al Qur’an itu mengingat:
A)    Kedua kitab tersebut adalah telah mendapat kepercayaan luas di kalangan tokoh-tokoh Ahlusunnah sebagai Ashahhu kutubi ba’da itabillah/kitab tershahih setelah Kitabullah!
B)     Dengan melibatkan kitab-kitab hadis level dua dikhawatirkan akan makin mempermarah keadaan. Sebab dalam kitab-kitab tersebut terdapat banyak hadis yang mengerikan untuk diungkap, walaupun dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga banyak hadis yang tidak kalah bermasalahnya!
  • Postur Nabi Adam as. Sama dengan Postur Allah SWT!
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda:
حدثنا ‏ ‏يحيى بن جعفر ‏ ‏حدثنا ‏ ‏عبد الرزاق ‏ ‏عن ‏ ‏معمر ‏ ‏عن ‏ ‏همام ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏
‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏خلق الله ‏ ‏آدم ‏ ‏على صورته طوله ستون ذراعا فلما خلقه قال اذهب فسلم على أولئك النفر من الملائكة جلوس فاستمع ما يحيونك فإنها تحيتك وتحية ذريتك فقال السلام عليكم فقالوا السلام عليك ورحمة الله فزادوه ورحمة الله فكل من يدخل الجنة على صورة ‏ ‏آدم ‏ ‏فلم يزل الخلق ينقص بعد حتى الآن[3]
“Allah menciptakan Adam atas bentuk/shûrah-Nya, panjangnya enam puluh hasta. Dan ketika Dia menciptakannya, Dia berfiman, ‘Pergilah dan  ucapkan salam kepada para malaikat yang sedang duduk itu dan dengarkan jawaban mereka, karena ia adalah ucapan salammu dan salam keturunmu. Maka Adam mengucapkan: “Salam atas kalian.” Lalu mereka menjwab: “Salam dan rahmat Allah atasmu.” Para malaikat itu menambah kata rahmat Allah. Maka setiap orang yang masuk surga akan berpostur seperti Adam. Dan setelahnya ciptaan berkurang (mengecil) ukurannya sehingga seperti sekarang ini.”
(HR. Shahih Bukhari, Kitab al Isti’dân, Bab Bad’u as Salâm dan Shahih Muslim, Kitab al Jannah wa Shifatu Na’îmiha, Bab Yadkhulul Jannah Aqwâmun…)
Hadis di ataas dengan redaksi lain, dari Abu Hurairah dari Nabi saw. :
“Jika seorang dari kalian memukul saudaranya hendaknya ia menghindari memukul wajah, sebab sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas bentuk/shûrah-Nya.”
(HR Shahih Muslim, Bab an Nahyu ‘An Dharbil Wajhi/larangan memukul wajah)
Ibnu Jakfari Berkata:
Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya!
Ada kekhawatiran bahwa Abu Hurairah menimba ucapan itu dari Guru Besar yang bernama Ka’ab al Ahbâr; seorang pendeta Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan kemudian menyebarkan ajaran yahudiyah di tengah-tengah kaum Muslimin dan sempat memikat kekaguman sebagian sahabat, seperti Abu Hurairah yang kemudian menjadi murid setia yang rajin menjajahkan kepalsuan bualannya!
Sebab bulalan palsu seperti itu termuat dengan kentalnya dalam Al Kitab; Penjanjian Lama, Kitab Kejadian:1:27:
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarann-Nya, menurut gambaran Allah diciptakan-Nya dia.”[4]
Dan pada Kitab Kejadian 5:1:
“Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah.”
Para penafsir Al Kitab kebingungan dalam mengahadapi ayat-ayat di atas, dan akhirnya mereka terpaksa mempelesetkan maknanya agar tidak memberi makna materistis bagi Dzat Allah. Mereka mengartikan bahwa yang dimaksud dengannya adalah bahwa Allah menciptakan manusia menyerupai Allah dalam kesucian/kekudusannya.[5]
Sepereti Anda ketahui bahwa tasfir yang dipilih dalam kamus tersebut adalah demi menghindar dari tajsîs/meyakini Allah berpostru seperti makhluk-Nya. Tetapi anehnya mereka yang mengadopsi tekas Al Kitab dan kemudian menamakannya sebagai sabda Nabi sauci Muhammad saw. letah melangkah lebih jauh dengan menutup semua pintu usaha untuk menakwilkannya dengan selain makna posturisasi Allah. Maha suci Allah dari pensifatan mereka, seperti yang dapat Anda saksikan dalam riwayat kedua yang saya sebutkan dari riwayat Imam Muslim!
Jika Tinggi Ada 60 Hasta, Berapa Lebar Badannya?
Saranya sah-saha saja jika ada yang usil dan ingin tahu berapa sebenarnya lebar badan Nabi Adam as. sebab beliau addalah ayah kita semua. Di sini al ‘Aini –pensyarah Shahih Bukhari- memberikan jawaban pasti bahwa lebar badan Adam; ayah umat manusia adalah tujuh hasta! Hanya tujuh hasta! Tidak lebih dan tidak kurang![6]
Edialkah prawakan seperti itu? Panjang 60 hasta, lebar 7 hasta!
Jika panjang/tinggi Adam itun 60 hasta itu mkeniscayakan tulang tengkoraknya sepanjang 2 hasta. Tapi anehnya sepanjang penemuan vosil dan kerangka manusia pra sejarah sekalipunn tidak pernah ditemukan tengkorak manusia seperti itu! Apa yang ditemukan para iilmuan tidak jauh beda besarnya dengan tengkorak manusia sekarang/modern. Tidak pula ternah ditemukan ada kerangka manusia setinggi 60 hasta!
Selain itu, jika benar apa yang dikatakan Abu Hurairah bahwa tinggi Adam as. adalah 60 hasta maka sermestinya tebal badannya mencapai 17,7 hasta. Sebab manusia normal, lebar badan mestinya adalah 2/7 dari tinggi badannya!
Jika benar bahwa lebar badan Adam as. itu 7 hasta maka semestinya tingginya adalah 24,5 hasta bukan 69 hasta!
Jadi di hadapan ucapan Abu Hurairah itu hanya ada dua plihan;
A)                Abu Hurairah salah dalam memberikan gambaran postur Nabi Adam as.!
B)                 Adam as. memang diciptakan tidak Fi Ahsani taqwîm/sebaik-baik bentuk penciptaan. Postus Adam as. terlalu ramping, tidak serasi antara tinggi dan lebar!
  • Allah SWT Memamerkan Betis Indah-Nya
Di antara hadis-hadis Shahih Bukhari dan Muslim terkait dengan masalah tauhid dan sifat Allah SWT yang perlu mendapat sorotan adalah hadis yang mengatakan bahwa: “Kelak di hari kiamat ketika para pengyembah selain Allah telah dipertemukan dengan sesembahan mereka…. Sehingga setelah selesai dan tidak tersisa melainkan mereka yang menyembah Allah; baik yang shaleh maupun yang durja. Datanglah Allah Rabbul ‘Alâmin daalam tampilan lain yang lebih rendah dari tampilan yang pernah mereka kenal di dunia dahulu, lalu Allah berfirman kepada mereka, “Apa yang kalian nanti? Semua telah mengikuti sesembahan yang dahulu mereka sembah.” Maka mereka menjawab, “Orang-orang telah meninggalkan kami di dunia di saat kami sangat membutuhkan mereka, kami tidak menemani mereka. Kami sedang menanti Tuhan yang dahulu kami sembah.” Lalu Allah berfirman, “Aku-lah Tuhan kalian.” Maka mereka berkata, ‘Kami tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Dua atau tiga kali mereka ucapkan.
Dalam riwayat lain: “Maka datanglah Dzat Yang Maha Perkasa dalam bentuk selain bentuk yang dahulu mereka saksikan pertama kali, lalu Dia berkata, “Aku-lah Tuhan kalian.” Maka mereka berkata, “Engkau Tuhan kami?”…
Dalam riwayat lain, mereka berkata menolak, “Kami berlindung darimu!.”
Maka Allah berfiman, “Adakah tanda antara kalian dan Dia dengannya kalian mengenal-Nya?” Mereka berkata, “Ya, ada. Betis.” Maka Allah menyingkap betis-Nya. Maka bersujudlah semua orang Mukmin, adapun orang yang dahulu menyembah-Nya karena riya’ dan mencari pamor tidak bias bersujud, setiap kali mereka hendak bersujud punggung mereka menajdi seperti papan dan mereka tertelungkup… “
(Shahih Bukhari, Kitab at Tauhid, Bab Qaulullah –Ta’ala- Wujûhun Yaumaidzin Nâdzirah, hadsi no.7439 dan beberapa tempat lainnya di antaranya: Kitab at Tafsîr, Bab Qaulihi Innallaha Lâ Yadzlimu Mitsqâla Dzarratin, hadis no.4581 dan baca juga Shahih Muslim Bab Ma’rifah Tharîq ar Ru’yah).
Di antara redaksri riwayat Bukhari adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا ‏ ‏يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏زَيْدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ‏ ‏قَالَ :‏قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ ‏ ‏هَلْ تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ إِذَا كَانَتْ صَحْوًا قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ رَبِّكُمْ يَوْمَئِذٍ إِلَّا كَمَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَتِهِمَا ثُمَّ قَالَ يُنَادِي مُنَادٍ لِيَذْهَبْ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى مَا كَانُوا يَعْبُدُونَ فَيَذْهَبُ أَصْحَابُ الصَّلِيبِ مَعَ صَلِيبِهِمْ وَأَصْحَابُ الْأَوْثَانِ مَعَ أَوْثَانِهِمْ وَأَصْحَابُ كُلِّ آلِهَةٍ مَعَ آلِهَتِهِمْ حَتَّى يَبْقَى مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ مِنْ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ وَغُبَّرَاتٌ مِنْ ‏ ‏أَهْلِ الْكِتَابِ ‏ ‏ثُمَّ يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ تُعْرَضُ كَأَنَّهَا سَرَابٌ فَيُقَالُ ‏ ‏لِلْيَهُودِ ‏ ‏مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ قَالُوا كُنَّا نَعْبُدُ ‏ ‏عُزَيْرَ ‏ ‏ابْنَ اللَّهِ فَيُقَالُ كَذَبْتُمْ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ صَاحِبَةٌ وَلَا وَلَدٌ فَمَا تُرِيدُونَ قَالُوا نُرِيدُ أَنْ تَسْقِيَنَا فَيُقَالُ اشْرَبُوا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي جَهَنَّمَ ثُمَّ يُقَالُ ‏ ‏لِلنَّصَارَى ‏ ‏مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ فَيَقُولُونَ كُنَّا نَعْبُدُ ‏ ‏الْمَسِيحَ ‏ ‏ابْنَ اللَّهِ فَيُقَالُ كَذَبْتُمْ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ صَاحِبَةٌ وَلَا وَلَدٌ فَمَا تُرِيدُونَ فَيَقُولُونَ نُرِيدُ أَنْ تَسْقِيَنَا فَيُقَالُ اشْرَبُوا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي جَهَنَّمَ حَتَّى يَبْقَى مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ مِنْ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ فَيُقَالُ لَهُمْ مَا يَحْبِسُكُمْ وَقَدْ ذَهَبَ النَّاسُ فَيَقُولُونَ فَارَقْنَاهُمْ وَنَحْنُ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَيْهِ الْيَوْمَ وَإِنَّا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِيَلْحَقْ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ وَإِنَّمَا نَنْتَظِرُ رَبَّنَا قَالَ فَيَأْتِيهِمْ الْجَبَّارُ فِي صُورَةٍ غَيْرِ صُورَتِهِ الَّتِي رَأَوْهُ فِيهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ فَيَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ فَيَقُولُونَ أَنْتَ رَبُّنَا فَلَا يُكَلِّمُهُ إِلَّا الْأَنْبِيَاءُ فَيَقُولُ هَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ آيَةٌ تَعْرِفُونَهُ فَيَقُولُونَ السَّاقُ فَيَكْشِفُ عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ لِلَّهِ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَيَذْهَبُ كَيْمَا يَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ ‏ ‏طَبَقًا ‏ ‏وَاحِدًا ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ ……
*****
Dalam riwayat-riwayat tersebut dikatakan bahwa (1) Umat manusia kelak di hari kiamat akan melihat Allah dengan mata telanjang! Sebagiamana sebelumnya nmereka juga pernah melihat-Nya hanya saja dalam tampilan dan bentuk lain yang berbeda dengan bentuk di hari kiamat. Dan hal itu tentunya meniscayakan adanya cahaya yang menyambung antara mata dan Dzat Allah!  (2) Memandang Allah SWT drngan mata telanjang ternyata tidak terbatas hanya bagi kaum Mukminin saja, akan tetapi Allah juga akan dilihat oleh kaum munafikin! (3) Allah memiliki bentuk yang terdiri dari bagian-bagian dan berlaku padanya apa yang berlaku atas meteri seperti berpindah tempat, bergerak dan menempati  ruang, serta akan tampil untuk di permukaan dan diliaht mata telanjang! (4) Allah tampil daalam rupa dan bentuk yang bermacam-macam. (5) Dan ketika Allah tampil di hari kiamat dalam bentuk dan rupa lain yang tidak mereka kelal sebelumnya, maka mereka meminta agar Allah menampakkan tanda pengenal yaitu betis! Akhirnya Allah menyingkap betis-Nya dan mereka pun mengenali-Nya lalu merreka bersujud!
Itu artinya, andai Allah tidak memperkenalkan jati diri-Nya dengan menyingkap betis-Nya pastilah kaum Mukminin di hari kiamat itu tidak akan mengenal-Nya. Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya!
Betis Allah!
Masalah penetapan adanya betis Allah SWT. yang  Allah singkap itu terkait dengan ayat 42 surah Nûn,  karena itu, Bukhari menyebutkan hadis ini pada tafsir surah Nûn Bab Yauma Yuksyafu ‘An Sâqin, sebagai tafsir dari ayat tersebut! Oleh sebab itu kami akan menelaah maksud ayat tersebut walau secara ringkas.
يَكِْشِفُ رَبُّنا عن ساقٍ….
“Pada hari betis disngkapkan…. “
Ayat tersebut dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang kedahsyatan kejadian di hari kiamat. Kaum kafir diminta untuk mendatangkan sesembahan mereka untuk menolong dan menyelamatkan mereka! Kapan? “Pada hari betis disngkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa.” Yang dimaksud dengan betis disingkapkan adalah menggambarkan keadaan yang sedang ketakutan dan  kedahsyatan yang sangat!
Tafsir ini telah dinukil dari para pembesa Salaf, seperti Ibnu Abbas, hasan al Basrhi, Mujahid, Qatadah dan Sa’id ibn Jubair. Baca ketarangan mereka dalam: Fathu al Bâri,18/307.
Akan tetapi, Bukhari memaknai kata sâqin dengan arti betis dan dikaitan dengan Dzat Allah SWT.; betis Allah!!
Dan akibat menerima tanpa seleksi hadis Bukhari di atas, sebagian orang berkeyakinan bahwa Allah SWT punya betis yang kelak pada hari kiamat akan disingkap sebagai tanda pengenal kepada kaum Mukminin!!
Mengepa terjadi penyelewengan dalam memahami makna ayat di atas? Jawabnya jelas! Karena Bukhari; Imam Ahli Hadis telah meriwayatkannya demikian!
Sementara salah satu pangkal kesalahan itu terletak pada adanya kesalahan pada penukilan teks sebenarnya! Imam Bukhari meriwayatkannya dengan redaksi demikian:
يَكِْشِفُ رَبُّنا عن ساقِهِ….
“Tuhan kami menyingkap betis-Nya, maka bersujudlah semua orang mukmin dan mukminah….” (HR. Bukari, Kitab at Tafsîr, Bab Yauma Yuksyafu ‘An Sâqin, hadis no.4919)
Sepertinya terjadi kesalahan dalam redaksi itu yang kemudian menyebabkan kekacauan akidah tentang sifat Allah SWT.
Coba Anda perhatikan redaksi dalam ayat Al Qur’an di atas! Ia hanya menyebutkan kata: ساقٍdan dalam bentuk nakirah. Ia berkata, “Pada hari betis disngkapkan.” Tidak ada sebutan bahwa Allah menyingkap betis-Nya, sehingga ia sama sekali tidak terkait dengan sifat Allah! Akan tetapi, ketika kita memerhatikan riwayat Bukhari kita temukan bahwa Allah yang menyingkap betis-Nya! Betis Allah!!
Karenanya salah seorang tokoh agung Ahli Hadis Sunni bernama Isma’ili menegaskan bahwa pada redaksi riwayat Bukhari di atas terjadi kesalahan! Yang shahih adalah tanpa kata ganti orang ketiga: هِ  pada kata: ساقِهِ, sebab redaksi terakhir ini sesuai dengan redaksi Al Qur’an. Dan tidak lah terbayangtkan bahwa Allah punya organ badan sebab yang demikian itu menyerupkan-Nya dengan makhluk-Nya, sementara Allah tidak menyerupai makhlu-Nya! Demikian ditegaskan al Isma’ili.[7]
Jadi dalam hemat al Isma’ili, Bukhari salah dalam menukil atau meriwayatkan redaksi hadis yang salah!
Akankah para ulama Sunni lainnya berbesar hati seperti al Isma’il?
Penutup:
Selain dua contoh kasus di atas, masih banyak lainnya! Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kapada saya untuk membeberkan kasud-kasus lainnya dalam kesempatan mendatang. Amîn.
Dan semoga kenyataan ini menjadi bahan renungan bagi para pecinta Sunnah Nabi saw. dan kami menanti sikap ilmiah (bukan ocehan kosong) dari para pemerhati!
Dan jika kitab tershahih Ahlusunnah sedemikian rentangnya dari kepalsuan, maka  apa bayakan kita terhadap kitab-kitab hadis lainnya yang dari sisi kualitas jauh di bawah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim?!

[1] Tentunya tidak menutup kenyataan bahwa di antara ayat-ayat Al Qur’an ada yang qathi petunjuknya sebagaimana di antara Sunnah ada yang qathi juga wurûd-nya.
[2] Qadhi Abu Bakar ibn al Arabi meriwayatkan dalam syarahh at Turmudzi dari Ibnu Hubâb bahwa Malik telah meriwayatkan seratus ribu hadis. Ia menghimpunnya dalam Muwaththa’ sebanyaak sepuluh ribu, kemudian ia terus-menerus menyocokkannya dengan Al Qur’an dan Sunnah dan menguji kualitasnya dengan atsâr dan akhbâr, sehingga ia kembali (hanya menerima) lima ratus hadis saja.”
[3] http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&Rec=9299.
[4] Al Kitab,diterbitankan OLEH  LEMBAGA AL KITAB INDONESIA – JAKARTA 1985.
[5] Baca Kamus al Kitab al Muqaddas, pada kata Adam.
[6] ‘Umdah al Qâri,22/229.
[7] Baca Fathu al Bâri,18/308.
==========================================
Tuhan Salafi Jelas Berbentuk!
Jika dikatakan bahwa kalian wahai orang=orang Salafi/Wahabi adalah Mujassimah! Kalian marah, dan menepisnya dengan mengatakan bahwa kami adalah pengikut Salaf Shaleh! Kami memurnikan Tauhid! Kami Mensifati Allah SWT dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya sifati Diri-Nya!!
Akan tetapi semua akidah kalian tentang ketuhanan dengan terang menunjukkan bahwa Tuhyan kalian itu berbentuk, berfisik, terdiri dari beberapa angoota seperti tangan, betis, wajah, mata, telinga… sebagaimana kalian juga mensifatinya dengan sifat makhluk_nya seperti berlari-lari kecil, naik dan turun.. bersemayam di attas Arsy yang dipikul delapan ekor kambing hutan yang kalian artikan malaikat berbentuk kambing jantan… dan lain sebagainya dari akidaah menyimpang dan kental dengan tajsim!
Kini, kalian mensifati Tuhan kalian dengan bertambah berat bobot tubuh-Nya apabila ia murka… entah apa relevansinya antara murka dengan bertambah boot badan? Apa karena “ngeden” (dalam bahasa jawa negeden pasti Anda mengerti maknanya)…. ? Atau karena sebab lain?
Yang pasti demikian akidah kalian!!
Ini buktinya!!
Perhatikan baik-baik!
Maka beliau menjawab: “Ya, benar. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran… “
Cacatan kaki:
Hadis itu diriwayatkan Ibnu Asakir secara lengkap: “Nabi menjawab: “Ya, benar, demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran. Mereka berkata, ‘Kapan ia menjadi berat?
Nabi menjawab, “Jika kaum musyrikun bengkit kepada kemusyrikan mereka maka murka Allah  azza wa Jalla menjadi keras, dan Arsy menjadi berat atas para pemangulnya sehingga ada seorang yang sadar akan: ‘Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya’, maka redahkan murka Allah Azza wa Jalla dan menjadi ringanlah Arsy atas para pemikulnya. dan mereka pun mendoakan, ‘Ya Allah ampunilah si pengucap kalimat itu,’”
(Tarikh Damasqus,19/362 dan Tahdzib at Tahdzib,7/221)
Perbuatan Allah SWT.

Pada pembahasan sifat wahdaniyah, di jelaskan bahwa makna esa pada perbuatan adalah menafikan bahwa af’al Allah berbilang yang bercerai berai yang serupa pada perbuatan-Nya yang memberi bekas.
Tidak ada perbuatan lain yang menyamai perbuatan Allah swt. Segala perbuatan seperti Iman, ta'at, kufur, maksiat dan perbuatan yang lainnya pada hakikatnya adalah perbuatan Allah swt. Tidak sekali-kali hamba mempunyai perbuatan dan pada hakikatnya usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas. Hendaknya di ketahui bahwasanya segala yang terjadi di dunia ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah swt.

Pertanyaan:
Tidak di ragukan lagi bahwa Allah swt adalah wujud yang maha kaya (tidak membutuhkan), jika demikian,
• Mengapa manusia di ciptakan?
• Apakah pantas Allah swt di kataka berbuat kurang bagus (buruk) ?
Apa tujuan dari penciptaannya? Dengan kata lain apa maksud Allah menciptakan manusia?
• Tidakkah hal ini berarti bahwa Dia (Allah swt) adalah wujud yang melalui tujuan penciptaan manusia membutuhkan atas sesuatu?
• atau seandainya tidak mempunyai tujuan, berarti perbuatan Allah itu adalah sia-sia?

Jawab :
Mudah-mudahan Allah ta’alah membukakan pintu karunia dan rahmat-Nya, menjadikan kita termasuk yang mengikuti jalan kebenaran. Sebaiknya kuasai dulu 68 aqa’idul iman, supaya lebih mudah menangkap penjelasan ini.
Allah maha kaya dan maha sempurna tidak mempunyai kekurangan yang mendasari sebuah tindakan uantuk mencapai tujuan.pengertianya adalah sesunguhnya maneaat dan tujuan tersebut bukan akan kembali kepada zat Allah. Karen bagaimana mungkin Allah pemilik kesempurnaan menjadikan segala sesuatu termasuk manusia menutupi dir-Nya dengan kekurangan.
Namun, seandainya dikataka Allah tidak mempunyai tujuan dalam menciptakan mahluk dan alam, tentu akan berbeda kalau di katakana bahwa hasil ciptaanya adalah perbuatan yang sia-sia.
Disini letak perbedaan,kalau kaum materialisme berpendapat antara lain Allah tidak mempunyai tujuan dari penciptaan alam dan manysia. Sedangkan bagi muslim mengatakan bahwa Allah menciptakan alam dan manusia pasti mengandung hikmah adanya maksud dan tujuan bagi manusia dan bukan bagi Allah.
Allah menciptakan langit , bumi, dan di antara keduanya adalah dengan maksud dan tujuan mengandung hikmah. Maksud dan tujuan itu antara lain adalah untuk kesempurnaan mahluk dan tidak bagi Allah swt, sehinga tidak menjadikan perbuatan-Nya sia-sia, Sebagaimana firman Allah:
“Hai manusia, kamulah yang berhajat ke pada Allah: dan Allah dialah yang maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi maha terpuji”.
(QS, Faaathir, 35:15)

Jadi dapat di simpulkan sebagai berikut:

• Allah swt sebagai wujud yang maha sempurna sudah pasti tidak membutuhkan sesuatu, bagi-Nya juga tidak mempunyai tujuan dalam mencapai suatu kebutuhan.
• Perbuatan Allah tidak menuju kesia-siaan. Tidak harus bagi-Nya meraih tujuan, tujuan tersebut berkenaan dengan tindakan (objek). Bukanlah bagi pelaku perbuatan (subyek).

Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
“ya tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.
(QS, Ali Imran, 3:191)

Dan tidaklah kami menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara ke duanya dengan bermain-main.
(QS, Al-Anbiyaa’, 21:16)

Ke esaan perbuatan ini berarti mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam ini, baik system kerjanya dan wujutnya, semuanya adalah perbuatan Allah swt. Setiap yang di kehendaki-Nya pasti terjadi dan setiap yang tidak di kehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada daya kekuatan untuk memperoleh manfaat maupun untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah swt, itu maknaya tauhid af’al.

0 komentar: