Penyimpangan-Penyimpangan

Ada lima sumber yang digunakan Tabi'in dalam menafsirkan al-Quran, yaitu: al-Quran, al-Hadits, tafsir para sahabat, cerita para ahli kitab dan ra'yu atau ijtihad para tabi'in sendiri. Pada masa Tabi'in inilah mulai berkembang peluang 'inhiraf' dalam penafsiran al-Quran. Bentuk-bentuk penyimpangan itu antara lain Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir, atau kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan madzhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.




Abstrak
Kedua: Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Ketiga: berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan al-Quran

Kata Kunci : Penyimpangan, Penafsiran, al Qur’an

PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab suci yang di turunkan untuk menjadi pedoman hidup (way of life) bagi manusia. Fungsi tersebut secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an. Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka tidak boleh tidak al-Quran tersebut harus dapat dipahami oleh manusia.
Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan al-Quran tersebut, yang salah satunya adalah menafsirkan al-Quran. Upaya ini telah dilakukan oleh para mufassir, baik oleh Rasulullah S AW . sendiri sebagai mufassir pertama dan para pewarisnya. Rasulullah menjelaskan al-Quran dengan sunnahnya, sedang para pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadits-hadits Rasulullah SAW., di samping berusaha memahami al-quran dengan penjelasan al-Quran itu sendiri, dan ijtihad mereka, dengan menggunakan kemampuan pengetahuan bahasa, adat istiadat Arab, hal ihwal kaum yahudi-nasrani dan kekuatan daya tangkap mereka. Kemudian, pada masa Tabi’in (yang secara umum juga disebut sebagai pewaris Nabi SAW., tetapi dalam kaitannya dengan penafsiran al-quran sebutan pewaris ini nampaknya tertuju pada para sahabat), perkembangan pola penafsiran telah menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pola yang menonjol pada masa sahabat. Dalam memahami arti ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya, para Tabi'in -- di samping melandaskan pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri, hadits-hadits Rasulullah SAW serta penafsiran yang diberikan oleh para sahabat Nabi SAW dengan bantuan cerita-cerita dari para ahli kitab -- telah menggunakan ra'yu sebagai alat menalar. Meskipun corak penalarannya masih belum serasional para pelanjutnya yang telah mengintroduksi pola penafsiran Bi al-Ra'yi. Oleh karena itu, Adz-Dzhabi menyebut lima macam sumber yang dipakai oleh para Tabi'in dalam menafsirkan al-Quran, yaitu: al-Quran, al-Hadits, tafsir para sahabat, cerita para ahli kitab dan ra'yu atau ijtihad para tabi'in sendiri.
Pada masa Tabi'in inilah kita bisa melihat mulai adanya peluang 'inhiraf' dalam penafsiran al-Quran. Meskipun, secara logis bisa kita duga bahwa pada zaman sahabat pun bukan tidak mungkin ada peluang untuk melakukan penyimpangan itu. Namun untuk menyatakan bahwa kecenderungan ke arah itu benar-benar ada, kita belum memperoleh bukti. Sedang pada periode Tabi'in ini, tafsir-tafsir al-Quran sudah menampakkan kecenderungan ke arah penyimpangan, meskipun belum dapat kita katakan telah menyimpang, karena paling tidak di dalamnya terdapat hal-hal yang memberikan peluang ke arah itu. Peluang tersebut antara lain dimungkinkan oleh pola-pola penafsiran mereka yang mengandung tiga macam permasalahan:
Pertama: Karya-karya Tafsir para Tabi'in pada umumnya mengandung cerita-cerita Israiliyat dan Nashraniyat, yang bila dicermati bukan tidak mungkin sebagian dari cerita-cerita tersebut tidak memiliki sumber yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya apalagi banyak di antara kisah-kisah tersebut dimuat dengan tanpa menyantumkan sanadnya, sehingga sulit sekali dilacak sumbernya. Bahkan, ada di antara cerita-cerita tersebut yang terbukti ketidak-benarannya setelah diteliti.
Kedua: Di dalam kitab-kitab tafsir para Tabi'in terlihat mulai adanya kecenderungan untuk hanya menerima periwayatan dari orang-orang tertentu, dengan menafikan riwayat lain yang mungkin lebih dapat dipertanggungjawabkan nilai kebenarannya daripada riwayat yang dipakai sebagai salah satu sumber penafsiran.
Ketiga: Pada masa Tabi’in mulai tumbuh benih-benih perselisihan antar madzhab, terutama dalam masalah teologi, sehingga bukan tidak mungkin sebagian Tafsir para Tabi'in yang mengandung kecenderungan untuk mempertahankan metode dan pendapat Imam-imam madzhab, yang boleh jadi pada taraf tertentu akan berlebih-lebihan dan berkecenderungan untuk menyimpang, hanya karena dalam rangka membela pendapat Imam-imam madzhab dan seperangkat pendapat madzhabnya.
Kecenderungan-kecenderungan Itu semakin tampak pada masa berikutnya dengan munculnya pola-pola baru dalam penafsiran al-quran, terutama dengan semakin menguatnya gairah orang-orang Islam untuk memberikan makna yang lebih memuaskan keinginan mereka untuk memahami al-Quran.
PENAFSIRAN AL-QURAN: ANTARA IDE DAN REALITAS
Al-Quran, sebagaimana kita ketahui bersama antara lain berfungsi sebagai petunjuk atau hudan. Keberadaannya yang tetap dalam sebuah mushhaf yang terpelihara kemurniannya dalam jaminan Allah bukanlah berarti telah benar-benar menjadi petunjuk bagi umat manusia. Al-Quran akan dapat menjadi petunjuk bagi manusia bila ia dapat dipahami, dihayati dan memiliki nilai operasional. Untuk keperluan tersebut, tidak boleh tidak al-Quran harus dijelaskan maknanya ke dalam penjelasan yang lebih bisa dipahami, dihayati dan diamalkan daripada al-Quran yang dibiarkan untuk berbicara sendiri kepada semua lapisan umat manusia. Dengan kata lain, idealnya al-Quran harus ditafsirkan sedemikian rupa, agar dapat menjadi pedoman yang lebih mudah dimengerti. Oleh segenap lapisan umat manusia yang memerlukan petunjuknya.
Sebuah pertanyaan yang terangkai selalu muncul dalam kaitan ini:
Pertama: Siapakah yang berkompeten untuk menafsirkan al-Quran? Kedua: Sejauhmana kewenangannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita bisa melihat Ibnu 'Abbas dalam sebuah pernyataannya tentang al-Quran. Dia nyatakan bahwa dalam kaitannya dengan tafsir, ayat al-Quran bisa diklasifikasikan menjadi empat macam:
Pertama: ayat-ayat yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab dengan kemampuan bahasanya.
Kedua: ayat-ayat al-Quran yang dapat diketahui maknanya secara jelas oleh semua orang.
Ketiga: ayat-ayat al-Quran yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh para ulama. Keempat: ayat-ayat al-Quran yang hanya diketahui maknanya secara jelas oleh Allah.
Dari pernyataan Ibnu Abbas tersebut di atas, kita biasa mengambil kesimpulan bahwa:
1. Tidak semua ayat al-Quran dapat diketahui tafsirnya oleh para mufassir. Hal ini bila kaitkan, misalnya, dengan ayat-ayat mutasyabihat dengan berbagai ragam pengertian yang diberikan oleh para ulama. Ada di antara ayat-ayat al-Quran yang memang memiliki makna yang tersembunyi, dan hannya Allahlah yang memahami tafsirnya.
2. Ada sebagian ayat al-Quran yang terlalu sulit dipahami, kecuali oleh para ahlinya. Para ahli, yang kemudian disebut dengan ulama, Inilah yang sesungguhnya bisa disebut sebagai orang orang yang memiliki kompetensi untuk menafsirkan al-Quran, dengan berbagai macam persyaratan yang telah dijelaskan oleh para ulama.
3. Ada sebagian ayat yang secara bahasa dapat dipahami maknanya dengan Jelas. Sehingga, bagi orang non arab yang memiliki kemampuan bahasa Arab yang memadai dengan mudah dapat mengetahui maknanya, sebagaimana lazimnya orang-orang Arab sendiri yang memiliki kemampun bahasa mereka sendiri.
4. Ada sebagian ayat yang sangat mudah dipahami, sehingga ada kemungkinan bagi orang non arab yang memiliki sedikit pengetahuan tentang bahan Arab dan al-Quran, dapat memahami maknanya.
Meskipun secara mudah kita dapat memahami ungkapan di atas, sesungguhnya dalam realitas aktivitas penafsiran al-Quran selalu saja ada kemungkinan terjadinya kesalahan penafsiran yang berkaitan dengan faktor-faktor subyektif para mufasirnya.
Seorang mufassir, menurut pendapat Quraish Shihab, memiliki kemungkinan untuk membuat kekeliruan dalam menafsirkan al-Quran berkaitan dengan, antara lain, persoalan:
1. Subyektivitas mufassir;
2. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;
3. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
4. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
5.Tidak memperhetiken konteks, baik ashab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun
kondisi sosial masyarakat;
6. Tidak memperhatikan siapa pembicaraan dan terhadap pembicaraan ditujukan.
Sementara itu, adz-dzahabi meringkas kemungkinan kesalahan para mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut dalam dua faktor penting.yaitu:
1. Kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semua lafal al-Qur’an.
2. Kecenderungan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa arab saja, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-Qur’an itu, kepada siapa diturunkannya dan siapa yang dibicarakan oleh al-Qur’an itu.
Dan kedua macam uraian tersebut, kita peroleh kesimpulan bahwa; meskipun secara teoritik para ulama telah memberikan batasan-batasan ideal, sebagaimana hasil kesimpulan yang kita peroleh dari pernyataan Ibnu Abbas tersebut di atas, dan juga mungkin patokan-patokan yang dijelaskan oleh para mufassir itu berbuat keliru dalam menafsirkan al-Qur’an

BENTUK-BENTUK PENYIMPANGAN PENAFSIRAN
Sebagaimana penjelasan Quraish Shihab dan Adz-dzahabi tersebut di atas, kita bisa memperkirakan dan melihat bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran al-Quran. Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan madzhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari, ketika ia menafsirkan kata: Nadhirah dalam surah al-Qiyamah, 75:23. Ia tafsir kata nadhirah dalam ayat: إلى ربها ناظرة dengan pandangannya yang selaras dengan doktrin madzhabnya (Mu'tazilah) dan keahlian bahasanya. Kata Nadhirah yang secara umum diterjemahkan dengan melihat, ia tafsirkan dengan peryataan: "Memandang di sini bukan berarti melihat; dan melihat bukanlah salah satu maksud dari kata nadhirah tersebut. Nadhar memiliki arti yang banyak, antara lain: menggerakkan biji mata ke arah satu benda untuk melihatnya; menunggu; simpati dan berbaik hati dan berpikir atau merenung. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhar di dalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu, karena kita tidak mungkin melihat Allah.
Kedua: Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas, kita melihat beberapa kasus; di antaranya penafsiran kata mubshirah dalam surat: Al-Isra’, 17:59:
وأتينا ثمود النافة مبصرة
Kata mubshirah di dalam ayat tersebut memiliki makna kontekstual. Sehingga tidak mungkin diberi makna dengan arti orisinalnya.
Jika kata mubshirah di dalam ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan makna orisinalnya melihat dengan mata kepala, yang menerapkan kata Naqah (Onta Betina), maka penafsiran itu tidak kontekstual lagi karena kata mubshirah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah sebuah mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran Nabi Shaleh terhadap kaum Tsamud pada saat itu.
Ketiga: berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan al-Quran, sebagaimana yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam menafsirkan al-Quran) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen al-Quran, sebenarnya merupakan usaha mulia. Tetapi dapat dikatakan sebagai satu kecerobohan ynng bermakna kecenderungan untuk menyimpang andaikata al-Quran dengan seperangkat statemennya justru diuji oleh kebenaran Ilmiah yang mereka temukan. Sebab, hasil suatu penelitian bukanlah sesuatu yang bernilai final, sementara kebenaan yang ada didalam al-Qur’an bernilai universal.
Demikian juga, misalnya, seorang mufassir tidak boleh begitu saja menafikan hasil penelitian ilmiah. Misalnya, dalam kasus penafsiran ayat-ayat kauniah, tentu saja peristilahan keilmuan harus tetap menjadi perhatian para mufassir, demikian juga pengetahuan eksakta, misalnya dalam ilmu kedokteran, harus menjadi perhatian para mufassir ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan masalah kedokteran. Dua contoh kasus penafsiran ketiga dipaparkan oleh adz-dzahabi; ketika menafsirkan kata faqtha’u pada surat al-maidah, 5:38:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما...
Ada ilmuwan yang menafsirkan bahwa kata tergesebut bukan menunjukkan hukum wajib, tetap ibadah. Di sini adz-Dzahabi bertanya: kapan si mufassir dapat menafsir amar tersebut bukan suatu kewajiban? Kemudian, ketika menafsirkan ayat 61 dari surat al-Baqarah:
وإذقلتم يموسى لن .....
Thanthawi Jauhari. menguraikan dengan teori-teori medis, yang terlalu jauh. Sehingga penafsirannya justru membias sangat jauh. Cara inilah yang dianggap mengkhawatirkan untuk terjadinya penyimpangan penafsiran, bila tidak terkontrol dengan baik.

PENUTUP
Dari keseluruhan pembahasan tersebut, klta dapat memperoleh pengertian bahwa penjelasan terhadap makna al-Quran meruapakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping memerlukan kehati-hatian,juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang selayaknya diperhatikan. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, tetapi kemungkinan terjadinya keasalahan akan menjadi lebih besar.
Di samping itu, sejauh yang telah diupayakan oleh para ulama untuk menaati rambu-rambu yang menjadi patokan dasar tersebut, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpetasi terhadap al-Quran pun masih mungkin terjadi. Untuk itu, apa yang dinyatakan oleh adz-Dzahabi dan Quraish Shihab perlu diperhatikan, di samping be-berapa pelajaran tentang kesalahan dan kemungkinan salah yang telah dilakukan oleh para mufassir.

*) Penulis adalah Dosen Tetap FAI dan KPS Studi Islam PPS UNISMA MALANG


END NOTE:
1Q S. al - Baqarah, 2: 2, 97, 185; 138; al- Maidah, 5: 46 Ali 'Imran, 3:
2Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ' Ulum al-Quran (Makkah: Dar al-Sudiyah, 1971), p. 280.

3az-Zarqani, 'Abdul Adhim, Manahil al-'Irfan f1 ' Ulum al-Qur an (Kairo: Isa al Babiy al Halaby) tt., p. 22.

4Muhammad Husin Adzahabir at Tafsir wa al-Mufassirun. JUZ; I (Kairo: Dar al-Kutub al-'arabi, 1981), p. 58.

5Ibid, p. 99.
6adz-Dzahabi, Ibid, p. 131.
7Ahmad von Denffer, 1lmu al-Quran (An Introduction to Sciences of the Quran), terj. A. Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali, 1988), p. 142.

8Badruddin az-Zarkasyi . al-Burhan fi 'Ulum al-Quran, Jilid II (Mesir: al Halabi, 1957), p. 4. 164.

9M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan. 1992), p. 79.
10Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangn Dalam Penafsiran al Quran (al-Ittijahat al Munharifah fi Tafsir al-Quran al-Karim, Dawafi'uha wa Daf'uha), terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: Rajawali, 1986), p. 14.

11Abul Qasim Mahmud ibn. 'Umar az-Zamakhsyari, Al-Kasyyaf ' an Haqaiq al-Tanzil wa 'Uyun all ‘Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil. juz II (Mesir: /1-Halabi, 1966), p. 509.

12az Zahabiy, Penyimpangan, p. 20

13lihat Quraish Shihab, Membumikan, p. 100-110

14az Zahabiy, Penyimpangan, p. 126-127

15az Zahabiy, Penyimpangan, p. 117-118

0 komentar: