Keadilan Tuhan swt selalu berputar pada poros hikmah, termasuk dalam penciptaan manusia dimana salah satu bukti keadilan Tuhan swt adalah dengan memberikan syariat kepada manusia untuk membantu manusia meraih kesempurnaan penciptaannya.
Prakata
Jika kita tengok kembali era kita saat ini dari sudut pandang ideologi, mazhab dan pandangan dunianya--khususnya bagi generasi muda-- adalah era kebimbangan dan krisis terhadap keyakinan ideal. Banyak rangkaian pertanyaan-pertanyaan baru--bahkan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama dilupakan-- muncul kembali akibat dari tuntutan zaman yang menimbulkan banyak keraguan. Lalu apakah harus kita sayangkan dan kita biarkan semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan tetang eksistensi diri dan pandangan dunianya tersebut?
Keraguan dan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi dirinya adalah langkah awal untuk meraih keyakian. Akan halnya dengan keraguan adalah tempat pemberhentian sementara yang baik, dan tempat tinggal yang paling buruk, maka tidak ada yang perlu kita sayangkan dan justru perlu didukung. Islam sebagai agama yang paling gencar mengajak umat manusia untuk berpikir dan merenung, maka secara tidak langsung ia juga menjelaskan bahwa pada tahap awalnya manusia dalam keadaan tidak tahu atau ragu. Seorang bijak berkata: "Cukup menjadi manfaat dari kata-kata kami jika telah membuat kalian bertanya dan mencari hingga pada akhirnya kalian meyakini".
Sejarah mencatat pembahasan teologi Islam bermula pada setengah abad pertama Hijriah. Salah satu diantara pembahasannya yang paling tua adalah pembahasan tentang jabr (determinis) dan ikhtiar (non-determinis). Pada tahap awal masalah jabr dan ikhtiar adalah masalah manusiawi, dan pada tahap berikutnya merupakan masalah ketuhanan dan alam. Adapun merupakan masalah manusiawi, karena materi pembahasan kita adalah manusia, apakah manusia bebas berkehendak atau tidak? Dari sisi lain merupakan masalah ketuhanan dan alam, karena apakah ketentuan, kehendak, keinginan, qadha dan qadhar Tuhan, serta hukum kausalitas alam, memberikan kebebasan manusia berkehendak atau tidak? Karena masalah ini adalah masalah manusiawi, dan bagaimanapun juga masalah manusiawi sangat berhubungan erat dengan nasib manusia itu sendiri, maka sangat kecil kemungkinannya jika ada orang yang tidak pernah mempertanyakan masalah ini.
Jabr (determinism) dan Ikhtiar (non-determinism)
Ketika jabr dan ikhtiar dikemukakan, dengan sendirinya kita juga akan mengetengahkan masalah keadilan. Karena hanya ketika seseorang memiliki ihktiar, kewajiban, pahala dan dosa akan bermakna. Sebaliknya ketika manusia tidak bebas berkehandak dan berikhtiar dihadapan kehendak Tuhan swt atau Alam, maka istilah kewajiban, hak-hak, pahala dan dosa atau bahkan sesuatu yang bersifat lebih umum seperti etika pun tidak lagi mempengaruhi aksi dan tindakan manusia.
Dalam teologi Islam terdapat dua aliran, Mu'tazilah, yang meyakini keadilan dan ikhtiar dan Asy'ariyah, yang meyakini jabr (determinism). Walaupun kelompok kedua Asy'ariyah, tidak memungkiri keadilan Tuhan swt, karena al-Quran secara transparan menafikan kezaliman dari wujud Tuhan swt dengan menetapkan atribut keadilan dalam dzat-Nya. Namun mereka menafsirkan keadilan dengan cara yang berbeda. Bahwa keadilan bukan sebuah realita yang sebelumnya dapat disifati sebagai tolok ukur tindakan Tuhan swt. Karena sebenarnya tolok ukur dan standar tindakan Tuhan swt merupakan satu bentuk penetapan tugas dan tanggung jawab serta pembatasan kehendak Tuhan swt. Tidak mungkin kita tetapkan sebuah hukum atas kehendak dan tindakan tuhan swt, yang akan sangat bertentangan dengan kemuliaan dan kekuasaan mutlak-Nya. Dengan bahasa lain, makna keadilan dalam dzat Tuhan swt bukan berarti bahwa dia bertindak sesuai hukum atau undang-undang keadlian, akan tetapi keadilan dan kezaliman tercermin dari kehendak dan tindakan-Nya. Keadilan bukan tolok ukur tindakan Tuhan swt, melainkan tindakan Tuhan swt yang menjadi ukuran dan standar sebuah keadilan.
Adapun Mu'tazilah (non-determinism) berargumen bahwa keadilan itu sendiri merupakan sebuah realita, dan Tuhan swt sebagai satu-satunya eksistensi keadlian sempurna (The Just) dan hikmah mutlak (All-wise) akan selalu berntindak berlandaskan tolok ukur dan proposi keadilan.
Esensi Baik dan Buruk
Adalah masalah lain yang harus dikemukakan sebagai hasil dari meluasnya jangkauan pandangan tentang jabr dan ikhtiar atau tentang keadilan. Bahwa apakah secara global semua tindakan atau perilaku memiliki sifat baik dan buruk secara esensial? Atau sebagai contoh, apakah kejujuran dengan sendirinya bersifat baik dan penghianatan itu buruk? Apakah sifat-sifat seperti kebaikan dan kelayakan, keburukan dan ketidaklayakan merupakan sifat-sifat yang memiliki kenyataan tunggal sebagai atribut untuk setiap tindakan manusia tanpa harus merujuk pada pelaku dan kondisi tindakan tersebut? Atau sebagai sifat-sifat hipostasi dan relatif saja?
Hal ini sangat berhubungan sekali dengan independensi akal dalam menilai sifat-sifat ini. Apakah logika manusia dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruknya setiap tindakan? Atau membutuhkan syariat untuk memberikan penilaian terhadapnya?
Mu'tazilah (non-determinism) berpendapat akan dzati-nya baik dan buruk-baik pada esensinya baik dan buruk pada esensinya buruk-- dan mengetengahkan masalah self-sufficients logistic (mustaqillatul-aqliyah) bahwa dengan sangat jelas tanpa petunjuk syariat agama pun akal mampu memilah setiap tindakan yang berbeda-beda.
Adapun Asy'ariyah sebagaimana mereka mengingkari keadilan, mereka juga mengingkari esensi baik dan buruk. Pertama, mereka menganggap bahwa baik dan buruk itu relatif yang bergantung pada kondisi, waktu dan lingkungannya, yang juga merupakan hasil rangkaian dari doktrin-doktrin. Kedua, akal dalam menilai baik dan buruk harus mengikuti petunjuk syariat. Dengan kata lain meminimalkan akal dalam menetukan baik dan buruk atau bahkan mengabaikannya.
Puncak perselisihan antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah dalam masalah keadilan Tuhan swt adalah ketika Mu'tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy'ariyah bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk logistis serta keterikatan tindakan Tuhan swt dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan swt (Tauhid fil Af'al) bahkan bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan swt itu sendiri. Karena ikhitar menurut Mu'tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari dzat-Nya.
Keadilan Tuhan swt dalam Pandangan Mazhab Syiah
Ketika seorang manusia melihat pada sesamanya, kemuadian ia tidak mempunyai maksud buruk, menghormati hak-haknya, tidak membedakan antara sesama, begitu juga ketika dalam ruang lingkup kekuasaan maupun pemerintahan yang menyamaratakan semua tingkatan sosial, dan juga dalam sebuah perselisihan ia memberikan dukungan dan pembelaan pada orang yang lemah dan tertindas serta menentang kejahatan dan kesewenang-wenangan, tentunya kita akan memuji sikapnya dan menganggap dia telah berbuat adil. Begitu juga kita akan menisbatkan predikat "zalim" pada orang yang bertindak tidak sesuai dengan yang diatas. Namun bagaimana dengan Tuhan swt?
Pertama, apakah makna-makna yang digunakan untuk manusia seperti keadilan dianggap sebagai sifat kesempurnaan, dan kezaliman sebagai sifat ketidaksempurnaan wujud manusia? Lalu apakah makna tersebut juga layak untuk eksistensiTuhan swt? Atau makna tersebut hanya menghukumi sosial individu manusia saja yang merupakan bagian dari hikmah praktikal sikap dan tindakan manusia?
Kedua, kita umpamakan makna tersebut juga mencakup tindakan, lalu apakah mungkin kezaliman itu muncul dari sisi Tuhan swt? Kita tidak melihatnya dari segi mustahil atau tidaknya kezaliman yang muncul dari dzat-Nya, atau dari segi baik dan buruk adalah sebuah pemahaman hasil dari doktrin-doktrin syariat saja, atau tidak dari sudut pandang logika seperti yang diungkapkan Asy'ariyah, melainkan kita melihatnya dari segi makna sederhana bahwa keadilan adalah menjaga hak-hak orang lain dan kezaliman adalah merampas hak-hak orang lain.
Jelas bahwa ada istilah penting dan lebih penting atau istilah kepemilikan (hak) dalam hubungan antar manusia, dan segala bentuk pelanggaran terhadap kepentingan dan kepemilikan (hak) merupakan kezaliman. Lalu bagaimana dengan Tuhan swt? Sedangkan apapun yang dimiliki oleh makhluk berasal dari-Nya. Jika kita hubungkan antara kepemilikan (hak) manusia dengan kepemilikan (hak) Tuhan swt, tentunya kepemilikan (hak) manusia dibawah kapemilikan (hak) Tuhan swt, dan tidak sejarar (horizontal). Yang artinya, Tuhan swt tidak bersekutu dengan manusia dalam kepemilikan (hak), karena apapun yang manusia miliki, Tuhan swt tetap lebih berhak atasnya. Nah, kini kita kembali kepada makna keadilan dan kezaliman diatas, maka kezaliman tidak memiliki arti untuk Tuhan swt karena bukankah kezaliman adalah merampas atau pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, sedangkan kata "orang lain" (yang berarti selain-Nya) bagi Tuhan swt sudah tidak ada lagi. Hal tersebut karena apapun yang ada di alam semesta ini adalah milik-Nya, bahkan manusia itu sendiri, atau dengan bahasa filsafat, eksistensi selain Tuhan (mumkinun wujud) adalah bergantung pada eksistensi-Nya.
Lain halnya dengan pemahaman Asy'ariyah maupun Mu'tazilah, dalam mazhab Syiah makna global keadilan Tuhan swt tidak berdampak buruk terhadap Tauhid fil Af''al (ke-Esaan tindakan Tuhan) dan Ke-Esaan Tuhan swt. Syiah melihat keadilan dan independensi akal serta kebebasan manusia dalam berkehendak telah ditetapkan tanpa ada kontradiksi dengan ke-Esaan Tuhan swt, atau ikhtiar yang dimiliki manusia ketika melakukan tindakan dan tidak menempatkan manusia pada posisi sebagai sekutu Tuhan swt.
Dalam mazhab Syiah, masalah-masalah yang berhubungan dengan tauhid, kecenderungan didalamnya pun juga sepenuhnya berkisar tentang ketauhidan. Tauhid disini diartikan dengan kesatuan bukan ke-Esaan, yang artinya atribut atau sifat Tuhan itu menyatu dalam dzat-Nya, termasuk didalamnya keadilan Tuhan. Pandangan Syiah ini adalah jalan tengah dari dua pemikiran, Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Pada satu sisi Syiah menolak pandangan Asy'ariyah dan sependapat dengan Mu'tazilah dengan perbedaan bahwa Mu'tazilah menafikan sifat Tuhan, kemudian memposisikan Dzat-Nya sebagai pengganti sifat tersebut. Adapun Syiah meyakini kesatuan wujud antara sifat dan dzat-Nya, artinya tidak ada pemisahan antara sifat dan dzat Allah swt. Pada sisi lain, Syiah sependapat dengan Asy'ariyah dalam ke-Esaan Tindakan Tuhan swt, dengan perbedaan bahwa Syiah tidak menafikan hukum kausalitas dan sebab-akibat. Tidak seperti Asy'ariyah yang menafikan semua hukum kausalitas dan sebab-akibat dalam tindakan Tuhan swt, karena menurut mereka hal demikian merupakan satu bentuk dari keterkaitan dan pembebanan tugas atau tanggung jawab terhadap kehendak Tuhan swt yang bertentangan dengan kemuliaan dan kekuasaan mutlak Tuhan swt, seperti yang telah disebutkan diatas.
Disinilah pemahaman seseorang tentang Ta'tsirul Istiqlali (independent effect) akan sangat membantu menjelaskan masalah ini. Bahwa setelah semua makhluk hidup melewati tahap penciptaan, dalam setiap tindakan mereka, tidak lepas dari eksistensi Tuhan swt. Kemudian dampak yang ditimbulkan dari tindakan mereka tetap dibawah izin dan naungan kekuasaan Tuhan swt. Maka sebenarnya tidak ada satu wujud pun selain-Nya yang memiliki dampak independent dalam setiap tindakannya. Karena hanya Dialah yang mampu bertindak tanpa memerlukan wujud selain diri-Nya.
Kata keadilan biasa didefinisikan dalam dua tempat. Pertama, Keadilan sebagai lawan dari kezaliman yang akan berarti memberikan hak-hak orang lain. Definisi pertama ini tidak masuk dalam pembahasan ini. Karena ketika kita masuk dalam pembahasan keadilan Tuhan swt, tidak mungkin kezaliman muncul dari wujud Tuhan swt. Kedua, keadilan yang memiliki jangkauan yang lebih luas dari yang pertama, yaitu meletakkan segala sesuatu tepat pada tempatnya. Menurut definisi kedua ini, keadilan sama artinya dengan hikmah, keseimbangan, dan kesejajaran. Namun masalahnya adalah, apakah keadilan Tuhan swt juga berarti bahwa Tuhan swt menciptakan makhluk-makhluk-Nya sama tanpa ada perbedaan? Dan apakah hal ini sesuai dengan hikmah penciptaan?
Dapat kita bayangkan jika keadilan itu selalu menuntut kesamaan terutama dalam penciptaan, yang pada akhirnya akan menghacurkan ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, seperti yang disebutkan dalam al-Quran:
"Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya".( surat Al-Baqarah ayat 286)
Oleh karena itu, akal kita pun meyakini bahwa keadilan harus selalu sejalan dan sejajar dengan hikmah dan tidak membatasi makna keadilan pada kesamaan (equal) saja, karena hal tersebut justru akan berlawanan dengan yang telah didefinisikan.
Dengan alasan inilah, kehendak dan ikhtiar Tuhan swt dalam penciptaan selalu dalam ruang lingkup kemungkinan (possibility), sesuai dengan potensinya dan hikmah penciptaan itu sendiri. Dan salah satu hikmah penciptaan manusia adalah kebebasan yang diberikan Tuhan swt untuk memilih dan berkehendak sesuai kehendak manusia. Yang pada tahap berikutnya, manusia bisa menentukan jalan pilihannya untuk berbuat baik dan menuju pada kesempurnaan atau melakukan perbuatan buruk yang akan berakhir dengan kesesatan. Karena untuk menentukan pilihan yang tepat membutuhkan penafsiran pemahaman yang benar pula, maka keadilan Tuhan swt pun menuntut untuk menyediakan sebuah perangkat atau wasilah yang mampu membimbing dan menjaga manusia dalam mencapai tujuan penciptaan itu sendiri yaitu "kesempurnaan". Perangkat dan wasilah yang akan membimbing manusia menuju kesempurnaan yang sesuai dengan apa yang dikendaki oleh penciptanya, kemudian dinamakan dengan syariat. Didalam syariat inilah seluruh petunjuk, hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban yang akan membantu manusia untuk mencapai tujuan kesempurnaan perjalanannya menuju kekasihnya yang abadi.
Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
Pertama, bahwa makna istilah keadilan yang digunakan untuk manusia tidak sama dengan makna keadilan untuk Tuhan swt, dari segi hilangnya kemungkinan kezaliman yang muncul dari sisi Tuhan swt.
Pertama, bahwa makna istilah keadilan yang digunakan untuk manusia tidak sama dengan makna keadilan untuk Tuhan swt, dari segi hilangnya kemungkinan kezaliman yang muncul dari sisi Tuhan swt.
Kedua, bahwa makna universal keadilan Tuhan swt tidak menimbulkan dampak buruk terhadap pemahaman ke-Esaan eksistensi dan tindakan Tuhan swt.
Ketiga, keadilan Tuhan swt selalu berputar pada poros hikmah, termasuk dalam penciptaan manusia dimana salah satu bukti keadilan Tuhan swt adalah dengan memberikan syariat kepada manusia untuk membantu manusia meraih kesempurnaan penciptaannya.
Jawaban beberapa kritik atas keadilan Tuhan
Sebelum kita akhiri pembahasan ini, ada baiknya jika kita renungkan kembali beberapa jawaban dari kritik atas keadilan Tuhan swt:
1- Apakah perbedaan dalam penciptaan pada khususnya untuk manusia, sesuai dengan keadilan Tuhan swt? Jawabannya adalah, seperti yang telah kita sebutkan diatas, jika kita renungkan sedikit lebih dalam lagi, maka penyamarataan dalam penciptaan justru akan menimbulkan ketidakseimbangan dan kehancuran.
2- Apabila hikmah Tuhan swt menuntut untuk menciptakan manusia agar hidup di dunia ini, lalu mengapa pula ia harus mencabut nyawanya? Pertama, hidup dan mati adalah hukum alam dan berhubungan dengan hukum sebab dan akibat, juga merupakan kelaziman dalam pencptaan. Kedua, jika saja semua makhluk hidup tidak mati dan abadi, maka tidak ada kesempatan bagi generasai berikutnya untuk hidup di dunia ini. Ketiga, anggap saja bahwa semua makhluk hidup tidak akan mati, maka tidak berapa lama lagi bumi akan sangat sempit untuk mereka dan pada akhirnya karena tekanan hidup-yang pasti akan terjadi ketegangan didalamnya diakibatkan interaksi yang tidak seimbang-mereka akan mengharapkan kematian. Keempat, tujuan pokok pencpitaan manusia-menurut Tuhan swt-- adalah sampai pada kebahagiaan abadi dan tanpa batas, hal ini tidak akan pernah terwujud tanpa kematian.
3- Bagaimana keadilan Tuhan swt sesuai dengan kejadian-kejadian seperti bencana alam, penyakit, atau peritiwa sosial seperti kekejaman dan perang? Pertama, terjadinya bencana alam karena sesuai dengan reaksi terhadap sebab-sebab sebab alam, dan hal ini tetap dalam ruang lingkup hikmah --baik maknawi maupun materi--, karena kerugian yang ditimbulkan olehnya tidak lebih besar dari manfaatnya. Kedua, dengan terjadinya peristiwa ini, manusia lebih dituntut untuk mengkaji hikmah yang ada dibalik peristiwa ini, yang akan membantu manusia memahami hidup dengan benar.
4- Dimana keadilan Tuhan swt ketika Dia memberikan siksaan abadi untuk orang-orang yang melakukan dosa di dunia ini? Seperti halnya jika seseorang yang membutakan mata seseorang yang terjadi hanya dalam beberapa saat saja, namun akibatnya orang tersebut harus merasakannya seumur hidupnya. Begitu juga dengan dosa-dosa besar yang dilakukan seseorang di dunia ini, akan menyebabkan dirinya harus menerima siksaan abadi di akhirat nanti. Namun keadilan Tuhan swt juga memberikan manusia kesempatan utnuk memperbaikinya dengan jalan taubat. Maka jika ada harus ada siksaan abadi di akhirat nanti, sama sekali itdak bertentangan dengan hikmah ketuhanan YME, karena tentunnya orang tersebut melakukan dosa dengan kesadaran penuh akan hasil perbuatannya nanti.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar