Kausalitas

Hukum kausalitas merupakan salah satu kebenaran yang diakui dan disetujui manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap sesuatu memiliki sebab. Kausalitas termasuk di antara prinsip-prinsip yang niscaya lagi rasional. Karena, manusia mendapati di kedalaman wataknya suatu pendorong yang berupaya menjelaskan apa yang ditemuinya dengan mengungkapkan sebab-sebabnya. Dorongan tersebut ada secara fitri dalam watak manusia. bahkan ada pada beberapa jenis hewan. Hewan akan memperhatikan sumber gerak secara instinktif dan sebab gerak tersebut, kemudian akan mencari sumber suara untuk mengetahui sebabnya. Terkait dengan prinsip kausalitas dalam perspektif filsafat Islam, teks-teks agama telah memberikan porsi yang jelas terhadap prinsip tersebut.
Berikut adalah ayat-ayat yang dijadikan landasan untuk mengkaji masalah kausalitas, “Sesungguhnya segala sesuatu itu Kami ciptakan dengan ukuran.” (QS 54:49). “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. 25:2). “Dan segala sesuatu di sisi-Nya ada ukurannya” (QS. 13:7) Dari ayat-ayat ini dapat difahami terdapat sistem yang khusus dan urutan tertentu dalam praktik penciptaan. Kehendak Allah untuk mewujudkan adalah kehendak-Nya dalam menciptakan sistem-Nya itu sendiri. Dari sini lahirlah hukum sebab-akibat (kausalitas). Artinya adalah bahwa setiap akibat memiliki sebab yang khusus untuknya, dan setiap sebab memiliki akibat khusus pula. Tidak mungkin suatu akibat muncul dari suatu sebab yang mana saja, dan muncul akibat apa saja. Pada hakikatnya, setiap perwujudan menempati tempat tertentu dalam hukum sebab-akibat. Artinya, bahwa akibat harus dimiliki oleh suatu sebab tertentu yang selanjutnya menjadi sebab bagi sesuatu yang tertentu berikutnya. Inilah pengertian rnendalam dari ayat yang mulia tersebut di atas. Untuk menjelaskan persoalan ini, Mutahhari membagi hukum alam menjadi dua, yakni hukum vertikal (thawly) dan hukum horizontal („Arady).
A.1. Hukum Vertikal Berkelanjutan (Thawly) Maksud dari hukum vertikal berkelanjutan ialah hukum sebab-akibat dan urutan dalam menciptakan semua yang ada. Yakni, urutan dalam penciptaan oleh Allah yang dinisbatkan pada segala sesuatu dan yang muncul dari-Nya. Dalam hukum tersebut, Allah SWT menempatkan kedudukan-Nya sebagai Sumber segala yang ada, sedangkan para malaikat adalah pelaksana perintah-perintah-Nya. Di antara malaikat terdapat serangkaian tingkatan. Sebagian mereka menduduki posisi kepemimpinan dalam mengeluarkan perintah-perintah, dan sebagian lain sebagai pembantu. Mikail, misalnya, adalah malaikat yang bertanggung jawab terbadap pembagian rezeki dan Izrail adalah malaikat yang bertugas mencabut nyawa. Masing-masing malaikat tersebut memiliki malaikat-malaikat pembantu. Dengan begitu, setiap malaikat memiliki jabatan tertentu tugas khusus, “Dan tidak siapa pun dari kami (para makikat) melainkan untuknya satu kedudukan yang tertentu.” (QS 37:164). Kita tidak boleh lupa bahwa keterkaitan Allah dengan semua wujud adalah keterkaitan penciptaan. Kita tidak boleh menganalogikan sistem semua yang ada dan berbagai perangkatnya dengan sistem-sistem sosial yang tidak memiliki apa-apa selain nilai relatif yang telah sama-sama disepakati. Adapun sistem munculnya perintah-perintah dan ketaatan yang mengatur hubungan antara Allah dan malaikat adalah sistem yang memiliki esensi takwiniy (penciptaan) yang sejati, tidak relatif. Perintah Allah di sini bukan ucapan, melainkan penciptaan dan ketaatan malaikat. Ketika kita mengatakan bahwa suatu perintah telah diberikan kepada malaikat untuk melakukan perbuatan tertentu, maka artinya adalah bahwa malaikat-malaikat diciptakan sebagai sebab untuk suatu akibat tertentu, dan arti ketaatan mereka ialah kesebab-akibatan (kausalitas) takwiniy. Dengan demikian hukum ini disebut hukum takwiniy.
1Materi ini disarikan dari bagian kedua karya Murtadha Mutahhari yang berjudul Al-Adl Al-Ilahiy terbitan Al-Dar al-Islamiyyah li al-Nashr, Qum Iran, 1981.
Karenanya, Al-Quran sesekali menisbatkan pengaturan alam kepada Allah dan pada saat yang lain kepada malaikat. Sesekali Al-Quran mengatakan, ”Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (QS 32:5) dan pada kali lain mengatakan, ”Dan malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.” (QS 79:5). Terkadang Al-Quran menisbatkan pencabutan nyawa manusia kepada malaikat, pada saat yang lain kepada malaikat pencabut nyawa, dan pada kali yang lain lagi kepada Allah SWT. Begitu juga, sesekali wahyu
dinisbatkan kepada satu malaikat, seperti ayat, “Dibawa turun oleh ruh al-amin ke dalam hatimu (Muhammad)”, dan yang dimaksud ialah Jibril; dan pada kali yang lain dinisbatkan kepada Zat Allah SWT, “Sesungguhnya telah Kami turunkan Al-Quran kepadamu (hai Muhammad} dengan ber-angsur-angsur.” (QS 76:23).
Semua ini merumuskan bahwa perbuatan Allah berjalan di atas hukum dan urutan tertentu, dan bahwasanya kehendak Allah dalam menciptakan dan mengatur alam adalah sama dengan kehendak-Nya dalam menciptakan hukum yang ada. Tiadanya hukum tertentu di antara semua yang ada mengharuskan sesuatu yang manapun dapat menjadi sumber bagi sesuatu yang lain, juga mengharuskan bersumbernya suatu maujud dari suatu maujud yang lain. Misalnya, adalah sangat mungkin terjadi ledakan dahsyat dari kekuatan yang kecil, lalu menimbulkan energi raksasa sebagai akibat dari ledakan tersebut. Juga, adalah mungkin bahwa efek cahaya lilin sama dengan efek cahaya matahari; atau akibat menempati posisi sebab, dan sebaliknya. Kalau begitu, maka bisa jadi Allah akan menjadi makhluk dan makhluk menjadi Allah. Tidak, pada dasamya wajibnya Wajib Al-Wujud (Allah) dan mungkinnya mumkin al-wujud (makhluk) masing-masing bersifat esensial bagi dzat yang padanya terkait. Artinya, adalah suatu kekeliruan apabila kita meyakini bahwa yang mumkin al-wujud itu bisa menjadi Wajib Al-Wujud, dan Wajib Al-Wujud bisa saja menjadi mumkin al-wujud, tetapi secara kebetulan atau dengan sebab eksternal yang satu menjadi Wajib Al-Wujud dan yang lain menjadi mumkin al-wujud. Tidak, mumkin al-wujud harus wajib al-imkan (wajib bersifat mungkin), dan Wajib Al-Wujud harus wajib al-wujub (wajib memiliki sifat wajib), yaitu bahwa sesuatu yang bersifat mungkin adanya tidak bisa terlepas dan kemungkinannya, dan bahwa sesuatu yang wajib adanya tidak bisa dipisahkan dari wajibnya.
Begitulah, maka terjadilah tingkatan kemungkinan-kemungkinan. Setiap tingkatan kemungkinan, dan pada derajat wujud mana pun ia berada, seperti itulah keadaannya. Misalnya, malaikat yang ditugaskan untuk memberi rezeki atau malaikat yang diperintah untuk mencabut nyawa. Kedudukan seperti ini adalah sesuatu yang melekat pada kualitas dan tingkat wujud yang dianugerahkan kepadanya. Artinya, adakah tidak mungkin menempatkan, sebagai pengganti, sesuatu tertentu pada tempat Mikail, semut menempati posisi Izrail, dan manusia menempati posisi Jibril.
Asumsi yang mengatakan tentang adanya kemungkinan bagi yang sempurna menempati posisi yang cacat dan sebaliknya, adalah benar-benar suatu kesalahan. Kesalahan tersebut terjadi sebagai akibat tiadanya penalaran yang benar mengenai pentingnya hubungan-hubungan esensial antara semua yang ada dan tingkatan-tingkatannya dalam mengada, dan analoginya terhadap tingkatan-tingkatan relatif yang ada pada lingkup sosial. Seluruh kerancuan tersebut terjadi karena Allah dianalogikan dengan manusia, dan hukum esensial yang dimiliki oleh alam dianalogikan dengan hukum relatif yang ada pada masyarakat manusia. Individu-individu manusia, ketika mereka melihat ke muka, berpendapat bahwa tidaklah ada halangan bila seseorang yang menjadi pemimpin menjadi orang yang dipimpin, dan sebaliknya. Mereka menghendaki tidak adanya halangan bila binatang menempati posisi manusia dan sebaliknya. Mereka lupa bahwa hal seperti itu merupakan sesuatu yang mustahil. Sebab, penyebab yang terdapat pada suatu sebab bagi suatu akibat tertentu, dan keakibatan suatu akibat untuk sebab tertentu bukanlah dua hal yang relatif, melainkan dua hal yang esensial. Apabila A adalah sebab untuk B, maka demi tercapainya kekhasan pada diri A tersebut dijadikanlah ia sebagai sebab untuk B. Begitu juga B, apabila ia menjadi akibat dari A, maka untuk kekhasan pada diri B, dijadikanlah ia sebagai akibat untuk A. Kekhasan seperti itu tidak lain hanyalah persoalan cara mengada. Karenanya, kekhasan seperti ini merupakan persoalan yang realistis, bukan persoalan yang relatif; yang bersifat aksidental dan tidak bisa berubah. Keterkaitan sebab dengan akibatnya dan akibat dengan sebabnya bersumber dari hakikat sebab dan hakikat akibat. Akibat, dengan kesempurnaan dirinya, berkaitan dengan sebabnya, dan dengan kesempurnaan dirinya pula sebab merupakan sumber terjadinya akibat. Sekarang, menjadi jelas bahwa tingkatan suatu wujud yang mana pun adalah hakikatnya itu sendiri, tidak bisa yang lain. Persis seperti urutan angka.
Adalah mungkin bagi kita untuk mengakhirkan atau mendahulukan urutan kendaraan, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan terhadap urutan angka. Urutan angka 5 jatuh setelah angka 4, dan tidak mungkin urutannya sebelum angka tersebut. Urutan angka sebelum angka 4 tidak ada yang lain selain angka 3, sehingga kalaulah kita menyebutnya angka 5, maka ketika itu kita hanya mengubah namanya. Mustahil kita dapat mengubah realitas dan hakikatnya. Dengan demikian, alam ini tegak atas dasar hukum esensial yang kokoh, dan apa yang dikatakan oleh Al-Quran Al-Karim dengan lidah malaikat, “Dan tidak satu pun dari kami melainkan memiliki kedudukan yang tertentu.” (QS 37:164), adalah benar dalam kaitannya dengan semua yang ada (mawjudat). Setiap sesuatu memiliki posisi tertentu. Mengasumsikan sesuatu tidak pada posisi yang menjadi miliknya adalah sama dengan melepaskan sesuatu tersebut dari hakikat dirinya, dan itu jelas tidak mungkin terjadi.
A.2. Hukum Horisontal (‘Aradhiy)
Selain hukum vertikal (thawliy) yang menentukan urutan semua yang ada dari segi tindakan dan penciptaan, maka alam – khususnya yang bersifat fisik — diatur oleh hukum lain yang menentukan syarat-syarat material untuk menciptakan fenomena tertentu. Inilah yang kita sebut hukum ‘aradhiy.
Berdasarkan hukum ini, sejarah alam memperoleh sifat yang pasti dan tertentu. Setiap kejadian terjadi pada ruang dan waktu yang khusus untuknya, dan setiap waktu atau ruang tertentu adalah merupakan kondisi untuk kejadian-kejadian yang terklasifikasikan. Sewaktu kita bertanya-tanya dan ragu mengenai salah satu fenomena di antara berbagai fenomena, maka lazimnya kita hanya memusatkan diri pada fenomenanya saja, dan tidak mencoba memahami ruang dan posisi fenomena tersebut di dalam sistem wujud. Padahal suatu fenomena, baik atau buruk, merupakan akibat dari serangkaian sebab khusus yang berkaitan dengan syarat-syarat tertentu. Kebakaran tidak akan terjadi tanpa ada kaitannya dengan faktor-faktor dan kejadian-kejadian yang lain, dan pencegahan untuk tidak terjadinya kebakaran adalah suatu hal mustahil terjadi bila dipisahkan dari rangkaian sebab dan faktor material maupun spiritual. Setiap kejadian di alam ini tidaklah berdiri sendiri, dan tidak terpisahkan dari kejadian-kejadian sebelumnya. Setiap bagian dari alam ini berhubungan dan berkaitan dengan bagian-bagian lainnya. Hubungan ini mencakup seluruh aspek alam dan menciptakan keterkaitan menyeluruh di antara berbagai dimensi wujud.
Kebijakan Allah (hikmah Ilahiyyah} sebagian besar bersandar pada prinsip keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya. Yakni prinsip kesatuan yang benar-benar dimiliki oleh alam, dan kesatuan sistem yang mencakupnya. Prinsip keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya terjadi pada kebijakan Allah atas dasar konsep yang lebih dalam, yaitu “bahwa alam tidak dapat difragmentasikan”.
Dalam filsafat dikatakan, “Setiap kejadian didahului oleh materi dan waktu”. Artinya, setiap fenomena pada dasamya hanya terjadi pada lingkup waktu khusus dan ruang tertentu. Tidak mungkin seluruh ruang dan waktu itu adalah sama dan tanpa suatu dampak dalam hubungannya dengan suatu kejadian tertentu. Pengamatan kita terhadap kehidupan mendukung pemyataan ini. Apabila terjadi kebakaran di suatu tempat, maka kebakaran ini terjadi dalam lingkup ruang, waktu dan materi tertentu. Adanya kebakaran pasti berkaitan dengan syarat-syarat khusus yang menentukan ruang dan waktu terjadinya. Syarat-syarat ini pada gilirannya memiliki ruang dan waktu tertentu yang berkaitan dengan sebab dan faktor-faktor tertentu pula. Kalau kita lanjutkan perjalanan kita, pasti kita akan sampai pada kesimpulan bahwa keberurutannya berbagai peristiwa menyerupai rangkaian mata-rantai yang berhubungan satu sama lain. Setiap kejadian berkaitan dengan kejadian yang ada sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian, segala sesuatu itu berkaitan dengan masa lalu dan masa yang akan datang, dan keterkaitan tersebut tidak memberi peluang kepada kita kecuali memandangnya sebagai ikatan yang azali dan abadi. Apabila kita dalami lebih lanjut, maka di dalam fenomena yang terjadi pada satu aksidensi dan satu waktu, akan kita temukan adanya ikatan dan hubungan. Dengan pandangan sepintas terhadap seorang penambal permadani, kemudian kita memperhatikan seorang dokter yang melakukan pembedahan terhadap pasiennya, maka kita tidak menemukan — pada awalnya — adanya suatu keterkaitan antara kedua pelaku tersebut. Tetapi, apabila kita perhatikan lebih saksama, niscaya akan kita temukan, misalnya, bahwa kebakaran telah menyebabkan terbakarnya permadani dan pasien tersebut. Ketika itu yakinlah kita bahwa pembedahan pasien dan penambalan permadani tersebut bermula dari satu kejadian. Sebab, kalau tidak terjadi satu kejadian (kebakaran), maka dua orang tersebut (penambal dan dokter) tidak akan terdorong untuk melakukan pekerjaannya masing-masing.
Perbuatan setiap orang yang bersumber dari satu aktivitas, berkaitan dengan adanya aktivitas dalam ruang dan waktu tertentu, dan pada gilirannya setiap perbuatan mereka saling berkaitan dengan perbuatan yang lainnya. Peristiwa terpisahnya bumi dari matahari dipandang sebagai cikal bakal gerakan-gerakan yang terjadi di bumi. Kalau sekiranya keterpisahan tersebut tidak terjadi, niscaya tidak terjadi gerakan-gerakan di bumi. Dengan demikian, kejadian tersebut merupakan sebab terjadinya kejadian-kejadian lain yang ada sesudahnya. Dalam filsafat terdapat dua terminologi: wajib berdasarkan analogi, dan kemungkinan berdasarkan analogi.
Sewaktu kita menganalogikan suatu kejadian kepada kejadian yang lain, maka apabila kejadian yang kedua merupakan kemestian bagi kejadian yang pertama, kita akan mengatakan bahwa kejadian kedua dalam hubungannya dengan kejadian yang pertama adalah “wajib berdasarkan analogi.” Tetapi, apabila ada atau tidaknya kejadian yang kedua sama-sama mungkin sewaktu diasumsikan adanya kejadian yang pertama, maka kita akan mengatakan bahwa kejadian yang kedua, dalam hubungannya dengan kejadian yang pertama, adalah bersifat “mungkin berdasarkan analogi.”
Pandangan sepintas akan memberi isyarat kepada manusia bahwa di antara berbagai kejadian ada yang “wajib berdasarkan analogi” dan ada yang “mungkin berdasarkan analogi”. Tetapi, pandangan yang lebih cermat akan memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa yang “wajib berdasarkan analogi” itu
adalah wajib yang menguasai seluruh penjuru alam, dan bahwa yang “mungkin berdasarkan analogi” tidaklah memiliki suatu perealisasi eksternal. Sebab, setiap kejadian akan kembali kepada sebab dasar. Sepanjang keharusan berlaku pada sebab dengan akibatnya, maka tidak boleh tidak keharusan tersebut mesti berlaku pada semua kejadian.
Prinsip-prinsip yang menjadi sandaran keterkaitan yang bersifat kemestian umum ini ialah sebagai berikut: (1) hukum sebab-akibat umum, (2) keharusan adanya sebab-akibat, (3) relevansi sebab-akibat, dan (4) pada dasarnya alam dan yang ada ini benar-benar berujung pada sebabnya semua akibat.
Prinsip pertama adalah prinsip yang tegas dan dipandang sebagai dasar yang di atasnya ditegakkan bangunan seluruh ilmu pengetahuan, dan penolakan terhadapnya otomatis menyebabkan penolakan terhadap segala sesuatu, dan akan tenggelam dalam sofisme.
Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menjelaskan bahwa akibat, apabila ada, maka tidak cukup hanya dikatakan bahwa sebab itu ada, bahkan adanya sebab tersebut adalah sesuatu yang sudah seharusnya, dan sepanjang munculnya akibat dari sebabnya itu tidak merupakan keharusan, maka terjadinya akibat adalah sesuatu yang mustahil. Begitu juga apabila terjadi sebab secara sempuma untuk sesuatu yang tertentu, maka adanya akibat merupakan sesuatu yang wajib, dan ketiadaannya merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sesuatu itu, bila benar-benar ada, maka keberadaannya merupakan suatu keharusan, dan bila sesuatu itu tidak ada, maka ketidakadaannya itu merupakan suatu keharusan pula.
Apabila kita beralih kepada prinsip ketiga, maka kita temukan ia sebagai prinsip yang menentukan jenis keterkaitan di antara sebab dan akibat, dan memberi kesimpulan bahwa suatu sebab tidak akan dapat melahirkan akibat lain selain akibatnya sendiri, dan bahwasanya suatu akibat tidak mungkin muncul selain dari sebabnya.
Dari ketiga prinsip ini kita bisa menyimpulkan bahwa alam semesta ini mempunyai sistem yang pasti dan tidak dapat diubah. Dengan menambahkan prinsip keempat, yakni prinsip “kesatuan sumber” (tawhid al-mabda’) kita dapat menyimpulkan adanya kaitan yang meyakinkan dan umum di antara setiap kejadian alam.
A.3. Sunnatullah
Apa yang disebut oleh filsafat dengan “hukum alam” dan “hukum sebab-akibat”, oleh agama (Islam) disebut dengan “sunnatullah”. Dalam berbagai ayat Al-Quran disebutkan, “Sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan perubahan dalam sunnah Allah.” Artinya adalah bahwa perbuatan Allah memiliki cara khusus dan tetap yang tidak dapat diubah. Pengertian ini ditegaskan kembali oleh Allah pada Surah Fathir ayat 43, “Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan dalam sunnah Allah. Dan sekali-kali tidak (pula) akan kamu temui penyimpangan pada sunnah Allah itu.” Maksudnya adalah bahwa sunnatullah tidak akan berubah menjadi sunnah yang lain sebagaimana dihapuskannya suatu hukum positif dengan hukum positif yang lain. Sunnatullah tidak akan berubah sebagaimana berubahnya hukum-hukum yang relatif yang kepadanya dapat ditambahkan atau dikurangi sesuatu, kemudian bagian tersebut direvisi tanpa harus menghapuskan prinsip hukum tersebut. Sungguh kalimat seperti itu merupakan kalimat-kalimat yang membingungkan dari sebuah buku undang-undang yang membingungkan pula. Adapun Al-Quran pada dasamya adalah pembimbing ilmu pengetahuan dan sahabat orang-orang yang bertakwa. Akal raksasa para filosof telah diperas bertahun-tahun lamanya untuk sampai pada kesimpulan hukum sebab-akibat umum yang mengatur alam, kemudian mereka tertipu, menepuk dada dan sombong karena telah menemukan rahasia alam dan mampu menyingkap hukum yang penting. Mereka tidak tahu bahwa Al-Quran telah mendahuluinya dengan ungkapan yang dalam dan tegas, “Sungguh kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”. Siapa yang dapat memberikan ungkapan yang lebih tegas dari ungkapan Al-Quran ini? Kalimat mana lagi yang lebih singkat dan padat ketimbang kalimat, “Dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”? Al-Quran tidak saja menyebutkan bahwa di alam ini terdapat hukum-hukum dan sunnah-sunnah yang bersifat universal, melainkan pada kesempatan yang lain juga menetapkan sebagian dari sunnah-sunnah tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri mengubah nasib mereka.” (QS 13:11). Ayat ini menjelaskan sebab kemajuan dan kemunduran suatu kaum. Suatu kaum yang sedang berada pada kondisi kemunduran, mustahil akan mengalami kemajuan apabila mereka tidak menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran diri mereka sendiri. Begitu juga kaum yang sudah maju, mustahil mereka akan kembali menjadi terbelakang apabila tidak mengerjakan faktor-faktor yang menyebabkan keterbelakangan mereka. Kita menderita dan berteriak dengan suara lantang, “Mengapa Allah membiarkan sekelompok kecil orang Yahudi yang menjadi polisi Amerika untuk menguasai 700 juta orang Islam dalam hal pemikiran, politik, ekonomi dan militer? Mengapa 100 juta orang Islam bangsa Arab kalah pada perang tanggal 5 Juni? Mengapa Allah tidak memberikan kemenangan kepada kaum Muslim? Mengapa Allah tidak
menundukkan hukum-hukum alam demi kemaslahatan kaum Muslim”? Kita marah, berontak, kerugian datang bertubi-tubi, kurang tidur, menderita, dan kehidupan kita amat sulit, lalu kita berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya, tetapi mengapa Allah tidak mengabulkan permohonan kita?” Al-Quran menjawab, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang mengubah nasib mereka (QS 13:11). Allah tidak akan mengubah hukum-hukum-Nya, tetapi kitalah yang harus mengubah diri kita sendiri. Kita sudah sekian lama tenggelam dalam kejahilan, terperosok ke dalam dekadensi moral, tidak pemah berupaya menjalin kesatuan dan persatuan, lalu dengan kenyataan seperti itu kita memohon kepada Allah agar Dia menolong dan membela kita. Dengan usaha kecil, kita menuntut imbalan besar. Kita telah menjadikan kedustaan dan penyelewengan sebagai cara hidup kita, dan berkhayal sebagai orang yang memiliki nilai-nilai utama, lalu dalam keadaan seperti itu kita ingin menjadi pemimpin dunia. Ini adalah suatu hal yang mustahil.
Kitab-kitab samawi yang terdahulu –sewaktu menyebutkan orang-orang Yahudi, yaitu kaum yang paling banyak memiliki nabi, karena mereka sangat membutuhkan para pendidik untuk melenyapkan penyelewengan dan kejahatan yang berkembang di tengah-tengah mereka– menegaskan adanya dua keruntuhan sosial dan memberitakan adanya dua perubahan dan dua revolusi. Berita tersebut benar-benar terjadi. Al-Quran memberitakannya dan menyebutkan kejadiannya dalam sejarah bangsa Yahudi. Nubuwah (isyarat langit) ini menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi pasti akan mengalami kehancuran di bumi sebanyak dua kali, dan bahwa Allah benar-benar akan menghancurkan mereka pada kedua kejadian tersebut. Selanjutnya Al-Quran menyebutkan suatu kaidah umum yang singkatnya adalah bahwa kerusakan (fasad) merupakan nengantar kekalahan dan nasib buruk, dan bahwasanya perbaikan (tajdid ishlahiy) dalam pemikiran akan diikuti dengan perbaikan pada rahmat Allah. Mari kita dengarkan firman Allah ini:
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, sesungguhnya kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi ini sebanyak dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman untuk (kejahatan) pertama dari kedua {kejahatan) itu, Kami datangkan kepada kamu harnba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepada kamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri; dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu adalah untuk dirimu sendiri; dan apabila datang saat hukuman untuk (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang lain) untuk menyuramkan muka kamu dan mereka akan masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali yang pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-(Nya) kepadamu. Dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan) niscaya Kami kembali [menyiksamu), dan Kami jadikan neraka Jahannam sebagai penjara untuk orang-orang yang tidak beriman (QS 17:4-8).
“Sesungguhnya kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi” maksudnya ialah bahwa kamu akan memaksakan kehendakmu terhadap manusia lain dan dengan melanggar hak-hak mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para kolonialis terhadap bangsa jajahannya. “Hai Bani Israil, sesungguhnya kalian berbuat kerusakan di muka bumi ini sebanyak dua kali, dan niscaya Kami pun akan menyiksa kalian sebanyak dua kali juga; dan jika kalian kembali (berbuat jahat) niscaya Kami pun akan kembali menyiksa kalian.” Maksudnya, sekiranya kalian berbuat kerusakan di muka bumi sebanyak seratus kali, niscaya Kami pun akan menyiksa kalian sebanyak seratus kali, dan sekiranya kalian melakukan kebaikan, niscaya Kami pun akan mengubah keadaan kalian. Ayat di atas pada dasamya merupakan penjabaran yang indah terhadap ayat, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang mengubah nasib mereka (QS 13:11).
A.4. Apakah Sunnatullah sama dengan Hukum Positif ?
Hingga uraian yang telah kita ketahui pada bagian ini, kita menyimpulkan bahwa fenomena alam ini diatur oleh serangkaian hukum-hukum/sunnah yang tetap dan tidak berubah. Dengan kata lain, bahwa Allah SWT telah menjadikan kehendak alam ini sebagai cara tertentu yang suatu kejadian alam tidak mungkin terjadi di luar cara tersebut.
Sekarang kita bertanya: Apakah hukum/sunnah? Apakah hukum dan sunnatullah itu seperti hukum-hukum positif buatan manusia, keharusan-keharusan yang bersifat pemikiran, dan konvensi-konvensi sosial? Atau ia merupakan ciptaan istimewa yang diciptakan oleh Allah SWT? Atau bukan yang ini dan bukan yang itu dan masing-masing tidak dapat dibenarkan sebagai hukum Tuhan?
‘Ala kulli hal, apakah mungkin Allah tidak menciptakan sunnah tersebut, atau tidak menjadikannya sebagai hukum yang berlaku atas objeknya? Mengapa hukum dan sunnatullah tidak dapat berubah?
Jawabnya adalah bahwa hukum bukanlah sesuatu yang terpisah yang padanya dikaitkan praktik
penciptaan, melainkan konsep universal yang ditarik oleh pikiran yang tidak memiliki entitas luar tersendiri. Dengan demikian, yang ada di luar hanyalah hukum sebab-akibat, dan ketika derajat wujud dan pikiran mencerap sesuatu yang ada di luar, berarti ia menarik suatu hukum yang universal. Dengan begitu, wujud itu memiliki tingkatan-tingkatan dan masing-masing tingkatan memiliki posisi yang tetap, dan tidak mungkin sebab dari sesuatu itu akan terlepas dari posisinya sebagai sebab dari sesuatu yang lain. Begitu juga tidak mungkin suatu akibat akan terlepas dari posisinya sebagai akibat dari sesuatu yang lain. Inilah pengertian yang saya ungkapkan dengan kalimat bahwa alam memiliki hukum. Jadi, hukum bukanlah sesuatu yang relatif, melainkan sesuatu yang ditarik dari hakikat sesuatu yang bersifat ekstemal, yang karenanya ia tidak dapat diubah dan diganti.
A.5. Eksepsi-Eksepsi
Apakah ada eksepsi (pengecualian) dalam hukum alam? Apakah mukjizat dan hal-hal yang menyimpang dari kebiasaan dapat dipandang sebagai persoalan yang merusak sunnatullah? Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah “tidak”. Tidak ada pengecualian dalam hukum alam, dan hal-hal yang dipandang seperti bertentangan dengan kebiasaan tidaklah merusak hukum-hukum tersebut. Apabila kita perhatikan perubahan pada hukum alam, maka perubahan tersebut benar-benar merupakan akibat yang ditimbulkan oleh berubahnya syarat-syarat. Adalah jelas bahwa suatu sunnah (hukum alam) akan berlaku pada lingkup syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut berubah, maka yang akan berlaku adalah sunnah (hukum alam) yang lain, dan perubahan ini terikat pula oleh syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, hukum alam itu berubah menurut hukum itu sendiri, tidak dalam pengertian bahwa suatu hukum itu dihapuskan begitu saja lantas diganti dengan hukum yang lain, tetapi dengan pengertian bahwa begitu terjadi perubahan dalam syarat-syarat pada hukum tertentu, maka muncullah syarat-syarat baru yang memberikan jalan-jalan bagi munculnya hukum baru, sehingga yang berlaku adalah hukum alam yang baru ini. Atas dasar itulah, maka alam tidak diatur kecuali oleh hukum yang tetap dan tak berubah.
Apabila kita melihat ada orang mati yang bisa hidup kembali karena suatu mukjizat, maka kejadian tersebut, pada dasamya, memiliki hukum yang mengatumya. Apabila seorang manusia dilahirkan tanpa seorang ayah, sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Isa, maka kejadian tersebut pada dasarnya tidaklah membatalkan sunnatullah, juga tidak membatalkan hukum alam. Perlu diketahui bahwa manusia tidaklah mengetahui seluruh hukum alam. Karena itu, ia tidak berhak, apabila ia melihat suatu kejadian yang tampaknya bertentangan dengan hukum yang ia ketahui, untuk menganggapnya sebagai kejadian yang bertentangan dengan hukum alam dan sebagai pengecualian darinya, serta membatalkan hukum sebab-akibat. Pada banyak bukti, kita melihat bahwa sesuatu yang dipandang sebagai hukum sebenarnya hanyalah merupakan sisi luar hukum tersebut, dan bukan hukum itu sendiri. Misalnya, kita membayangkan bahwa hukum wujud itu mengharuskan lahirnya manusia itu selalu dari percampuran antara seorang ayah dengan seorang ibu. Padahal pada hakikataya ia hanya merupakan sisi luar dari hukum alam itu, dan bukan hukum alam yang sebenamya. Dengan begitu, maka kelahiran Nabi Isa tidaklah membatalkan sunnatullah, melainkan membatalkan pandangan sisi luar mengenai sunnah.
Pembicaraan kita tentang hukum-hukum alam yang sebenamya dan yang tidak dapat ditentang adalah satu persoalan tersendiri, sedangkan pembahasan kita tentang hukum yang kita ketahui, apakah ia merupakan hukum yang sebenamya atau hanya sisi luarnya saja, adalah sesuatu yang lain lagi. Mukjizat tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang membatalkan hukum alam atau supra-hukum alam. Kaum materialis telah terjebak pada kesalah-pahaman tersebut, sehingga mereka mengasumsikan bahwa sebagian hukum fisika yang ditemukan oleh sains modern sebagai hukum alam yang sebenamya dan dapat ditentukan, kemudian mereka berkhayal bahwa mukjizat-mukjizat itu merupakan perkara yang membatalkan hukum alam, sehingga mereka menolaknya. Sedangkan kita mengatakan bahwa hukum alam yang telah diungkapkan oleh pengetahuan modem adalah hukum yang terikat oleh syarat-syarat tertentu, dan hanya benar sebatas syarat-syarat tersebut. Sedangkan mengenai praktik terjadinya hal-hal yang menyalahi kebiasaan yang terjadi pada diri nabi atau seorang wali, maka syarat-syarat tersebut menjadi berubah ketika berada di tangannya karena keutamaan hubungan jiwanya yang suci dengan kekuasaan Allah yang tak terhingga. Dengan kata lain, faktor yang baru telah memasuki medan, yaitu faktor kehendak yang sangat kuat, yang darinya muncul syarat-syarat baru tersebut. Pada kondisi seperti ini, maka hukum alam yang baru itulah yang berlaku. Termasuk kategori ini adalah persoalan pengaruh doa dan sedekah dalam menolak bencana. Dalam sebuah hadis dari nabi Muhammad dikatakan bahwa beliau ditanya, “Bagaimana doa dan obat dapat berpengaruh, padahal setiap kejadian di alam ini hanya terjadi dengan takdir Allah dan dengan ketentuan-Nya yang pasti”? Nabi. menjawab: “Doa juga termasuk ketentuan dan takdir Allah.
Dalam riwayat lain, dari Imam ‘Ali dikatakan bahwa beliau sedang duduk di bawah sebuah tembok, tiba-tiba beliau menyadari bahvva dinding tersebut sudah condong dan akan segera roboh, maka beliau segera menjauh darinya. Ketika itu salah seorang yang hadir di situ bertanya dengan mengatakan, “Apakah dari ketentuan Allah Tuan lari wahai ‘Ali? Yaitu apabila Allah menghendaki kematian Tuan, baik Tuan menghindar atau tidak dari tembok yang diduga akan roboh, toh kematian Tuan pasti akan terjadi. Kalaulah Allah SWT menghendaki Tuan tetap hidup, maka dalam keadaan apa pun Dia akan dapat memelihara Tuan. Dengan demikian, apakah maksud Tuan menghindari dari tembok tersebut?” ‘Ali a.s. menjawab, “Aku menghindar dari ketentuan Allah untuk beralih kepada takdirnya.”
Pengertian kalimat ini ialah bahwa suatu kejadian tidak akan terjadi di alam ini kecuali berdasarkan takdir Allah dan ketentuan-Nya. Apabila seseorang akan mendapatkan bahaya kemudian ia celaka karenanya, maka itu pun dikarenakan hukum Allah dan ketentuannya. Apabila seseorang menghindar dari suatu bahaya dan menyelamatkan dirinya, maka hal itu pun merupakan hukum dan takdir Allah. Apabila seseorang menceburkan diri ke dalam laut yang dipenuhi dengan bakteri, kemudian ia sakit, maka hal itu pun merupakan takdir Allah. Begitu juga apabila seseorang meminum obat dan ia sembuh dari penyakitnya adalah juga termasuk hukum Allah. Karenanya, apabila seseorang menghindar dari sebuah tembok yang hampir roboh, maka hal itu tidak berarti ia menentang ketentuan Allah dan takdir-Nya. Sebab, dalam syarat-syarat ini berlaku hukum Allah bahwa dengan tindakan seperti itu seseorang akan selamat dari kematian, dan apabila ia tetap saja berada di bawah tembok tersebut kemudian ia tertimpa olehnya sehingga mati, maka hal itu pun termasuk hukum kehidupan yang tidak pemah berubah.
Al-Quran menjelaskan hakikat seperti itu dengan sangat indah, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar. Dan Dia akan memberinya rezeki dengan cara yang tidak disangka-sangka olehnya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah,niscaya Allah akan mencukupi {keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah itu penyampai urusan-Nya; sesungguhnya Allah telah menciptakan ketentuan untuk segala sesuatu.” (QS 45:2-3).
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan hukum yang berlaku pada setiap hukum, yaitu hukum ketakwaan dan tawakal. Dari ayat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa sikap tawakal pasti akan diikuti oleh bantuan Allah. Setiap orang yang bertawakal kepada Allah dengan bentuk tawakal yang sejati, niscaya bantuan Allah selamanya akan menyertainya. Dukungan dan bantuan Allah itu sendiri pada dasamya adalah sunnah dan hukum yang membentuk serangkaian sebab-akibat yang padanya tercapai tujuan secara meyakinkan. Inilah hukum yang mencakup seluruh hukum yang lain. Pada saat yang sama, dan supaya manusia tidak lupa bahwa perbuatan Allah itu memiliki hukum dan sistem, maka Allah SWT menjelaskan, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan ketentuan untuk segala sesuatu.” Juga menjelaskan dengan firman-Nya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar.” Dengan demikian, perbuatan Allah tidaklah terlepas dari hukum alam, juga tidak terlepas dari wasilah/sarana, walaupun wasilah tersebut asing dan tidak dapat dipastikan, tetapi “dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
A.6. Qadha’, Qadar, dan Persoalan Determinasi (Jabr)
Apabila kita perhatikan bahwa pada dasamya takdir Allah itu adalah adanya hukum dan sunnah-Nya di alam ini, maka kemusykilan mengenai persoalan jabr (keterpaksaan), dari segi keyakinan terhadap qadha’ dan qadar, dengan sendirinya dapat dipecahkan. Persoalan ini telah saya bahas secara panjang lebar pada buku saya, At-Insan wa Al-Mashir. Untuk yang ingin mendalaminya silakan merujuk kepada buku tersebut. Di sini saya hanya ingin menyinggungnya secara ringkas. Kemusykilan tersebut pada dasamya lahir dari imajinasi sebagian orang mengenai takdir Allah sebagai kehendak Allah secara langsung terhadap sesuatu dalam bentuk terlepas dari hukum alam.
Dinisbatkan kepada Khayyam, ia mengatakan:
Aku adalah peminum khamar,
dan setiap orang seperti aku adalah mudah untuk meminumnya.
Aku meminum khamar sesungguhnya sudah diketahui oleh Allah sejak azali, dan seandainya aku tidak meminumnya,
niscaya ilmu Allah berubah menjadi ketidaktahuan.
Pembuat syair tersebut berkhayal bahwa kehendak manusia, dalam hubungannya dengan suatu perbuatan, adalah berlawanan dengan kehendak Allah dan menjadi penentangnya. Karenanya ia berkeyakinan bahwa, apabila manusia tidak mau minum khamar, maka hal itu pasti tidak dapat dilakukannya. Sebab, Allah menghendakinya meminum khamar. Sepanjang kehendak Allah dan ilmu-Nya tidak dapat ditolak, maka manusia — mau atau tidak — harus meminum khamar.
Keyakinan seperti itu jelas merupakan keyakinan yang tak berguna dan lahir dari kepandiran.
Karenanya, sulit bagi kita untuk membenarkan pendapat di atas sebagai pendapat yang bersumber dari Khayyam Sang Filosof. Para filosof dan orang-orang yang segolongan dengan mereka, mengetahui bahwa Allah tidak berkehendak langsung terhadap perbuatan minum dan tidak minum khamar, tetapi Allah menciptakan hukum untuk alam yang tidak mungkin suatu perbuatan dapat dilaksanakan bertentangan dengannya. Sebagaimana halnya dengan kejadian kejadian alam yang tidak akan terjadi tanpa sebab-sebab alamiah, maka perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia pun tidak akan terjadi tanpa kehendak manusia dan tanpa ikhtiarnya. Dengan demikian, hukum Allah yang berkaitan dengan manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kehendak dan ikhtiar. Manusialah yang memilih perbuatan baik atau perbuatan buruk. Karenanya ikhtiar merupakan salah satu tonggak eksistensi manusia, dan mustahil ada manusia yang tidak memiliki ikhtiar. Asumsi adanya manusia yang tidak memiliki ikhtiar adalah asumsi khayali dan tidak realistis. Kalau ia bukan manusia, maka ia tidak terkena kewajiban (ghayru mukallaf), persis halnya seekor sapi atau seekor keledai yang meminum khamar. Sebagaimana halnya dengan qadha’ dan qadar Allah yang menghendaki terciptanya manusia, maka qadha’ dan qadar-Nya. pun menghendaki manusia memiliki kebebasan dan ikhtiar. Karenanya, apabila dikatakan bahwa seseorang meminum khamar bukan atas dasar pilihannya, melainkan karena paksaan Allah, maka yang demikian ini bertentangan dengan ilmu azali Allah. Kalau seseorang meminum khamar dengan paksaan Allah, maka dengan begitu berarti ilmu Allah telah berubah menjadi ketidaktahuan. Para peneliti meragukan bahwa Khayyam Sang Penyair adalah juga Khayyam Sang Filosof. Bahkan mereka cenderung berpendapat bahwa sejarah mencatat adanya dua manusia atau lebih yang bernama Khayyam dan nama tersebut sering tertukar satu sama lain. ‘Ala kulli hal, baik ada banyak orang yang bemama Khayyam maupun hanya satu tapi dengan pemikiran yang kontroversial seperti itu, maka pendapat yang mengembalikan perbuatan maksiat kepada ilmu Allah dan kepada takdir Ilahi seraya menafikan kebebasan manusia, adalah pendapat yang salah dan tak berdasar. Menjawab pendapat seperti ini, sebuah syair mengatakan: Pendapat yang mengatakan bahwa sebab kemaksiatan adalah ilmu Allah yang azali, dipandang oleh mereka yang berpikir sebagai puncak kejahilan dan ketololan.
B. KAUSALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU MENURUT M. BAQIR
ASH-SHADR2
Sebelum mengkaji kausalitas ilmiah menurut M. Baqir Ash-Shadr, perlu kiranya dipaparkan dahulu penjelasan Prof. Widodo tentang The Nature of Causation. Dalam penjelasan yang sifatnya saintifik selalu ada sebab-akibat dan probabilitas. Ada tiga kriteria yang menentukan adanya kausalitas:
2Materi ini disarikan dari bagian keenam karya Muhammad Baqir Ash Shadr yang berjudul Falsafatuna: Dirasah Mawdu’iyyah fi Mu’tarak Al-Shira’ al-Fikry Al-Qaim Bayna Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyyah wa al-Falsafah Islamiyyah wa al Maddiyyah al-Diyaliktikiyyah terbitan Al-Dar al-Kitab al-Islamiy, Qum Iran, 1981.
1. Time sequence, yakni kemunculan yang berurutan dalam hal waktu, seperti A harus muncul terlebih dahulu daripada B.
2. Independent variables (cause) dan dependent variables harus empiris (dapat distatistik) yang berhubungan satu dengan yang lain
3. Hubungan kausalitas A dan B tidak dapat diajukan bila ternyata ada variabel artifisal yang lebih awal atau inti.
Kalau dicermati, penjelasan di atas adalah buah atau akibat adanya pengakuan terhadap kebenaran kasualitas. Sedang penjelasan M. Baqir Ash-Shadr di bawah nanti merupakan pembuktian terhadap kebenaran kausalitas. Dengan demikian penjelasan Prof. Widodo dan M. Baqi Ash-Shadr dapat saling melengkapi. Kedua penjelasan tersebut kalau disistematisasikan berdasar urutan waktu adalah; M. Baqir Ash-Shadr sebagai pemberi landasan filosofis tentang pembuktian kebenaran kausalitas sekaligus membantah terhadap orang yang meragukan eksistensi kausalitas (ontologi), sedang Prof. Widodo menguraikan tentang syarat-syarat yang diperlukan agar sesuatu itu dapat disebut mempunyai kausalitas (epistemologi). Sekarang beralih pada penjelasan M. Baqir Ash-Shadr tentang kausalitas yang terkait dengan teori-teori ilmiah. Menurut Ash-Shadr, semua eksperimen dan observasi bergantung secara mendasar pada prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Jika kausalitas terhapus dari alam semesta, maka penciptaan teori ilmiah dalam lapangan apa pun akan menjadi sulit sekali, bahkan mustahil. Untuk menjelaskan hal ini, harus dipaparkan sejumlah hukum kausal dari himpunan (hukum) filosofis yang menjadi sandaran ilmu pengetahuan. Hukum-hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
2. Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alaminya, dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
3. Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial selaras mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.
Berdasar prinsip kausalitas dapat diketahui, misalnya, radiasi yang memancar dari atom radium mempunyai sebab, yaitu pemecahan internal dalam kandungan atom itu. Berdasarkan hukum keniscayaan, kita dapati bahwa keterbagian tersebut, ketika kondisi-kondisi niscayanya telah terpenuhi, niscaya melahirkan radiasi tertentu. Adanya kondisi-kondisi dan pelahiran radiasi tidak mungkin dapat dipisahkan. Berdasarkan asas hukum keselarasan dapat digeneralisasikan fenomena radiasi dan membuat keterangan tertentu mengenai semua atom radium. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama segala atom elemen tersebut secara esensial selaras, mesti selaras juga dengan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Dengan demikian kalau eksperimen ilmiah menyingkapkan radiasi pada beberapa atom radium, maka dapat dianggap radiasi ini sebagai fenomena umum semua atom yang serupa dalam kondisi-kondisi tertentu.
Sekarang, mari kita kembali —sesudah menjelaskan masalah mendasar; kausalitas, keniscayaan dan keselarasan— kepada ilmu-ilmu dan teori-teori ilmiah. Sudah merupakan suatu hal yang gamblang bahwa semua teori dan hukum yang dalam ilmu-ilmu pengetahuan pada hakikatnya ada berdasarkan masalah-masalah mendasar tersebut, dan berdiri di atas prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Nah, kalau prinsip tersebut tidak diambil sebagai kebenaran filsafat yang pasti, tentu tidak mungkin didirikan suatu teori apa pun dan tidak mungkin pula dibangun hukum ilmiah apa pun yang mempunyai sifat umum dan komprehensif. Hal itu karena eksperimen yang dilakukan seorang ilmuwan alam di dalam laboratoriumnya, tidak bisa menjamah semua bagian alam. Tetapi hanya menjamah beberapa bagian terbatas yang pada hakikatnya selaras. Lantas eksperimen itu mengungkapkan bahwa bagian-bagian itu memiliki fenomena tertentu. Sekiranya sang ilmuwan itu merasa yakin dengan kebenaran, ketepatan serta objektivitas eksperimennya, maka dengan segera ia membuat suatu teori atau hukum yang dapat diterapkan pada segala bagian alam yang sama dengan objek eksperimennya. Generalisasi tersebut, yang merupakan syarat mendasar bagi didirikannya ilmu alam, tidak dibenarkan kecuali oleh hukum-hukum kausalitas secara umum — terutama hukum keselarasan yang (seperti telah dijelaskan) menyatakan bahwa setiap himpunan yang pada hakikatnya selaras harus pula selaras dalam sebab dan akibatnya. Apabila di alam semesta tidak ada sebab dan akibat, dan segala sesuatu terjadi semata-mata karena kebetulan, tentu seorang ilmuwan alam tidak akan bisa mengatakan bahwa apa yang dikukuhkan dalam penelitian tertentunya berlaku pula tanpa batasan atas segala bagian alam. Untuk hal itu, mari kita ambil contoh yang sederhana tentang ilmuwan alam yang dengan eksperimen membuktikan bahwa benda-benda memuai bila dalam keadaan panas. Eksperimennya tentu saja tidak meliputi segala benda di alam semesta. Tetapi, ia hanya melakukan eksperimennya terhadap sejumlah benda yang bermacam-macam, misalnya roda-roda mobil kayu, di mana pada roda-roda itu diletakkan kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam keadaan panas. Begitu didinginkan, kerangka-kerangka itu kemudian mengerut dan menjadi sangat mengetap kayu. Mari kita anggap bahwa ilmuwan tersebut mengulangi eksperimen ini beberapa kali atas benda-benda lain. Pada akhir eksperimennya, ilmuwan tersebut tidak akan bisa melepaskan diri dari menghadapi pertanyaan ini: “Selama Anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa Anda mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak Anda uji itu, juga memuai karena panas?” Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Akal yang tidak menerima keserampangan dan kebetulan mendapati dalam eksperimen-eksperimen yang terbatas, akan menerima teori umum yang menyatakan memuainya benda-benda karena panas. Karena, pemuaian yang diungkapkan eksperimen tersebut bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi adalah hasil atau akibat panas. Karena hukum keselarasan dalam kausalitas menyatakan bahwa satu himpunan tunggal dalam alam selaras dengan sebab dan akibatnya, maka tidaklah aneh kalau setiap alasan yang memberlakukan fenomena pemuaian atas segala benda itu dapat diterima.
Dengan demikian kita tahu bahwa membuat teori umum, tanpa berangkat dari prinsip kausalitas, tidaklah mungkin. Jadi, prinsip kausalitas adalah asas pertama semua ilmu pengetahuan dan teori-teori eksperimental. Kesimpulannya, teori-teori eksperimental tidak mendapatkan sifat ilmiah, selama tidak digeneralisasikan untuk mencakup bidang-bidang di luar batas-batas eksperimen tertentu, dan dijadikan sebagai kebenaran umum. Tidak mungkin dijadikan demikian kecuali berdasarkan prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Karena itu, ilmu-ilmu pengetahuan secara umum harus menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya yang berkaitan erat, yaitu hukum keniscayaan dan hukum keselarasan, sebagai kebenaran-kebenaran yang secara mendasar diterima, dan menerimanya sebelum semua teori dan hukum eksperimental ilmu-ilmu pengetahuan.
B.1. Posisi Prinsip Kausalitas
Hal-hal berikut ini perlu digarisbawahi terkait dengan prinsip kausalitas:
1. Prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena, indera tidak mendapatkan sifat objektif, kecuali jika berdasarkan prinsip tersebut. Kita membuktikan realitas objektif persepsi inderawi berdasarkan prinsip kausalitas.
2. Prinsip kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi hukum filsafat rasional. Karena, semua teori ilmiah bergantung padanya. Ini tampak dengan sangat jelas setelah kita mengetahui bahwa setiap deduksi ilmiah yang berdiri di atas eksperimen menghadapi persoalan keumuman (generalisasi) dan kemencakupan (komprehensif). Artinya, eksperimen yang menjadi dasar penyimpulan ilmiah itu terbatas. Eksperimen tidak menjamah keseluruhan alam semesta, maka bagaimana dapat menjadi dalil bagi teori umum. Kita bisa memecahkan problem itu, ketika kita menghadapinya berkenaan dengan berbagai teori ilmiah, dengan bersandarkan pada prinsip kausalitas, sebab prinsip ini adalah bukti yang memadai mengenai generaliasasi kesimpulan dan kemencukupannya. Sedangkan jika prinsip itu sendiri dianggap eksperimental dan kita menghadapi permasalahan yang sama di dalamnya, kita sepenuhnya tidak akan pernah bisa memecahkan permasalahan ini. Jadi, prinsip kausalitas haruslah berada di atas eksperimen dan kaidah dasar penyimpulan-penyimpulan eksperimental secara umum.
3. Prinsip kausalitas tidak mungkin ditolak dengan argumen apa pun. Karena, setiap usaha seperti ini justru menyebabkan pengakuan terhadap prinsip itu sendiri. Jadi, prinsip ini adalah tetap kukuh sebelum dibuktikan manusia.
B.2. Mekanika dan Dinamika
Setelah diketahui bahwa prinsip kausalitas bukan merupakan prinsip eksperimental tapi prinsip yang niscaya lagi rasional, maka kita dapat membuat pembedaan antara mekanika dan dinamika, dan antara prinsip kausalitas dan prinsip kebebasan (indeterminasi).
Penafsiran mekanik terhadap kausalitas itu berdasarkan anggapan bahwa kausalitas adalah prinsip eksperimental. Prinsip ini, dalam pandangan materialisme mekanik, tidak lain adalah hubungan material di antara fenomena-fenomena material dalam lapangan eksperimental, dan diungkapkan dengan metode-metode ilmiah. Karena itu adalah wajar jika kausalitas mekanik tumbang ketika ekspe-rimen tidak mampu mengungkapkan dalam bidang-bidang ilmiah tertentu. Karena kausalitas tidak bisa dicapai kecuali berdasarkan eksperimen. Nah, kalau eksperimen itu bekerja sebaliknya, dan penerapan praktis tidak membuktikannya, maka ia tidak dapat memperoleh kepercayaan dan pertimbangan ilmiah.
Adapun pendapat kita tentang kausalitas, bahwa ia adalah prinsip rasional di atas eksperimen, maka situasinya menjadi berbeda sekali berkenaan dengan beberapa segi: Pertama, kausalitas tidak terbatas pada fenomena-fenomena alam yang tampak di dalam eksperimen, tetapi ia adalah hukum umum keberadaan pada umumnya. Jadi, realitas-realitas fisikal dalam lapangan atomik tidak dapat diukur kecuali bila melibatkan kekacauan (disorder} tertentu yang tidak bisa diukur. Semakin mendalam akurasi kita mengenai ukuran-ukuran ilmiah, semakin jauh kita jadinya dari realitas objektif peristiwa-peristiwa tersebut. Artinya, tidak mungkin memisahkan sesuatu yang terobservasi dalam mikrofisika dari perangkat ilmiah yang digunakan ilmuwan untuk mempelajari sesuatu itu, sebagaimana tidak mungkin memisahkan sesuatu itu dari pengamat itu sendiri. Karena, beberapa peneliti yang berbeda-beda dengan menggunakan perangkat yang sama, meneliti objek yang sama bisa sampai pada pengukuran-pengukuran yang berbeda-beda. Dari sini timbullah gagasan indeterminasi yang bertentangan sekali dengan prinsip kausalitas dan kaidah-kaidah pokok yang mengatur fisika sebelumnya. Ada upaya-upaya menukar kausalitas niscaya dengan apa yang dinamakan “hubungan-hubungan ketakpastian” atau “hukum-hukum kemungkinan” yang dikumandangkan Heisenberg bahwa ilmu-ilmu alam -seperti ilmu manusia- tidak dapat meramalkan dengan pasti ketika melihat elemen sederhana. Tetapi, yang dapat dilakukannya hanyalah membentuk suatu kemungkinan.
Sebenarnya, semua keraguan dan kecurigaan ilmiah yang dibangkitkan para pakar di dalam mikrofisika itu berdasarkan paham tertentu tentang prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya yang tidak sesuai dengan paham kita tentang prinsip dan hukum-hukum ini. Kami tidak hendak menolak mereka berkenaan dengan eksperimen-eksperimen mereka, atau mengajak mereka supaya tidak ambil pusing terhadap penemuan-penemuan yang dibuat melalui eksperimen-eksperimen ini. Kami juga tidak hendak mengecilkan arti dan pentingnya penemuan-penemuan itu. Tetapi, kami berbeda dengan mereka dalam paham umum kami tentang prinsip kausalitas. Berdasarkan perbedaan ini, segenap upaya untuk menumbangkan prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya tersebut menjadi tidak berarti.
Selanjutnya, kalau prinsip kausalitas adalah prinsip ilmiah yang berdasarkan eksperimen-eksperimen dan observasi-observasi dalam lapangan fisika biasa, tentu ia bergantung pada eksperimen untuk pembuktian dan keumumannya. Jadi, kalau tak dicapai aplikasi-aplikasi hal itu secara jelas dalam lapangan atom dan tak bisa mengungkapkan suatu sistem niscaya dalam lapangan ini berdasarkan prinsip dan hukum-hukum kausalitas, maka adalah hak kita untuk meragukan nilai prinsip itu sendiri serta sejauh mana kebenaran dan keumumannya. Tapi, kami telah menjelaskan dalam uraian terdahulu, bahwa dapat diterapkannya prinsip kausalitas pada lapangan-lapangan fisika biasa, dan kepercayaan bahwa kausalitas adalah suatu sistem umum alam semesta dalam lapangan-lapangan ini, itu bukan hasil bukti eksperimental semata. Kalau tidak demikian, tentu ilmu alam tidak akan berdiri tegak sama sekali. Apabila ini sudah jelas bagi kita, dan kita meletakkan prinsip kausalitas pada tempatnya yang wajar dalam rantai pemikiran manusia, maka kita mampu menerapkannya secara eksperimental dalam sebagian lapangan alam, dan kita mampu mengungkapkan sistem niscaya yang sempurna di bidang-bidang ini dengan metode-metode ilmiah. Dengan demikian, tidak akan mengguncangkan prinsip kausalitas ini. Semua observasi yang dikumpulkan para pakar, berdasarkan eksperimen mikrofisika mereka itu, tidak serta merta berarti bahwa argumen ilmiah telah membuktikan kesalahan prinsip dan hukum-hukum kausalitas dalam bidang eksak ini. Adalah jelas bahwa tidak memadainya kecakapan ilmiah dan eksperimental itu tidak mempengaruhi prinsip kausalitas, sebagian maupun keseluruhan, karena prinsip ini adalah niscaya dan di atas eksperimen.
C. KAUSALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HIKMAH MENURUT MULLA
SHADRA3
C.1. Hakikat Hubungan Sebab dan Akibat Di sini perlu diketahui, “kausalitas” supaya dibedakan dengan artian “kausalitas” dalam ilmu-ilmu alam atau fisika. Sebagaimana berkali-kali ditunjukkan oleh para filosof, “sebab” di dunia fisik mengacu pada sumber efisien gerak. “Sebab” dalam istilah ilmu alam adalah pelaku (agent) dan pemberi gerak, dan bukan penganugerah wujud. Akan tetapi, pelaku dalam istilah metafisika adalah pelaku dan pemberi wujud. Dua istilah teknis itu memang kerap terkacaukan, terutama dalam pelbagai pernyataan para filosof modern. Untuk klarifikasi lebih mendalam atas beberapa bagian diskusi ini, rujuk jilid Ketiga Ushul-e Falsafeh wa Rawisy-e Riyalism (Prinsip-Prinsip dan Metode Filsafat Realisme). Dalam kaitan dengan kausalitas, Mulla Shadra menandaskan bahwa hubungan akibat dan sebab merupakan hubungan “penyinaran (illuminative)”, dan bahwa penyebaban (causation) itu sendiri tidak lain adalah “penyinaran (illumination)”. Hal yang secara tradisional diakui dalam filsafat mengenai hubungan sebab dan akibat adalah bahwa sebab menghadirkan eksistensi dan wujud pada akibat sehingga seolah-olah pihak pertama memberi pihak kedua suatu hal yang ketiga: secara berurutan yang pertama adalah sebab; yang kedua adalah akibat; dan yang ketiga adalah eksistensi atau wujud. Gambaran penyebaban ini melukiskan pemberi, penerima, dan sesuatu yang diberikan maupun diterima (secara terpisah-pisah). Tentu saja, gambaran itu menyamakan hubungan antara pemberi dan penerima (wujud) dengan hubungan (mutual) antara dua hal pada umumnya. Sebagai misal, seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu, terjadilah suatu hubungan di antara kedua sebagai hakikat ayah atau anak. Namun, kita tahu bahwa wujud ayah adalah satu hal, wujud anak adalah hal lain, dan hubungan di antara keduanya adalah hal yang lain lagi. Hubungan serupa tergambar pada sebab dan akibat, yang diacu sebagai hubungan kausal: suatu hubungan antara pemberi dan penerima wujud. Hubungan sebab-akibat itu sendiri tidak sama dengan wujud sebab atau akibat. Hubungan itu semata-mata terjadi antara dua hal, seperti keayahan dan keanakan yang merupakan hubungan antara seorang ayah dan anak. Kaum Sufi meyakini bahwa maujud selain Allah adalah sekutu-Nya, karenanya keyakinan pada sesuatu selain-Nya merupakan syirik dan penyekutuan. Atas dasar itu, kaum Sufi menyangkal kausalitas. Sebaliknya, filosof meyakini bahwa makna “penciptaan” yang termaktub dalam Al-Quran ialah kausasi Dzat Allah, dan bukan tajalli atau penampakan-Nya. Lalu, apakah perselisihan ini bersifat terminologis belaka? Jelas tidak. Sebab, dalam konsep tajalli dan penampakan, ada asumsi kesatuan antara Sumber dan objek penampakan; antara pantulan dan Pemantulnya. Dengan demikian, hakikat tajalli dan penampakan ialah Dzat yang Tampak itu sendiri, lantaran segi yang menampak bukanlah sesuatu yang berbeda dari Jati Diri si Penampak’.
3Materi ini disarikan dari juz lima karya Mulla Shadra yang berjudul Al-Asfar al-Arba’ah terbitan Al-Dar al-Nashr, Qum Iran, tt.
Salah satu kerja besar Mulla Shadra ialah mendekatkan pemahaman kausalitas dan tajalli dengan membuktikan bahwa akibat dan efek sebenarnya tak lebih dari “satu derajat dari berbagai derajat sebab, satu penampakan dari berbagai penampakannya, dan satu wajah dari berbagai wajahnya”. Dengan demikian, pada hakikatnya Mulla Shadra mengembalikan kausalitas kepada tajalli
Sebelum Mulla Shadra, para filosof menduga bahwa antara sebab dan akibat terdapat penghubung (rabith’) yang menyambungkan keduanya. Jelasnya, menurut rnereka, sebab merupakan entitas yang terpisah dari akibat dan demikian pula sebaliknya. Melalui penghubung keduanya itulah sebab melahirkan akibat dalam rangkaian sebab-akibat. Sebagai contoh, kalau A adalah sebab dan B adalah akibat, maka kausalitas ialah terkaitnya B pada hakikat A lewat sejenis keterhubungan (intisab atau idhafah}.
Mulla Shadra menolak asumsi ini dengan membuktikan bahwa hakikat akibat ialah keterhubungan dengan sebab itu sendiri. Akibat dan efek itu tak lain adalah entitas yang menyatu-padu dengan sebab. Akibat bukanlah hasil pencerahan atau iluminasi (isyraq) sebab pada suatu entitas sehingga akibat bergantung pada sebabnya melalui iluminasi, melainkan merupakan inti kebergantungan dan iluminasi itu sendiri (karena yang ada di alam wujud hanyalah wujud sebab, tak lain dan tak bukan). Perwujudan adalah hakikat Pewujud, sedangkan kebergantungan ialah hakikat objek yang bergantung. Alhasil, Mulla Shadra berhasil membuktikan bahwa realitas sebab-akibat sama dengan tajalli.
Kaum Sufi menolak gagasan kausalitas para filosof terdahulu lantaran yang belakangan meyakini bahwa Dzat Allah adalah Sebab bagi segala sesuatu, sehingga Dzat Allah sendiri adalah satu hal, sedangkan penyebaban (kausasi) dan penciptaan adalah hal lain, dan demikian juga sosok akibat atau objek ciptaan adalah hal ketiga yang lain lagi. Hasilnya, alam wujud menampung tiga hal yang berbeda.
Menurut Mulla Shadra, tindak mencipta (khalq) dan ciptaannya (makhlua) adalah sesuatu yang identik. Maka dari itu, penciptaan dan ciptaan tidak lebih dari salah satu nuansa Sebab dan bukan hal yang terpisah darinya. Perbedaan antara tindak penyebaban dan akibat atau penciptaan dan ciptaan semata-mata bersifat mental dan rekaan belaka.
Di samping itu, kendati terdapat keberagaman hakiki (katsrah) antara sebab dan akibat, keberagaman itu sendiri mengacu pada satu sisi (atau nuansa) kesatuan antara keduanya. Karena, akibat bukanlah sesuatu selain sebabnya. Bahkan, akibat tak lain dari nuansa dan berkedudukan sebagai nama dan sifat dari sebabnya. Jelasnya, sebagaimana sifat merupakan satu segi dari penyandangnya, demikian pula akibat merupakan satu segi dari sebabnya.
Oleh sebab itu, bila kita mencermati hakekat wujud segala sesuatu, mustahil kita bisa memisahkannya dari Dzat Penyandangnya, yakni Allah. Namun, karena kita senantiasa mencerap segenap rnaujud rnelalui esensi-esensinya yang beragam, kita melihat alam wujud secara beragam dan bukan manunggal. Dalam konteks ini, Mulla Shadra telah berhasil mendamaikan cara-pandang para filosof dan para Sufi dengan rnembuktikan bahwa kausalitas tak lain adalah tajalli dan tajalli tak terjadi kecuali dalam kerangka hukum kausalitas.

0 komentar: