Tauhid dan Batas-Batasnya

Beberapa kelompok manusia yang imannya setengah-setengah menganggap tauhid [monoteisme]—prinsip Islam—sebagai kesatuan masyarakat. Mereka beranggapan, prinsip yang pertama adalah bahwa masyarakat pada walanya pastilah tidak berkelas, atau bahwa semua kelas di masyarakat heruslah merupakan satu kelas saja. Mereka mengira bahwa tauhid adalah kesatuan masyarakat, artinya tidak berkaitan dengan Allah Swt., ia adalah prinsip yang menuntut penyatuan masyarakat.
Sebagian kelompok yang lain menganggap tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Mereka menyuguhkannya ke dalam filsafat Islam seraya mengatakan, dari sudut pandang Islam, segala sesuatu bergerak menuju kesatuan, dan kontradiksi-kontradiksi haruslah disatukan. Inilah yang mereka kira tentang tauhid.
Demikian halnya, mereka memberikan pada prinsip-prinsip lain mana-makna lain sedemikian rupa, yang “membuat seorang ibu yang kehilangan anaknya tertawa”, sebagaimana kata pepatah, “Memang benar, jika tidak mendasarkan pembicaraan dan tulisan pada sebuah criteria yang pasti, dan gegabah memainkan segala sesuatu hanya demi memamerkan gagasan-gagasan dan angan-angannya, orang boleh mengatakan apa saja yang disukainya,” “Kebohongan tidak memiliki tulang, hingga tidak bisa tertahan di tenggorokan.”
Ketika orang memutuskan untuk menulis dan mengatakan serta bermain-main dengan apa pun yang disukainya—dengan kata-kata, lireatur, ilmu pengetahuan, filsafat, al-Qur’an, dan segala sesuatu, sebuah pertanyaan akan muncul: Apa arti tauhid, sebuah prinsip pertama dari pandangan Dunia Islam? Apakah ia bertujuan untuk menyatukan masyarakat dan menciptakan komunitas yang tunggal, prinsip yang cenderung menyatukan segala sesuatu, ataukah ia dimaksudkan untuk mengakui Keesaan Allah Swt.?
Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, kita akan, di dalam al-Qur’an, kata tauhid dan derivat-derivatnya, seperti “mempersatukan, penyatuan, dan tersatukan”, sekalipun tidak pernah disebut—salah satu keanehan Kitab Suci ini. Namun, prinsip asalnya yang disebut oleh al-Qur’an sebagai prinsip yang saling fundamental, dinyatakan dalam bentuk-bentuk, seperti Katakanlah: Dialah Allah Swt., Yang Maha Esa. [QS. Al-Ikhlâsh [112]: 1]
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa …,[QS. Al-Baqarah [2]: 163] … Sembahlah Allah Swt., sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya …,[QS. Al-A’râf [7]: 85] … tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah Swt., [QS. Al-Baqarah [2]: 163] tidak ada Tuhan (yang Hak) selain Allah Swt. …,[QS. Muhammad [47]: 19] dan banyak ayat lainnya dalam al-Qur’an yang menyatakan prinsip pertama ini, yaitu kita harus menyadari bahwa hanya ada Satu Tuhan, dan kita tidak boleh menyembah satu pun sembahan selain Dia, Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah Swt., (saja) dan jauhilah tagut …” [QS. Al-Nahl [16]: 36] Seruan utama semua nabi adalah: “Sembahlah Allah Swt., dan jauhi setan.” Oleh karena itu, prinsip tauhid, sebagai prinsip ideologis, tidak mungkin memiliki arti selain pengesaan Allah Swt. Dimanapun kata tauhdi muncul, dalam Nahj al-Balâghah dan tradisi-tradisi Islam lainnya, ia mempunyai arti sebagaimana yang kita kemukakan di atas. Konsekuensinya, tindakan menafsirkan prinsip Islam ini dengan penafsiran yang berbeda akan merupakan penyimpangan, kebodohan, ataupun prasangka saja.
Hal-hal lain, baik yang benar maupun yang keliru, tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan prinsip ini. Artinya, misalkan sebuat masyarakat yang tanpa kelas didukung oleh Islam, tetaplah hal ini tidak ada kaitannya dengan prinsip ideologis Islam. Bahkan, sekalipun dibuktikan bahwa opini Islam adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas, hal itu tidak dapat dikaitkan dengan tauhid.

TAHAP-TAHAP DAN BATAS-BATAS TAUHID
Meyakini Keesaan Allah Swt. mempunyai banyak tahap:
1. Tauhid dalam Wujud yang Mesti. Artinya tidak ada satu wujud pun yang maujud oleh dirinya sendiri, kecuali Allah Swt. Dalam peristilahan filsafat, tauhid ini adalah  keyakinan terhapa sebuah wujud yang keberadaannya bersifat mesti. Wujud yang dimikian itu hanyalah Allah Swt., Yang Mahatinggi, yang keberadaannya secara intrinsik merupakan keharusan, dan yang dari-Nya wujud-wujud yang lain maujud.
2. Tauhid dalam penciptaan. Artinya tidak ada pencipta kecuali Allah Swt. Tauhid ini adalah hasil yang logis dari butir sebelumnya.
3. Tauhid dalam Rubûbiyyah (Lordship, Ketuhanan). Tahap ketiga dari tauhid adalah manajemen dan Rubûbiyyah genetik. Artinya, setelah mengakui bahwa Allah Swt. adalah Pencipta alam semesta, kita harus mengetahui siapa menejer dan direkturnya, dan apakah ada seseorang, selain Allah Swt., yang mengelola alam semesta tanpa memperoleh ijin-Nya. Sekiranya ada pernyataan bahwa Allah Swt. telah menciptakan alam semesta, kemudian manajemennya diserahkan kepada orang lain, atau bahwa Allah swt. tidak berkaitan lagi dengan manajemennya, atau, jika berkaitan dengan manajemennya, Dia mengelolanya bersama beberapa orang sekutu, hal itu merupakan multiteisme dalam Rubûbiyyah atau Manajemen. Dalam tahap ini, seorang monoteis adalah orang yang meyakini bahwa, karena pencipta alam semesta tidak membutuhkan siapa pun selain Allah Swt., demikian pula menajemen genetik, pengarahan dan Rubûbiyyah hanyalah milik Allah Swt.
4. Tauhid dalam Rubûbiyyah Legislatif genetik. Setelah mengetahui bahwa Pencipta kita adalah Allah Swt., dan bahwa keberadaan dan manajemen kita hanya berada di tangan-Nya, kita juga harus percaya bahwa tak seorangpun selain Dia yang membuat hak untuk memerintah kita dan membuat hukum bagi kita. Setiap hukum harus disahkan oleh Tuhan sebelum dianggap berwenang.
Dengan mengakui bahwa semua eksistensi berasal dari-Nya, tak seorangpun memiliki hak, tanpa ijin-Nya, untuk memerintah makhluk-makhluk-Nya, menyuruh dan melarang mereka, dan membuat hukum-hukum bagi mereka. Hal ini disebut “kesatuan Rubûbiyyah Legislatif”.
5. Tauhid dalam penyembahan. Ia adalah kestuan Ketuhanan dan penyembahan. Artinya, tak ada satupun kecuali Allah Swt., yang patut disembah, “Tidak ada Tuhan selain Allah Swt.” Ini juga merupakan hasil dari keyakinan alamiah-warisan dalam diri manusia. Jika eksistensi kita berasal dari Allah Swt., manajemen dan pengarahan hidup kita diserahkan kepada-Nya. Penyebab (effecter) yang mandiri di alam semesta ini adalah Dia, dan hak untuk menerapkan undang-undang dan mengeluarkan perintah hanya berada di tangan-Nya, tanpa ada ruang lagi bagi siapapun untuk disembah. Hanya Dia yang harus kita sembah, yang berarti kita harus menempatkan diri kita, tanpa bertanya-tanya lagi, dalam pengabdian kepada-Nya. Inilah arti penghambaan kepada-Nya. Hanya Zat yang memiliki segala sesuatulah yang layak disembah.
Dengan kata lain, ketuhanan adalah hasil dari meyakini Rubûbiyyah-Nya. Manusia menyembah apa yang dirasakannya melalui kuasa dan komando sepenuhnya atas dirinya. Jadi, hasil alamiah Rubûbiyyah genetik dan Legislatif Allah Swt. adalah bahwa tak seorangpun yang lain yang boleh disembah.
6. Tauhid dalam penyembahan. Ia berarti bahwa manusia tidak boleh menyembah kepada selain Allah Swt. Tahap sebelumnya adalah bahwa tak satu pun yang berhak disembah kecuali Dia. Tahap ini menuntut manusia harus secara praktis tidak menyembah kecuali kepada Allah Swt. Ini disebut “tauhid ibadah”.
Anda mungkin telah menyadari bahwa al-Qur’an memandang “politeisme berada di puncak daftarnya,” demikian dikatakan orang. Politeisme dalam praktiknya berarti menyembah kepada selain Allah Swt., meskipun si penyembah tidak mempercayai bahwa sembahannya itu patut disembah, dan hanya menyembahnya karena kepentingan-kepentingan tertentu.
7. Tauhid dalam meminta pertolongan. Ia berarti bahwa manusia secara praktis tidak boleh mminta pertolongan kepada selain Allah Swt. Dengan memandang Allah Swt. sebagai penyebab sejati di alam semesta, berarti bahwa tidak ada manfaat ataupun mudarat yang bisa mengenai kita tanpa Allah Swt. menghendakinya. Jadi, bagaimana bisa meminta pertolongan kepada selain Dia? Haruskah kita meminta pertolongan kepada Dia yang memiliki segala sesuatu, ataukah kepada prang lain yang dia sendiri juga membutuhkan pertolongan, seperti kita? Jadi, salah satu aspek monoteisme adalah kesatuan dalam meminta pertolongan: Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dah hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.[QS. Al-Fâtihah [1]: 5] Ini merupakan sejenis penyatuan. Dalam kasus yang di dalamnya aspek ini mencapai kesempurnaan, ia akan berubah menjadi sebuah sifat psikologis, yang dalam peristilahan etika Islam disebut “Kebergantungan kepada Allah Swt.”. Banyak ayat, yang setelah memerintahkan manusia agar mnyembah Allah Swt., memerintahkan mereka agar bergantung kepada Allah Swt.: … dan kepada Allah Swt. hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman [QS. Al-Mâ’idah [5]: 23].
8. Tauhid dalam merasa takut. Ia berarti kita tidak boleh takut kepada selain Allah Swt. Setelah mengetahui bahwa Dia adalah penyebab yang sejati dan satu-satunya, mengapa kita mesti takut kepada siapa pun, yang tidak bisa melakukan apa-apa dan tidak memiliki kekuasaan apa pun? Semua kekuasaan berasal dari Dia, sementara makhluk-makhluk hanyalah arana pelaksaaan kekuasaan tersebut. Seorang monoteis sempurna adalah dia yang hanya takut kepada Allah Swt., tidak kepada selain-Nya. Banyak ayat memerintahkan: takutlah kepada Allah Swt., dan janganlah kamu takut kepada selain Dia: (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah Swt., mereka takut kepada-Nya, dan mereka tiada merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah Swt. … [QS. Al-Ahzâb [33]: 39] dan … karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman [QS. Âli ‘Imrân [3] 175].
9. Tauhid dalam berharap. Ia berarti bahwa kita tidak boleh menempatkan harapan-harapan kita kepada siapa pun selain Allah Swt. Ini juga merupakan konsekuensi logis dari keyakinan kepada Rubûbiyyah Genetik Allah Swt. Jika benar-benar percaya bahwa penyebab yang sejati dan efektif di alam semsta ini adalah Allah Swt., mengapa kita mesti mengharapkan sesuatu dari yang lain? Tak seorang pun bisa melakukan apa pun, jadi, semua harapan haruslah dibatasi hanya kepada-Nya.
10. Tauhid dalam cinta. Jika orang meyakini bahwa semua kesempurnaan dan keindahan asalnya adalah milik Allah Swt., cinta pada asalnya adalah milik-Nya, sedangkan cinta-cinta yang lain hanyalah palsu. Cinta kita kepada seseorang atau sesuatu dengan sewajarnya disebabkan oleh kesempurnaan atau keindahan yang kita lihat pada apa yang kita cintai itu. Dengan menyadari bahwa kesempurnaan dan keindahan tersebut palsu, dan bahwa pemilik kesempurnaan dan keindahan yang asli hanyalah Allah Swt., secara intrinsik, kita tidak boleh mencintai siapa pun yang lain.
Monoteis sempurna adalah orang yang menyerahkan hatinya kepada Allah Swt., dan sekiranya dia mencintai seseorang selain Dia, cintanya itu merupakan pancaran dari cintanya kepada Allah Swt., dan demi Dia, sebagaimana mencintai seseorang, maka cinta itu juga mencakup apa-apa yang dimiliki kekasihnya. Jika seseorang mencintai sahabatnya, dia juga mencintai pakaian, buku-buku, dan rumah sahabat itu. Jadi, mencintai Allah Swt. berarti mencintai juga apa pun milik Allah Swt.
Akhirnya, tauhid mencapai tahap yang di dalamnya manusia menjadi saksi atas kenyataan bahwa seluruh eksistensi dan urusannya membutuhkan Allah Swt., atau, bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu pun selain kebutuhan kepada Allah Swt. Dalam peristilahan filsafat, hal ini diungkapkan secara demikian: “Alam wujud adalah kaitan itu sendiri, milik itu sendiri, bukan sesuatu yang menjadi milik atau yang memiliki kaitan.” Dalam satu kesempatan, masalah ini muncul di dalam diri manusia dalam bentuk suatu keyakinan yang ditunjang oleh bukti-bukti; dalam kesempatan lain, ketika pengetahuan manusia meningkat dan keimanannya menjadi lebih sempurna, ia menjadi tahap yang di dalamnya dia menjadi “saksi” atas kenyataan ini dan memahaminya. Inilah tahap-tahap monoteisme (tauhid).

0 komentar: