Tidak Merujuk Kepada Para Sahabat Dalam Memahami Al Qur’an
Pembaca yang budiman, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan kitab-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan bahasa kaumnya, yaitu bahasa Arab. Manusia yang paling memahami kandungan Al Qur’an setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah para shahabat radliyallahu ‘anhum. Hal ini karena beberapa alasan :

Pertama, Al Qur’an diturunkan dalam bahasa yang mereka pahami makna dan susunannya. Kedua, mereka hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sehingga apabila menemukan kesulitan dalam memahami Al Qur’an, mereka langsung merujuk dan menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu beliau memberitahukan jawabannya. Demikianlah, sehingga agama ini menjadi jelas bagi mereka. Ketiga, mereka adalah khairun nas (manusia terbaik) sebagaimana tersebut dalam hadits :
“Sebaik-baik manusia adalah masaku kemudian umat yang setelah mereka kemudian umat yang datang setelah umat tersebut.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu)
Kebaikan yang dimaksud dalam hadits ini mencakup pemahaman yang benar dan selamat. Maka pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah jauh lebih baik dari pemahaman orang-orang setelah mereka. Karena pemahaman orang yang baru masuk Islam terlebih dahulu lebih baik dari pemahaman orang-orang yang masuk Islam belakangan.
Untuk menjelaskannya, penulis memberikan beberapa teladan dari kehidupan shahabat radliyallahu ‘anhum.
Teladan Pertama : Pemahaman Al Baqarah 158 Abdullah bin Zubair berkata :
Aku bertanya kepada Aisyah radliyallahu ‘anha lalu aku berkata : “Bagaimana penda pat engkau tentang firman Allah :
‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.’ (QS. Al Baqarah : 158)
Maka demi Allah tidaklah dosa bagi seseorang yang tidak berthawaf antara Shafa dan Marwah?”
Aisyah menjawab : “Buruk sekali apa yang kau katakan wahai keponakanku, sesungguhnya ayat ini seandainya seperti apa yang kamu takwilkan pastilah tidak berdosa siapa yang tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar dahulu sebelum masuk Islam, mereka bertalbiyah untuk Manat (Ath Thaghut) yang mereka sembah di sisi AL Musyalil, sehingga orang yang hendak bertalbiyah merasa risih apabila sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka tatkala mereka masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal tersebut. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami merasa risih apabila kami sa’i antara Shafa dan Marwah!’ Lalu Allah menurunkan ayat tersebut di atas.” (HR. Bukhari dalam Shahiih Bukhari juz IV halaman 244)
Pembaca yang budiman, dari hadits ini jelaslah bagi kita betapa pentingnya merujuk kepada pemahaman para Salaf terhadap Al Qur’an Al Karim.
Teladan Kedua : Pemahaman Ali Imran 188 Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Janganlah sekali-kali kamu men yangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu men yangka bahwa mereka terlepas dari sika dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran : 188)
Dhahir ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang gembira dengan sesuatu maka dia akan disiksa, termasuk di dalamnya orang yang gembira dengan istrinya, anaknya, hartanya, dan seterusnya. Inilah yang dipahami oleh sebagian shahabat pada waktu itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya :
Bahwa Marwan berkata kepada pengawalnya : “Pergilah, wahai Rafi’ kepada Ibnu Abbas dan katakanlah jikalau setiap orang yang gembira dengan apa yang diperoleh dan suka dipuji terhadap perbuatan yang belum dikerjakan akan disiksa, pastilah kita semua akan disiksa.”
Maka berkatalah Ibnu Abbas : “Tidak ada kaitannya pemahaman kalian dengan ayat ini. Tidak lain ayat ini berkenaan tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memanggil seorang yahudi maka beliau bertanya kepada mereka sesuatu hal lalu mereka menyembunyikannya dan memberitahukan hal yang lainnya. Maka mereka memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka suka dipuji dengan apa yang mereka beritakan dari pertanyaan beliau. Mereka pun bergembira dengan apa yang mereka peroleh dari perbuatan tersebut.” (Al Hadits)
Perhatikanlah saudaraku yang budiman, betapa pemahaman shahabat terhadap Al Qur’an adalah pemahaman yang berlandaskan ilmu dan talaqqi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berlainan dengan orang selain mereka. Sesungguhnya orang-orang tersebut terkadang tebersit dalam pemikiran salah satu dari mereka bukan pemahaman yang dimaksud. Demi Allah, begitu pula para tabi’in, mereka merujuk kepada pemahaman shahabat terhadap Al Qur’an. Selanjutnya begitu pula para ulama Ahlus Sunnah dan atsar mereka merujuk kepada para pendahulu mereka.
Teladan Ketiga : Pemahaman Al Baqarah 195 Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah : 195)
Pada masa tabi’in, ayat ini telah dipahami dengan tidak semestinya. At Tirmidzi telah mengeluarkan hadits dalam Kitab Sunan-nya dari jalan Abu ‘Imran At Tujiby, ia berkata :
Kita sedang berada di Romawi maka tentara Romawi mengeluarkan pasukan yang besar dan keluar juga orang Muslim sebanyak itu atau lebih. Pasukan Mesir dipimpin oleh ‘Uqbah bin ‘Amir dan jamaah lain dipimpin oleh Fadhalah bin ‘Ubaid. Tiba-tiba majulah salah seorang dari Muslimin ke arah barisan Romawi dan menerobos mereka maka orang-orang berteriak : “Subhanallah! Dia telah menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.”
Maka berdirilah Abu Ayub Al Anshari seraya berkata : “Wahai manusia, kalian telah menakwilkan ayat ini, tidak lain ayat ini turun berkenaan tentang kami kaum Anshar tatkala Allah memenangkan Islam dan banyaklah pendukungnya. Maka kami berbisik¬bisik tanpa sepengetahuan Rasulullah : ‘Harta kita telah terbuang, sekarang Allah telah memenangkan Islam dan banyaklah pendukungnya, bagaimanakah kalau kita mengurusi harta benda kita dan memperbaiki apa yang telah terbuang.’ Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan perkataan kita :
‘Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.’
Kebinasaan adalah lebih mementingkan harta dan meninggalkan perang. Maka Abu Ayub terus berjuang di jalan Allah sehingga beliau dikubur di negeri Romawi. (Hadits Hasan Shahih Gharib, dishahihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahih Musnad min Asbabin Nuzul)
Pembaca yang budiman, setelah mengetahui betapa pentingnya pemahaman Salaf terhadap Al Qur’an Al Karim melalui contoh-contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa Al Qur’an harus dipahami dengan pemahaman Salaf radliyallahu ‘anhum. Dan tidak mungkin memahami Al Qur’an dengan benar selain pemahaman Salaf.
Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, men yuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran : 110)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sun gguh mereka telah mendapat petunjuk.”
(QS. Al Baqarah : 137)
Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Ibnu Mas’ud :
“Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian orang-orang yang setelah mereka lalu umat yang setelah orang-orang tersebut.” (Muttafaq ‘Alaih)
[Dikutip dari Membongkar kedok Al Qaradhawi halaman 75-78]

1.2.1.1. Bagaimana Cara Mengkaji Al Qur'an
1.2.1.2. Penyimpangan dalam Menafsirkan Al Qur'an
1.2.1.3. Perlunya Pengelompokan Ilmu-Ilmu Islam
1.2.1.4. Rancangan Pengelompokan Ayat-Ayat
1.2.1.5. Rancangan Pengetahuan tentang Al Qur'an 

0 komentar: