PENDAHULUAN
Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Terjadi proses “Iltibas bainal haq wal bathil,” percampuradukan antara nilai-nilai yang datang dari Islam dengan nilai-nilai batil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat agama budaya tersebut. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal.
Universalisme Sebagai Karakteristik Islam
Universalisme (al-’Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya: “Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam “. “Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam .
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya . Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari’ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan.
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschaung) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial .
PEMBAHASAN
Seperti di kemukakan di pada bagian pendahuluan, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam .
Akulturasi Islam dengan Budaya di Indonesia
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat .
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian .
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
PERPADUAN ANTARA SENI BUDAYA INDONESIA DENGAN
BUDAYA ISLAM PADA SENI BANGUNAN
Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam pada seni bangunan dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan lainnya.
1. Masjid
a.Atap (bagian yang melingkupi ruang bujur sangkar)
Atap bukan berupa kubah, melainkan berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Tingkatan paling atas membentuk limas. Jumlah tumpang selalu ganjil, biasanya 3, tapi ada juga yang lima seperti pada masjid Banten.
b. Menara
Menara Mesjid Kudus merupakan sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya serta diberi atap tumpang. Sedang menara Masjid Banten adalah tambahan yang diusahakan oleh seorang pelarian Belanda bernama Cardeel.
c. Letak Masjid
Pada umumnya masjid didirikan berdekatan dengan istana. Kalau di sebelah utara dan selatan istana biasanya terdapat sebuah lapangan, yang di Jawa disebut alun-alun, maka masjid didirikan di tepi barat alun-alun.
Masjid juga sering ditemukan di tempat-tempat keramat, yaitu tempat makam seorang raja, wali atau ahli agama yang termasyur. Masjid-masjid itu di antaranya:
• Masjid Agung Cirebon yang bertingkat dua dan dibangun pada awal abad ke-16 M.
• Masjid Katangka di Sulawesi Selatan dari abad ke-17 M.
• Masjid-masjid yang terdapat di Jakarta seperti Masjid Angke, Tambora, Marunda.
• Masjid Agung Demak yang terdiri abad ke-16 M.
• Masjid Baitturahman dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda.
• Masjid Ternate.
• Masjid Jepara.
• Masjid Agung Banten dibangun pada abad ke-16 M.
2. Makam
Kuburan atau makam biasanya diabadikan atau diperkuat dengan bangunan dari batu yang disebut jirat atau kijing. Di atas jirat ini sering juga didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah.
Makam tertua di Indonesia adalah makam Fatimah binti Maimun yang lebih terkenal dengan nama putri Suwari dileran (tahun 1082 M), dan makamnya justru diberi cungkup. Makam ini mirip candi. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke-11 M masyarakat masih terikat pada bentuk candi.
KESIMPULAN
Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal. Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam terdapat di berbagai aspek budaya dalam kompleksitas masyarakat Indonesia yang heterogen dan terutama pada seni bangunan sebagaimana yang diuraikan lebih jauh dalam makalah ini adalah dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan lainnya.
Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam diberbagai tempat merupakan hasil akulturasi dengan budaya lokal setempat. Hal ini terlihat dari atap masjid, menara, dan letak masjid. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam oleh Abdurrahman Wahid dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”. Editor: Budhy Munawwar Rahman. (Yayasan Paramadina, cet. I, Mei 1994)
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan” (Jakarta, cet. I, 1989)
Dr. Kuntowijoyo, “Paridigma Islam” (Mizan, cet. III, 1991)

0 komentar: