Bantahan Syubhat Al Qiyadah – Tidak memahami Al Qur’an dengan pemahaman Para Sahabat
0 komentar Diposting oleh adh-Dhoif al-Fakir di 09.21Tidak Merujuk Kepada Para Sahabat Dalam Memahami Al Qur’an
Pembaca yang budiman, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan kitab-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan bahasa kaumnya, yaitu bahasa Arab. Manusia yang paling memahami kandungan Al Qur’an setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah para shahabat radliyallahu ‘anhum. Hal ini karena beberapa alasan :
Pertama, Al Qur’an diturunkan dalam bahasa yang mereka pahami makna dan susunannya. Kedua, mereka hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sehingga apabila menemukan kesulitan dalam memahami Al Qur’an, mereka langsung merujuk dan menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu beliau memberitahukan jawabannya. Demikianlah, sehingga agama ini menjadi jelas bagi mereka. Ketiga, mereka adalah khairun nas (manusia terbaik) sebagaimana tersebut dalam hadits :
Pertama, Al Qur’an diturunkan dalam bahasa yang mereka pahami makna dan susunannya. Kedua, mereka hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sehingga apabila menemukan kesulitan dalam memahami Al Qur’an, mereka langsung merujuk dan menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu beliau memberitahukan jawabannya. Demikianlah, sehingga agama ini menjadi jelas bagi mereka. Ketiga, mereka adalah khairun nas (manusia terbaik) sebagaimana tersebut dalam hadits :
“Sebaik-baik manusia adalah masaku kemudian umat yang setelah mereka kemudian umat yang datang setelah umat tersebut.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu)
Kebaikan yang dimaksud dalam hadits ini mencakup pemahaman yang benar dan selamat. Maka pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah jauh lebih baik dari pemahaman orang-orang setelah mereka. Karena pemahaman orang yang baru masuk Islam terlebih dahulu lebih baik dari pemahaman orang-orang yang masuk Islam belakangan.
Untuk menjelaskannya, penulis memberikan beberapa teladan dari kehidupan shahabat radliyallahu ‘anhum.
Untuk menjelaskannya, penulis memberikan beberapa teladan dari kehidupan shahabat radliyallahu ‘anhum.
Teladan Pertama : Pemahaman Al Baqarah 158 Abdullah bin Zubair berkata :
Aku bertanya kepada Aisyah radliyallahu ‘anha lalu aku berkata : “Bagaimana penda pat engkau tentang firman Allah :
‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.’ (QS. Al Baqarah : 158)
‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.’ (QS. Al Baqarah : 158)
Maka demi Allah tidaklah dosa bagi seseorang yang tidak berthawaf antara Shafa dan Marwah?”
Aisyah menjawab : “Buruk sekali apa yang kau katakan wahai keponakanku, sesungguhnya ayat ini seandainya seperti apa yang kamu takwilkan pastilah tidak berdosa siapa yang tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar dahulu sebelum masuk Islam, mereka bertalbiyah untuk Manat (Ath Thaghut) yang mereka sembah di sisi AL Musyalil, sehingga orang yang hendak bertalbiyah merasa risih apabila sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka tatkala mereka masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal tersebut. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami merasa risih apabila kami sa’i antara Shafa dan Marwah!’ Lalu Allah menurunkan ayat tersebut di atas.” (HR. Bukhari dalam Shahiih Bukhari juz IV halaman 244)
Aisyah menjawab : “Buruk sekali apa yang kau katakan wahai keponakanku, sesungguhnya ayat ini seandainya seperti apa yang kamu takwilkan pastilah tidak berdosa siapa yang tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar dahulu sebelum masuk Islam, mereka bertalbiyah untuk Manat (Ath Thaghut) yang mereka sembah di sisi AL Musyalil, sehingga orang yang hendak bertalbiyah merasa risih apabila sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka tatkala mereka masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal tersebut. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami merasa risih apabila kami sa’i antara Shafa dan Marwah!’ Lalu Allah menurunkan ayat tersebut di atas.” (HR. Bukhari dalam Shahiih Bukhari juz IV halaman 244)
Pembaca yang budiman, dari hadits ini jelaslah bagi kita betapa pentingnya merujuk kepada pemahaman para Salaf terhadap Al Qur’an Al Karim.
Teladan Kedua : Pemahaman Ali Imran 188 Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Janganlah sekali-kali kamu men yangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu men yangka bahwa mereka terlepas dari sika dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran : 188)
Dhahir ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang gembira dengan sesuatu maka dia akan disiksa, termasuk di dalamnya orang yang gembira dengan istrinya, anaknya, hartanya, dan seterusnya. Inilah yang dipahami oleh sebagian shahabat pada waktu itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya :
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya :
Bahwa Marwan berkata kepada pengawalnya : “Pergilah, wahai Rafi’ kepada Ibnu Abbas dan katakanlah jikalau setiap orang yang gembira dengan apa yang diperoleh dan suka dipuji terhadap perbuatan yang belum dikerjakan akan disiksa, pastilah kita semua akan disiksa.”
Maka berkatalah Ibnu Abbas : “Tidak ada kaitannya pemahaman kalian dengan ayat ini. Tidak lain ayat ini berkenaan tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memanggil seorang yahudi maka beliau bertanya kepada mereka sesuatu hal lalu mereka menyembunyikannya dan memberitahukan hal yang lainnya. Maka mereka memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka suka dipuji dengan apa yang mereka beritakan dari pertanyaan beliau. Mereka pun bergembira dengan apa yang mereka peroleh dari perbuatan tersebut.” (Al Hadits)
Maka berkatalah Ibnu Abbas : “Tidak ada kaitannya pemahaman kalian dengan ayat ini. Tidak lain ayat ini berkenaan tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memanggil seorang yahudi maka beliau bertanya kepada mereka sesuatu hal lalu mereka menyembunyikannya dan memberitahukan hal yang lainnya. Maka mereka memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka suka dipuji dengan apa yang mereka beritakan dari pertanyaan beliau. Mereka pun bergembira dengan apa yang mereka peroleh dari perbuatan tersebut.” (Al Hadits)
Perhatikanlah saudaraku yang budiman, betapa pemahaman shahabat terhadap Al Qur’an adalah pemahaman yang berlandaskan ilmu dan talaqqi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berlainan dengan orang selain mereka. Sesungguhnya orang-orang tersebut terkadang tebersit dalam pemikiran salah satu dari mereka bukan pemahaman yang dimaksud. Demi Allah, begitu pula para tabi’in, mereka merujuk kepada pemahaman shahabat terhadap Al Qur’an. Selanjutnya begitu pula para ulama Ahlus Sunnah dan atsar mereka merujuk kepada para pendahulu mereka.
Teladan Ketiga : Pemahaman Al Baqarah 195 Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah : 195)
Pada masa tabi’in, ayat ini telah dipahami dengan tidak semestinya. At Tirmidzi telah mengeluarkan hadits dalam Kitab Sunan-nya dari jalan Abu ‘Imran At Tujiby, ia berkata :
Kita sedang berada di Romawi maka tentara Romawi mengeluarkan pasukan yang besar dan keluar juga orang Muslim sebanyak itu atau lebih. Pasukan Mesir dipimpin oleh ‘Uqbah bin ‘Amir dan jamaah lain dipimpin oleh Fadhalah bin ‘Ubaid. Tiba-tiba majulah salah seorang dari Muslimin ke arah barisan Romawi dan menerobos mereka maka orang-orang berteriak : “Subhanallah! Dia telah menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.”
Maka berdirilah Abu Ayub Al Anshari seraya berkata : “Wahai manusia, kalian telah menakwilkan ayat ini, tidak lain ayat ini turun berkenaan tentang kami kaum Anshar tatkala Allah memenangkan Islam dan banyaklah pendukungnya. Maka kami berbisik¬bisik tanpa sepengetahuan Rasulullah : ‘Harta kita telah terbuang, sekarang Allah telah memenangkan Islam dan banyaklah pendukungnya, bagaimanakah kalau kita mengurusi harta benda kita dan memperbaiki apa yang telah terbuang.’ Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan perkataan kita :
‘Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.’”
Pada masa tabi’in, ayat ini telah dipahami dengan tidak semestinya. At Tirmidzi telah mengeluarkan hadits dalam Kitab Sunan-nya dari jalan Abu ‘Imran At Tujiby, ia berkata :
Kita sedang berada di Romawi maka tentara Romawi mengeluarkan pasukan yang besar dan keluar juga orang Muslim sebanyak itu atau lebih. Pasukan Mesir dipimpin oleh ‘Uqbah bin ‘Amir dan jamaah lain dipimpin oleh Fadhalah bin ‘Ubaid. Tiba-tiba majulah salah seorang dari Muslimin ke arah barisan Romawi dan menerobos mereka maka orang-orang berteriak : “Subhanallah! Dia telah menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.”
Maka berdirilah Abu Ayub Al Anshari seraya berkata : “Wahai manusia, kalian telah menakwilkan ayat ini, tidak lain ayat ini turun berkenaan tentang kami kaum Anshar tatkala Allah memenangkan Islam dan banyaklah pendukungnya. Maka kami berbisik¬bisik tanpa sepengetahuan Rasulullah : ‘Harta kita telah terbuang, sekarang Allah telah memenangkan Islam dan banyaklah pendukungnya, bagaimanakah kalau kita mengurusi harta benda kita dan memperbaiki apa yang telah terbuang.’ Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan perkataan kita :
‘Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.’”
Kebinasaan adalah lebih mementingkan harta dan meninggalkan perang. Maka Abu Ayub terus berjuang di jalan Allah sehingga beliau dikubur di negeri Romawi. (Hadits Hasan Shahih Gharib, dishahihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahih Musnad min Asbabin Nuzul)
Pembaca yang budiman, setelah mengetahui betapa pentingnya pemahaman Salaf terhadap Al Qur’an Al Karim melalui contoh-contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa Al Qur’an harus dipahami dengan pemahaman Salaf radliyallahu ‘anhum. Dan tidak mungkin memahami Al Qur’an dengan benar selain pemahaman Salaf.
Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, men yuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran : 110)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sun gguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah : 137)
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sun gguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah : 137)
Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Ibnu Mas’ud :
“Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian orang-orang yang setelah mereka lalu umat yang setelah orang-orang tersebut.” (Muttafaq ‘Alaih)
[Dikutip dari Membongkar kedok Al Qaradhawi halaman 75-78]
1.2.1.1. Bagaimana Cara Mengkaji Al Qur'an
1.2.1.2. Penyimpangan dalam Menafsirkan Al Qur'an
1.2.1.3. Perlunya Pengelompokan Ilmu-Ilmu Islam
1.2.1.4. Rancangan Pengelompokan Ayat-Ayat
1.2.1.5. Rancangan Pengetahuan tentang Al Qur'an
“Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian orang-orang yang setelah mereka lalu umat yang setelah orang-orang tersebut.” (Muttafaq ‘Alaih)
[Dikutip dari Membongkar kedok Al Qaradhawi halaman 75-78]
1.2.1.1. Bagaimana Cara Mengkaji Al Qur'an
1.2.1.2. Penyimpangan dalam Menafsirkan Al Qur'an
1.2.1.3. Perlunya Pengelompokan Ilmu-Ilmu Islam
1.2.1.4. Rancangan Pengelompokan Ayat-Ayat
1.2.1.5. Rancangan Pengetahuan tentang Al Qur'an
Dalam disiplin keilmuan tradisional Islam, tauhid berada dalam posisi sejajar dengan fikih, tasawuf dan falsafah (Madjid, 1995: 177-285). Tauhid bersama fikih, tasawuf dan falsafah berkembang menjadi empat pilar keilmuan yang diakui sebagai aspek tak terpisahkan dari keberadaan Islam sebabagi sistem ajaran. Kehadiran secara bersama empat pilar keilmuan tersebut memungkingkan terbentuknya tatanan kehidupan yang menjujung tinggi etika. Jika ahlaq al-karimah merupakan “mahkota” dalam humanisme Islam (Syari’ati, 1992: 37-54), maka tauhid, fikih, tasawuf dan falsafah merupakan pilar penyanggah terwujudkan ahlaq al-karimah. Namun telaah secara saksama membawa kita pada kesimpulan, bahwa tauhid justru yang berperan besar sebagai landasan pijak perkembangan berbagai disiplin keilmuan tradisional Islam. Bahkan, tauhid merupakan faktor penentu perkembangan sains di dunia Islam selama sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13.
Dalam pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan. Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna dengan monoteisme (Rahman, 1999: 83). Maka, sesuatu yang benar-benar doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam kategori oneness, uniqueness dan transcendence. Secara demikian, Tuhan merupakan eksistensi yang berbeda dengan segala bentuk eksistensi yang dapat dikenal atau dapat diimajinasikan manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar), misalnya, merupakan konsepsi tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak terbatas kebesarannya serta tak dapat ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi atau wujud apa pun dalam realitas hidup manusia. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Begitu artikulatifnya monoteisme dalam ajaran Islam, sampai-sampai muncul konstatasi dalam Al Qur’an, bahwa sesungguhnya “manusia menurut fitrahnya beragama tauhid” (Q.S. [Ar-Rum] 30:30).
Sains dan Islam
Hal fundamental yang kemudian menarik ditelaah sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains, sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan berpijak pada perspektif tauhid, dinamika perkembangan Islam selama kurun waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh besarnya perhatian terhadap sains. Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan yang niscaya dengan perkembangan dan kamajuan sains, semuanya kembali pada hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan tauhid, terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang singkat, namun maknanya mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat dinamis dan progresif (Siroj, 2006: 59). Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis kekuasaan apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi (Siroj, 2006: 59-60).
Dari sini, alam semesta lalu dimengerti berdasarkan perspektif metafisika yang begitu spesifik, yaitu sebagai realitas yang relatif, dan karena itu dapat diberlakukan sebagai bentangan ontologis untuk melakukan observasi, eksperimentasi, penelitian dan bahkan menjadi basis untuk membangun serangkaian hipotesis. Mengingat alam semesta bukan sesuatu yang suci—dibandingkan kesucian Tuhan sebagaimana ditekankan dalam ajaran tauhid—maka alam semesta dengan mudahnya “diotak-atik” sebagai dasar untuk membangun dan atau menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan tauhid, tak ada kendala teologis untuk menyingkapkan hakikat alam semesta.
Selama abad ke-7 hingga abad ke-13, sains Islam merupakan pelanjut dari tradisi ilmiah Yunani kuno. Brush (2006) menjelaskan kenyataan tersebut dengan narasi kalimat: “Most of the important Greek scientific texts were preserved in Arabic translations. Although the Muslims did not alter the foundations of Greek science, they made several important contributions within its general framework. When interest in Greek learning revived in western Europe during the 12th and 13th centuries, scholars turned to Islāmic Spain for the scientific texts. A spate of translations resulted in the revival of Greek science in the West and coincided with the rise of the universities. Working within a predominantly Greek framework, scientists of the late Middle Ages reached high levels of sophistication and prepared the ground for the scientific revolution of the 16th and 17th centuries.”
Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak geneologinya pada terbentuknya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif Ilahi (Bakar, 1991: 74). Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual (Bakar, 1991: 74). Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan: (i) Menyatakan ketertundukan pada tauhid, dan (ii) elaborasi pemahaman secara saitifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al Qur’an kemudian berperan sebagai sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam (Baiquni, 1995: 9-62). Al Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual (Purwanto, 2008: 188-194). Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan (Bakar, 1991: 74).
Sains dalam formulasi tauhid, termaktub ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui. Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi” (Bakar, 1991: 74). Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu hal, bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua itu sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu menguasai semua itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam wilayah Ketuhanan. Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh, mengetuk serta masuk ke dalam wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat khazanah ilmu yang tak terbatas (Q.S. [Thaahaa] 20: 114).
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang berada di wilayah Ketuhanan, Nasr (1997) menggunakan istilah yang tepat: scientia sacra. Istilah ini digunakan untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian jauh menghantam dan memporak-porandakan ilmu pengetahuan. Desakralisasi dapat disimak ke dalam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, yaitu sejak sekitar permulaan abad ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap bersemayam di dalam wilayah Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub ke dalam ajaran tauhid, hanya Tuhan yang merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Siapa pun manusia, memang memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apa pun serta mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tak mendaptkan restu dari Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains bakal melalui jalan berliku yang rumit. Upaya saksama memelihara tauhid, dengan sendirinya merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu pengetahuan.
Apa yang lalu bisa dikatakan adalah ini. Desakralisasi ilmu pengetahuan merupakan gejala ketika sains ditahbiskan tidak lagi berasal dari Tuhan. Sains lalu dimengerti sebagai resultante dari setiap upaya partikular manusia yang tak ada hubungannya dengan Tuhan. Maka, hanyalah persoalan waktu jika kemudian sains berubah fungsi untuk sekadar menjadi instrumen perluasan antropologisme manusia. Ketika dengan ilmu pengetahuan manusia kehilangan dimensi Ketuhanan, maka dengan sendirinya sangatlah mudah bagi manusia untuk menjadikan sains sebagai alat pemukul demi mengalahkan orang lain dalam pergumulan memperebutkan materi dan kekuasaan politik. Sains lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari teknikalitas manusia untuk menipu manusia lain. Tentang hal tersebut Nasr menulis: “Kini manusia modern telah kehilangan sense of wonder, yang mengingatkan lenyapnya pengertian tentang kesucian pada suatu tingkat di mana manusia mendasarkan eksistensinya pada ilmu pengetahuan (Nasr, 1997: 2). Manusia lupa terhadap misteri yang ia dapat kembali “ke dalam” (inward) dunia yang tak terbatas (Nasr, 1997: 2).
Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri. Jalan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan bahwa niscaya bagi manusia untuk mengakui adanya yang absolut (Nasr, 1997: 3). Scientia sacra membawa manusia pada kebebasan dari semua kunkungan (Nasr, 1997: 357). Sebab, Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran (Nasr, 1997: 357).
Islam kini memasuki masa suram dalam pengembangan sains. Itulah mengapa, umat Islam dewasa ini hanya besar secara statistik demografis, namun lemah saat diharapkan mampu berada di garda depan mengembangkan sains. Umat Islam kini seakan menegasikan tingkat pencapaian yang gemilang di masa lampau dalam bidang pengembangan sains. Umat Islam dewasa ini tak memperlihatkan adanya kegairahan yang luar biasa dalam hal pengembangan sains, seperti terjadi di masa lampau. Umat Islam memang besar secara kuantitas, tetapi tidak secara kualitas. Apakah ini merupakan fakta konkret dari apa yang pernah dinyatakan dalam Hadist Nabi Muhammad saw, bahwa pada suatu massa umat Islam tak lebih hanyalah buih di lautan? Besar memang, tapi buih itu hanya dihempaskan ombak ke bibir-bibir pantai. Tak lebih dan tak kurang.
Kenyataan ini lantas memunculkan pertanyaan bernuansa hipotetik. Apa yang salah dengan Tauhid kaum Muslim dewasa ini? Mengapa ajaran tauhid gagal dicerap sebagai fundamen terbentuknya ilmu pengetahuan? Pijakan baru apa yang niscaya ada agar tauhid kembali menjadi sumber inspirasi lahirnya sains Islam yang pernah gemilang pada zamannya?
Konservatisme dan Penangkalnya
Sulit dipungkiri fakta dan kenyataan, kaum Muslim dewasa ini terbelenggu ke dalam gejala konservatisme. Berbagai pembicaraan tentang tauhid tidak secara nuchter ditujukan untuk melakukan upaya-upaya saksama pengembangan sains, seperti di masa lampau. Pembicaraan tentang tauhid berada dalam suatu tendensi untuk memperkuat politik identitas demi memenangkan pertarungan memperebutkan kuasa politik dan atau kuasa ekonomi. Ketika tauhid menjadi dasar terbentuknya bangunan sains, maka Islam sebagai ajaran mengedepan sebagai inspirasi. Tetapi ketika Islam berhenti sekadar sebagai politik identitas, maka Islam mengedepan sebagai aspirasi (Siroj, 2006). Itulah mengapa pembicaraan tentang tauhid pada akhirnya melulu dihubungkan dengan “kebenaran” Islam sebagai agama yang diperbandingkan dengan “kebenaran” agama-agama lain. Pada derajat tertentu, ekspresi pembicaraan tentang tauhid lalu bernuansa konfliktual dalam pertautan hubungan antara umat Islam dan umat beragama lain.
Sebuah telaah kritis yang tertuang ke dalam karya Harris (2004) memperlihatkan menguatnya gejala konservatisme. Sebagai konsekuensinya, tauhid cenderung untuk hanya dikait-hubungkan dengan gerakan-gerakan teror, yakni sebuah gerakan yang mengambil jalan kekerasan untuk mengubah atau memprotes situasi ketidakadilan dengan menggunakan label-label Islam. Karya Harris ini memperlihatkan satu hal secara sangat jelas, bahwa apa yang disebut the problem with Islam (Harris, 2004: 108-152) ialah berakhirnya tauhid sebagai dasar pengembangan sains. Ajaran Islam yang bersukmakan tauhid itu lalu tampak ke permukaan sebagai realitas anti-rasio atau mengingkari makna penting rasio—sebagai instrumen pengembangan sains. Ajaran-ajaran Islam yang berkembang pada hari ini lalu mengamputasi rasio dalam struktur kesadaran beragama umat. Ketika sudah tak lagi menjadi landasan pijak pengembangan sains, tauhid malah menjadi dasar munculnya radikalisme yang mengatas-namakan Islam.
Tak dapat dinafikan, para ilmuwan Muslim di masa lampau telah menemukan aljabar, menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles serta memberikan sumbangan terhadap perkembangan sains di Eropa, justru tatkala Kristenitas sendiri masih abai terhadap arti penting sains (Harris, 2004: 108). Juga melalui kekuasaan Islam di Spanyol (719-1036), teks-teks klasik Yunani diperkenalkan ke Eropa, dan dari teks klasik Yunani itulah Eropa memasuki era Renaissance (Harris, 2004: 108). Masalahnya, Islam dewasa ini terdiferensiasi ke dalam kelompok moderat dan fundamentalis. Melalui upaya yang begitu asertif, kelompok-kelompok fundamentalis mengedepankan pentingnya mempertegas timbulnya friksi dan pertarungan antara House of Islam atau Dar al-Islam dan House of War atau Dar al-Harb, sehingga Islam berkedudukan versus non-Islam (Harris, 2004: 110; Huntington, 1996: 32). Apa yang penting digarisbawahi di sini, ialah energi besar umat yang menjadikan tauhid sebagai titik tolak untuk hanya meletupkan radikalisme. Tragisnya lagi, elemen-elemen moderat pada masyarakat Islam kontemporer tak cukup memiliki kapasitas untuk menjadikan tauhid sebagai dasar pengembangan sains.
Sampai kapan konservatisme ini bakal bergemuruh? Mungkinkah ditemukan sebuah jalan keluar dari konservatisme semacam ini?
Pelan tapi pasti, di kalangan ilmuwan Muslim Indonesia muncul serangkaian otokritik terhadap runtuhnya kemampuan umat untuk menjadikan tauhid sebagai dasar mengukuhkan bangunan sains, yaitu sains Islam atau sains yang mengambil titik pijak dari scientia sacra Islam. Dua ilmuwan Muslim Indonesia kontemporer yang akan disinggung pemikirannya dalam konteks ini ialah Kuntowijoyo (1991) dan Armahedi Mahzar Mahzar (2004). Dalam pengertiannya yang luas, apa yang ditulis oleh dua ilmuwan tersebut, melalui buku-buku mereka, sesungguhnya dilandasi semangat untuk menjadikan tauhid sebagai fundamen terbentuknya bangunan sains. Jika tauhid dan kemajuan sains dalam tilikan Kuntowijoyo bermuara pada transformasi masyarakat, dalam karya Armahedi Mahzar berarti terciptanya sains berdasarkan apa yang ia sebut “Integralisme Islam”.
Transformasi Masyarakat
Dalam aksentuasi Kuntowijoyo (1991: 228-229), tauhid merupakan suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan. Sistem nilai tauhid mendasarkan diri pada pandangan semacam ini (Kuntowijoyo, 1991: 229). Tuntutan agar umat Islam mengembangkan sains untuk memajukan kehidupan, berimplikasi pada munculnya humanisme-teosentris. Transformasi masyarakat dalam perspektif Islam pun memiliki tujuan yang pasti, yaitu terbentuknya humanisme-teosentris (Kuntowijoyo, 1991: 229).
Agaknya, bagi Kuntowijoyo, upaya untuk melakukan penilikan terhadap tauhid sebagai basis tegaknya sains memang terkait dengan kata kunci humanisme-teosentris. Kuntowijoyo (1991: 167) lalu menulis seperti ini: “… iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil al-‘alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.” Apa yang menarik dari Kuntowijoyo ialah tawaran ke arah terciptanya ilmu sosial profetik (Kuntowijoyo, 1991: 286) yang sepenuhnya mengambil titik tolak dari ajaran tauhid untuk membentuk sebuah paradigma transformasi masyarakat. Namun pertanyaan krusialnya, apakah teologi Islam memang memungkinkan memenuhi cita-cita transformatif Kuntowijoyo?
Demi menjawab pertanyaan tersebut, Kontowijoyo (1991: 167) menulis seperti ini: ”Berbeda dengan pengertian agama sebagaimana dipahami oleh Barat, Islam bukanlah sebuah sistem teokrasi, yaitu sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta; bukan pula ia merupakan sebuah cara berpikir yang didikte oleh teologi. Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain dunia dan domain agama. Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga serba-pemikiran-teologi bukanlah karakter Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya.”
Dalam tulisannya, Kuntowijoyo berbicara tentang suatu model transformasi agar tauhid kembali menjadi landasan pijak mengembangan sains, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. Kontowijoyo (1991: 287) lalu menyinggung “pembaruan teologi” dalam tiga pengertian. Pertama, melakukan tafsir baru terhadap Islam dalam rangka memahami realitas yang begitu rumit dan kompleks. Kedua, metode yang diberlakukan untuk melakukan tafsir baru merupakan hasil elaborasi ajaran-ajaran Islam ke dalam suatu bentuk teori sosial. Ketiga, semua itu dilakukan sebagai rekayasa untuk transformasi masyarakat. Dengan demikian, lingkup persoalan tak hanya bersangkut paut dengan aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi juga bersinggungan dengan aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Boleh dikata, ini merupakan upaya menemukan sains Islam khas Indonesia yang mengambil titik tolak dari terjadinya transformasi ajaran-ajaran Islam menjadi teori-teori sosial. Sebagaimana dilakukan hingga akhir hayatnya, sejarahwan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dengan caranya sendiri telah melakukan upaya transformasi, yang oleh M. Dawam Rahardjo kemudian ditengarai sebagai keberhasilan Kuntowijoyo mengembangkan ilmu sejarah profetik untuk tujuan besar analisis transformasi masyarakat (Rahardjo, 1991: 11-19).
Integralisme Islam
Melalui upaya penilikan terhadap perkembangan sains dan teknologi yang bergulir sejak abad ke-17, Armahedi Mahzar (2004) sampai pada kesimpulan bahwa sains Barat bercorak reduksionistis, atomistik dan parsialis dalam memandang kenyataan. Barat terbukti gagal memahami dan mengendalikan implikasi dari perkembangan sains dan teknologi yang lahir dari sains Barat. Sebagai respons atas kenyataan tersebut, posmodernisme tampil ke depan dengan menawarkan pandangan alternatif, yaitu postrukturalisme dan holisme. Tapi, tragisnya, posmodernisme tak bisa mengelak sepenuhnya dari watak paradigma modern yang cenderung atomistis dan parsialis. Atas dasar ini, Armahedi Mahzar lalu mengajukan sebuah paradigma yang ia sebut sebagai “Integralisme Islam”. Dalam maknanya yang simplistis, Integralisme merupakan suatu wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu—sains, teknologi, seni, budaya dan agama.
Secara psikologis, Integralisme merupakan sejenis sintesis antara behaviorisme John B. Watson yang materialistik, psikoanalisis Sigmund Freud yang energetik, kognitivisme Jean Pieget yang informatik, psikologi humanistik Abraham Maslow yang valuasional, dan psikologi mistik tradisional yang transpersonal. Secara sosiologis, Integralisme merupakan sistesis dari metarialisme Karl Marx dan idealisme G.W.F. Hegel. Secara biologis, Integralisme merupakan sintesis dari neodarwinisme yang informatik dan filsafat vitalisme Henry Bergson yang energetik. Secara kosmologis, Integralisme merupakan suatu sintesis antara monisme Baruch Spinoza dan pluralisme G.W. Leibniz, dengan memasukkan alam akhirat ke dalam skema kosmologis yang utuh dan terpadu. Secara ontologis, Integralisme merupakan suatu sintesis filsafat Barat modern yang mengingkari transendensi dan filsafat Timur tradisional yang mendalami imanensi dalam suatu kesatuan logis, dan bukan sebuah sinkretisme asosiatif, yang mengembalikan transendensi teologis ke dalam filsafat Barat modern. Pendek kata, Integralisme menyatukan aspek-aspek psikologis, sosiologis, biologis, kosmologis, dan ontologis dengan cara membentuk sebuah kesatuan dengan dua hierarki—horizontal dan vertikal—yang dapat disebut sebagai realitas integral.
Hal fundamental yang menarik digarisbawahi dari Armahedi Mahzar adalah dialog sains dan agama (Mahzar, 2004: 210-220). Bahwa secara intrinsik, tak ada pertentangan antara sains dan Islam. Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsafat Yunani terlalu deduktif, yang lebih berdasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi oleh pengamatan empiris sebagaimana yang diperintahkan dalam Al Qur’an. “Itulah sebabnya,” tulis Armahedi Mahzar, “di tangan ilmuwan Muslim, sains berkembang dengan pesat. Pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuwan Muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun, rasionalitas sains tak dapat dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral” (Mahzar, 2004: 210-211).
Namun ke depan, pengembangan sains Islam bakal terbentuk persoalan besar. Armahedi Mahzar menegaskan, bahwa ilmu mengenai benda-benda yang disebut sebagai sains tak dapat dipisahkan dari ilmu mengenai cara yang disebut teknologi. Teknologi sebagai penerapan sains juga terdiri dari empat komponen atau strata eksistensial yang berkaitan dengan materi, energi, informasi, dan nilai” (Mahzar, 2004: 224). Dalam konteks ini, peranan tauhid sebagai sentralitas keyakinan Muslim perlu diperteguh dengan memperkukuhnya menjadi suatu pandangan dunia transformatif dalam rangka menangkal deislamisasi global (Mahzar, 2004: 262). Sementara, deislamisasi global terpampang ke dalam beberapa fakta berikut (Mahzar, 2004: 261-262):
Pertama, dominasi teknologi cetak memungkinkan terbentuknya revolusi ilmiah yang diikuti oleh revolusi industri. Revolusi industri yang berkaitan dengan pandangan dunia saintifik dan ideologis mendasari masyarakat kapitalis industrial dengan orientasi rasional. Revolusi komunikasi radio memungkinkan dominannya pandangan dunia ideologis dengan sistem kapitalisme imperilais transnasional. Kedua, revolusi komunikasi televisi mendorong pandangan dunia yang bersifat imagologis dalam suatu masyarakat dunia yang didominasi kapitalisme korporasi multinasional. Dengan revolusi komunikasi dan informasi digital dan internet, maka semua bentuk pandangan dunia terpadu dalam skala global.
Armahedi Mahzar lalu menulis seperti ini: “Dalam era teknologi informasi digital global ini, sistem kapitalisme global merangsang gaya hidup konsumtif materialistis melalui imagologi hiper-realitas. Imagologi hiper-realitas yang membungkus ideologi materialistis, filsafat humanistis, teologi ateis, dan mitologi sekularistik yang tersembunyi. Pendeknya, dunia budaya postmodern yang pluralistis ditampilkan untuk kolonisasi mental melalui virus-virus virtual seraya menyembunyikan hegemonisme monopolistik kapitalisme global.” Di sini Armahedi Mahzar berbicara tentang agama baru yang sekuler dan profan dengan ilah baru berupa materialisme teknologis ilmiah lengkap dengan ritual budaya ekonomi konsumeristik: budaya yang gemerlap duniawi dan badani melalui citraan-citraan dan disinformasi sistematik telemedia global. Maka, diperlukan sebuah ideologi rasional komprehensif untuk menyiasati gelombang serbuan budaya deislamisasi. Lebih lanjut, Armahedi Mahzar menulis: “Serbuan deislamisasi itu sejatinya adalah fenomena permukaan dari proses pengisapan kekayaan material negeri-negeri Muslim. Proses pengisapan yang direkayasa melalui sistem pasar bebas global kapitalistik yang pada hakikatnya timpang” (Mahzar, 2004: 262).
Catatan Penutup
Tauhid sebagai landasan pijak untuk memajukan sains masih mungkin dilakukan umat Islam kini dan di masa depan. Namun demikian, dibutuhkan upaya saksama memperbaiki keadaan. Pemaparan tentang pandangan Kuntowijoyo berkenaan dengan transformasi masyarakat mengilustrasikan adanya kendala internal umat Islam untuk memajukan sains. Sementara titik tekan dari apa yang dipaparkan Armahedi Mazhar terkait dengan tantangan yang bersifat eksternal. Maka, upaya memajukan sains Islam berlandaskan tauhid harus mempertimbangkan tantangan internal dan eksternal tersebut.
Dalam pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan. Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna dengan monoteisme (Rahman, 1999: 83). Maka, sesuatu yang benar-benar doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam kategori oneness, uniqueness dan transcendence. Secara demikian, Tuhan merupakan eksistensi yang berbeda dengan segala bentuk eksistensi yang dapat dikenal atau dapat diimajinasikan manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar), misalnya, merupakan konsepsi tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak terbatas kebesarannya serta tak dapat ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi atau wujud apa pun dalam realitas hidup manusia. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Begitu artikulatifnya monoteisme dalam ajaran Islam, sampai-sampai muncul konstatasi dalam Al Qur’an, bahwa sesungguhnya “manusia menurut fitrahnya beragama tauhid” (Q.S. [Ar-Rum] 30:30).
Sains dan Islam
Hal fundamental yang kemudian menarik ditelaah sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains, sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan berpijak pada perspektif tauhid, dinamika perkembangan Islam selama kurun waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh besarnya perhatian terhadap sains. Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan yang niscaya dengan perkembangan dan kamajuan sains, semuanya kembali pada hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan tauhid, terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang singkat, namun maknanya mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat dinamis dan progresif (Siroj, 2006: 59). Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis kekuasaan apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi (Siroj, 2006: 59-60).
Dari sini, alam semesta lalu dimengerti berdasarkan perspektif metafisika yang begitu spesifik, yaitu sebagai realitas yang relatif, dan karena itu dapat diberlakukan sebagai bentangan ontologis untuk melakukan observasi, eksperimentasi, penelitian dan bahkan menjadi basis untuk membangun serangkaian hipotesis. Mengingat alam semesta bukan sesuatu yang suci—dibandingkan kesucian Tuhan sebagaimana ditekankan dalam ajaran tauhid—maka alam semesta dengan mudahnya “diotak-atik” sebagai dasar untuk membangun dan atau menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan tauhid, tak ada kendala teologis untuk menyingkapkan hakikat alam semesta.
Selama abad ke-7 hingga abad ke-13, sains Islam merupakan pelanjut dari tradisi ilmiah Yunani kuno. Brush (2006) menjelaskan kenyataan tersebut dengan narasi kalimat: “Most of the important Greek scientific texts were preserved in Arabic translations. Although the Muslims did not alter the foundations of Greek science, they made several important contributions within its general framework. When interest in Greek learning revived in western Europe during the 12th and 13th centuries, scholars turned to Islāmic Spain for the scientific texts. A spate of translations resulted in the revival of Greek science in the West and coincided with the rise of the universities. Working within a predominantly Greek framework, scientists of the late Middle Ages reached high levels of sophistication and prepared the ground for the scientific revolution of the 16th and 17th centuries.”
Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak geneologinya pada terbentuknya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif Ilahi (Bakar, 1991: 74). Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual (Bakar, 1991: 74). Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan: (i) Menyatakan ketertundukan pada tauhid, dan (ii) elaborasi pemahaman secara saitifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al Qur’an kemudian berperan sebagai sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam (Baiquni, 1995: 9-62). Al Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual (Purwanto, 2008: 188-194). Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan (Bakar, 1991: 74).
Sains dalam formulasi tauhid, termaktub ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui. Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi” (Bakar, 1991: 74). Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu hal, bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua itu sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu menguasai semua itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam wilayah Ketuhanan. Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh, mengetuk serta masuk ke dalam wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat khazanah ilmu yang tak terbatas (Q.S. [Thaahaa] 20: 114).
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang berada di wilayah Ketuhanan, Nasr (1997) menggunakan istilah yang tepat: scientia sacra. Istilah ini digunakan untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian jauh menghantam dan memporak-porandakan ilmu pengetahuan. Desakralisasi dapat disimak ke dalam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, yaitu sejak sekitar permulaan abad ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap bersemayam di dalam wilayah Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub ke dalam ajaran tauhid, hanya Tuhan yang merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Siapa pun manusia, memang memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apa pun serta mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tak mendaptkan restu dari Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains bakal melalui jalan berliku yang rumit. Upaya saksama memelihara tauhid, dengan sendirinya merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu pengetahuan.
Apa yang lalu bisa dikatakan adalah ini. Desakralisasi ilmu pengetahuan merupakan gejala ketika sains ditahbiskan tidak lagi berasal dari Tuhan. Sains lalu dimengerti sebagai resultante dari setiap upaya partikular manusia yang tak ada hubungannya dengan Tuhan. Maka, hanyalah persoalan waktu jika kemudian sains berubah fungsi untuk sekadar menjadi instrumen perluasan antropologisme manusia. Ketika dengan ilmu pengetahuan manusia kehilangan dimensi Ketuhanan, maka dengan sendirinya sangatlah mudah bagi manusia untuk menjadikan sains sebagai alat pemukul demi mengalahkan orang lain dalam pergumulan memperebutkan materi dan kekuasaan politik. Sains lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari teknikalitas manusia untuk menipu manusia lain. Tentang hal tersebut Nasr menulis: “Kini manusia modern telah kehilangan sense of wonder, yang mengingatkan lenyapnya pengertian tentang kesucian pada suatu tingkat di mana manusia mendasarkan eksistensinya pada ilmu pengetahuan (Nasr, 1997: 2). Manusia lupa terhadap misteri yang ia dapat kembali “ke dalam” (inward) dunia yang tak terbatas (Nasr, 1997: 2).
Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri. Jalan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan bahwa niscaya bagi manusia untuk mengakui adanya yang absolut (Nasr, 1997: 3). Scientia sacra membawa manusia pada kebebasan dari semua kunkungan (Nasr, 1997: 357). Sebab, Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran (Nasr, 1997: 357).
Islam kini memasuki masa suram dalam pengembangan sains. Itulah mengapa, umat Islam dewasa ini hanya besar secara statistik demografis, namun lemah saat diharapkan mampu berada di garda depan mengembangkan sains. Umat Islam kini seakan menegasikan tingkat pencapaian yang gemilang di masa lampau dalam bidang pengembangan sains. Umat Islam dewasa ini tak memperlihatkan adanya kegairahan yang luar biasa dalam hal pengembangan sains, seperti terjadi di masa lampau. Umat Islam memang besar secara kuantitas, tetapi tidak secara kualitas. Apakah ini merupakan fakta konkret dari apa yang pernah dinyatakan dalam Hadist Nabi Muhammad saw, bahwa pada suatu massa umat Islam tak lebih hanyalah buih di lautan? Besar memang, tapi buih itu hanya dihempaskan ombak ke bibir-bibir pantai. Tak lebih dan tak kurang.
Kenyataan ini lantas memunculkan pertanyaan bernuansa hipotetik. Apa yang salah dengan Tauhid kaum Muslim dewasa ini? Mengapa ajaran tauhid gagal dicerap sebagai fundamen terbentuknya ilmu pengetahuan? Pijakan baru apa yang niscaya ada agar tauhid kembali menjadi sumber inspirasi lahirnya sains Islam yang pernah gemilang pada zamannya?
Konservatisme dan Penangkalnya
Sulit dipungkiri fakta dan kenyataan, kaum Muslim dewasa ini terbelenggu ke dalam gejala konservatisme. Berbagai pembicaraan tentang tauhid tidak secara nuchter ditujukan untuk melakukan upaya-upaya saksama pengembangan sains, seperti di masa lampau. Pembicaraan tentang tauhid berada dalam suatu tendensi untuk memperkuat politik identitas demi memenangkan pertarungan memperebutkan kuasa politik dan atau kuasa ekonomi. Ketika tauhid menjadi dasar terbentuknya bangunan sains, maka Islam sebagai ajaran mengedepan sebagai inspirasi. Tetapi ketika Islam berhenti sekadar sebagai politik identitas, maka Islam mengedepan sebagai aspirasi (Siroj, 2006). Itulah mengapa pembicaraan tentang tauhid pada akhirnya melulu dihubungkan dengan “kebenaran” Islam sebagai agama yang diperbandingkan dengan “kebenaran” agama-agama lain. Pada derajat tertentu, ekspresi pembicaraan tentang tauhid lalu bernuansa konfliktual dalam pertautan hubungan antara umat Islam dan umat beragama lain.
Sebuah telaah kritis yang tertuang ke dalam karya Harris (2004) memperlihatkan menguatnya gejala konservatisme. Sebagai konsekuensinya, tauhid cenderung untuk hanya dikait-hubungkan dengan gerakan-gerakan teror, yakni sebuah gerakan yang mengambil jalan kekerasan untuk mengubah atau memprotes situasi ketidakadilan dengan menggunakan label-label Islam. Karya Harris ini memperlihatkan satu hal secara sangat jelas, bahwa apa yang disebut the problem with Islam (Harris, 2004: 108-152) ialah berakhirnya tauhid sebagai dasar pengembangan sains. Ajaran Islam yang bersukmakan tauhid itu lalu tampak ke permukaan sebagai realitas anti-rasio atau mengingkari makna penting rasio—sebagai instrumen pengembangan sains. Ajaran-ajaran Islam yang berkembang pada hari ini lalu mengamputasi rasio dalam struktur kesadaran beragama umat. Ketika sudah tak lagi menjadi landasan pijak pengembangan sains, tauhid malah menjadi dasar munculnya radikalisme yang mengatas-namakan Islam.
Tak dapat dinafikan, para ilmuwan Muslim di masa lampau telah menemukan aljabar, menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles serta memberikan sumbangan terhadap perkembangan sains di Eropa, justru tatkala Kristenitas sendiri masih abai terhadap arti penting sains (Harris, 2004: 108). Juga melalui kekuasaan Islam di Spanyol (719-1036), teks-teks klasik Yunani diperkenalkan ke Eropa, dan dari teks klasik Yunani itulah Eropa memasuki era Renaissance (Harris, 2004: 108). Masalahnya, Islam dewasa ini terdiferensiasi ke dalam kelompok moderat dan fundamentalis. Melalui upaya yang begitu asertif, kelompok-kelompok fundamentalis mengedepankan pentingnya mempertegas timbulnya friksi dan pertarungan antara House of Islam atau Dar al-Islam dan House of War atau Dar al-Harb, sehingga Islam berkedudukan versus non-Islam (Harris, 2004: 110; Huntington, 1996: 32). Apa yang penting digarisbawahi di sini, ialah energi besar umat yang menjadikan tauhid sebagai titik tolak untuk hanya meletupkan radikalisme. Tragisnya lagi, elemen-elemen moderat pada masyarakat Islam kontemporer tak cukup memiliki kapasitas untuk menjadikan tauhid sebagai dasar pengembangan sains.
Sampai kapan konservatisme ini bakal bergemuruh? Mungkinkah ditemukan sebuah jalan keluar dari konservatisme semacam ini?
Pelan tapi pasti, di kalangan ilmuwan Muslim Indonesia muncul serangkaian otokritik terhadap runtuhnya kemampuan umat untuk menjadikan tauhid sebagai dasar mengukuhkan bangunan sains, yaitu sains Islam atau sains yang mengambil titik pijak dari scientia sacra Islam. Dua ilmuwan Muslim Indonesia kontemporer yang akan disinggung pemikirannya dalam konteks ini ialah Kuntowijoyo (1991) dan Armahedi Mahzar Mahzar (2004). Dalam pengertiannya yang luas, apa yang ditulis oleh dua ilmuwan tersebut, melalui buku-buku mereka, sesungguhnya dilandasi semangat untuk menjadikan tauhid sebagai fundamen terbentuknya bangunan sains. Jika tauhid dan kemajuan sains dalam tilikan Kuntowijoyo bermuara pada transformasi masyarakat, dalam karya Armahedi Mahzar berarti terciptanya sains berdasarkan apa yang ia sebut “Integralisme Islam”.
Transformasi Masyarakat
Dalam aksentuasi Kuntowijoyo (1991: 228-229), tauhid merupakan suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan. Sistem nilai tauhid mendasarkan diri pada pandangan semacam ini (Kuntowijoyo, 1991: 229). Tuntutan agar umat Islam mengembangkan sains untuk memajukan kehidupan, berimplikasi pada munculnya humanisme-teosentris. Transformasi masyarakat dalam perspektif Islam pun memiliki tujuan yang pasti, yaitu terbentuknya humanisme-teosentris (Kuntowijoyo, 1991: 229).
Agaknya, bagi Kuntowijoyo, upaya untuk melakukan penilikan terhadap tauhid sebagai basis tegaknya sains memang terkait dengan kata kunci humanisme-teosentris. Kuntowijoyo (1991: 167) lalu menulis seperti ini: “… iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil al-‘alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.” Apa yang menarik dari Kuntowijoyo ialah tawaran ke arah terciptanya ilmu sosial profetik (Kuntowijoyo, 1991: 286) yang sepenuhnya mengambil titik tolak dari ajaran tauhid untuk membentuk sebuah paradigma transformasi masyarakat. Namun pertanyaan krusialnya, apakah teologi Islam memang memungkinkan memenuhi cita-cita transformatif Kuntowijoyo?
Demi menjawab pertanyaan tersebut, Kontowijoyo (1991: 167) menulis seperti ini: ”Berbeda dengan pengertian agama sebagaimana dipahami oleh Barat, Islam bukanlah sebuah sistem teokrasi, yaitu sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta; bukan pula ia merupakan sebuah cara berpikir yang didikte oleh teologi. Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain dunia dan domain agama. Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga serba-pemikiran-teologi bukanlah karakter Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya.”
Dalam tulisannya, Kuntowijoyo berbicara tentang suatu model transformasi agar tauhid kembali menjadi landasan pijak mengembangan sains, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. Kontowijoyo (1991: 287) lalu menyinggung “pembaruan teologi” dalam tiga pengertian. Pertama, melakukan tafsir baru terhadap Islam dalam rangka memahami realitas yang begitu rumit dan kompleks. Kedua, metode yang diberlakukan untuk melakukan tafsir baru merupakan hasil elaborasi ajaran-ajaran Islam ke dalam suatu bentuk teori sosial. Ketiga, semua itu dilakukan sebagai rekayasa untuk transformasi masyarakat. Dengan demikian, lingkup persoalan tak hanya bersangkut paut dengan aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi juga bersinggungan dengan aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Boleh dikata, ini merupakan upaya menemukan sains Islam khas Indonesia yang mengambil titik tolak dari terjadinya transformasi ajaran-ajaran Islam menjadi teori-teori sosial. Sebagaimana dilakukan hingga akhir hayatnya, sejarahwan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dengan caranya sendiri telah melakukan upaya transformasi, yang oleh M. Dawam Rahardjo kemudian ditengarai sebagai keberhasilan Kuntowijoyo mengembangkan ilmu sejarah profetik untuk tujuan besar analisis transformasi masyarakat (Rahardjo, 1991: 11-19).
Integralisme Islam
Melalui upaya penilikan terhadap perkembangan sains dan teknologi yang bergulir sejak abad ke-17, Armahedi Mahzar (2004) sampai pada kesimpulan bahwa sains Barat bercorak reduksionistis, atomistik dan parsialis dalam memandang kenyataan. Barat terbukti gagal memahami dan mengendalikan implikasi dari perkembangan sains dan teknologi yang lahir dari sains Barat. Sebagai respons atas kenyataan tersebut, posmodernisme tampil ke depan dengan menawarkan pandangan alternatif, yaitu postrukturalisme dan holisme. Tapi, tragisnya, posmodernisme tak bisa mengelak sepenuhnya dari watak paradigma modern yang cenderung atomistis dan parsialis. Atas dasar ini, Armahedi Mahzar lalu mengajukan sebuah paradigma yang ia sebut sebagai “Integralisme Islam”. Dalam maknanya yang simplistis, Integralisme merupakan suatu wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu—sains, teknologi, seni, budaya dan agama.
Secara psikologis, Integralisme merupakan sejenis sintesis antara behaviorisme John B. Watson yang materialistik, psikoanalisis Sigmund Freud yang energetik, kognitivisme Jean Pieget yang informatik, psikologi humanistik Abraham Maslow yang valuasional, dan psikologi mistik tradisional yang transpersonal. Secara sosiologis, Integralisme merupakan sistesis dari metarialisme Karl Marx dan idealisme G.W.F. Hegel. Secara biologis, Integralisme merupakan sintesis dari neodarwinisme yang informatik dan filsafat vitalisme Henry Bergson yang energetik. Secara kosmologis, Integralisme merupakan suatu sintesis antara monisme Baruch Spinoza dan pluralisme G.W. Leibniz, dengan memasukkan alam akhirat ke dalam skema kosmologis yang utuh dan terpadu. Secara ontologis, Integralisme merupakan suatu sintesis filsafat Barat modern yang mengingkari transendensi dan filsafat Timur tradisional yang mendalami imanensi dalam suatu kesatuan logis, dan bukan sebuah sinkretisme asosiatif, yang mengembalikan transendensi teologis ke dalam filsafat Barat modern. Pendek kata, Integralisme menyatukan aspek-aspek psikologis, sosiologis, biologis, kosmologis, dan ontologis dengan cara membentuk sebuah kesatuan dengan dua hierarki—horizontal dan vertikal—yang dapat disebut sebagai realitas integral.
Hal fundamental yang menarik digarisbawahi dari Armahedi Mahzar adalah dialog sains dan agama (Mahzar, 2004: 210-220). Bahwa secara intrinsik, tak ada pertentangan antara sains dan Islam. Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsafat Yunani terlalu deduktif, yang lebih berdasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi oleh pengamatan empiris sebagaimana yang diperintahkan dalam Al Qur’an. “Itulah sebabnya,” tulis Armahedi Mahzar, “di tangan ilmuwan Muslim, sains berkembang dengan pesat. Pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuwan Muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun, rasionalitas sains tak dapat dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral” (Mahzar, 2004: 210-211).
Namun ke depan, pengembangan sains Islam bakal terbentuk persoalan besar. Armahedi Mahzar menegaskan, bahwa ilmu mengenai benda-benda yang disebut sebagai sains tak dapat dipisahkan dari ilmu mengenai cara yang disebut teknologi. Teknologi sebagai penerapan sains juga terdiri dari empat komponen atau strata eksistensial yang berkaitan dengan materi, energi, informasi, dan nilai” (Mahzar, 2004: 224). Dalam konteks ini, peranan tauhid sebagai sentralitas keyakinan Muslim perlu diperteguh dengan memperkukuhnya menjadi suatu pandangan dunia transformatif dalam rangka menangkal deislamisasi global (Mahzar, 2004: 262). Sementara, deislamisasi global terpampang ke dalam beberapa fakta berikut (Mahzar, 2004: 261-262):
Pertama, dominasi teknologi cetak memungkinkan terbentuknya revolusi ilmiah yang diikuti oleh revolusi industri. Revolusi industri yang berkaitan dengan pandangan dunia saintifik dan ideologis mendasari masyarakat kapitalis industrial dengan orientasi rasional. Revolusi komunikasi radio memungkinkan dominannya pandangan dunia ideologis dengan sistem kapitalisme imperilais transnasional. Kedua, revolusi komunikasi televisi mendorong pandangan dunia yang bersifat imagologis dalam suatu masyarakat dunia yang didominasi kapitalisme korporasi multinasional. Dengan revolusi komunikasi dan informasi digital dan internet, maka semua bentuk pandangan dunia terpadu dalam skala global.
Armahedi Mahzar lalu menulis seperti ini: “Dalam era teknologi informasi digital global ini, sistem kapitalisme global merangsang gaya hidup konsumtif materialistis melalui imagologi hiper-realitas. Imagologi hiper-realitas yang membungkus ideologi materialistis, filsafat humanistis, teologi ateis, dan mitologi sekularistik yang tersembunyi. Pendeknya, dunia budaya postmodern yang pluralistis ditampilkan untuk kolonisasi mental melalui virus-virus virtual seraya menyembunyikan hegemonisme monopolistik kapitalisme global.” Di sini Armahedi Mahzar berbicara tentang agama baru yang sekuler dan profan dengan ilah baru berupa materialisme teknologis ilmiah lengkap dengan ritual budaya ekonomi konsumeristik: budaya yang gemerlap duniawi dan badani melalui citraan-citraan dan disinformasi sistematik telemedia global. Maka, diperlukan sebuah ideologi rasional komprehensif untuk menyiasati gelombang serbuan budaya deislamisasi. Lebih lanjut, Armahedi Mahzar menulis: “Serbuan deislamisasi itu sejatinya adalah fenomena permukaan dari proses pengisapan kekayaan material negeri-negeri Muslim. Proses pengisapan yang direkayasa melalui sistem pasar bebas global kapitalistik yang pada hakikatnya timpang” (Mahzar, 2004: 262).
Catatan Penutup
Tauhid sebagai landasan pijak untuk memajukan sains masih mungkin dilakukan umat Islam kini dan di masa depan. Namun demikian, dibutuhkan upaya saksama memperbaiki keadaan. Pemaparan tentang pandangan Kuntowijoyo berkenaan dengan transformasi masyarakat mengilustrasikan adanya kendala internal umat Islam untuk memajukan sains. Sementara titik tekan dari apa yang dipaparkan Armahedi Mazhar terkait dengan tantangan yang bersifat eksternal. Maka, upaya memajukan sains Islam berlandaskan tauhid harus mempertimbangkan tantangan internal dan eksternal tersebut.
Bibliografi
Baiquni, Achmad. (1995). Al Qu’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Bakar, Osman. (1991). Tauhid dan Sains: Esensi-esensi tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Yuliani Liputo dari judul asli Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamiv Science.
Brush, Stephen G. (2006). “Physical Science”, dalam Encyclopædia Britannica dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD .
Harris, Sam. (2004). The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. London: Simon & Schuster.
Huntington, Samuel P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. (1995). Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Cetakan ke-3.
Mahzar, Armahedi. (2004). Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Mizan.
Nasr, Seyyed Hossein. (1997). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjamahan Suharsono et.al. dari judul asli Knowledge and the Cecred.
Purwanto, Agus. (2008). Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al Qur’an yang Terlupakan. Bandung: Mizan.
Rahardjo, M. Dawam. (1991). “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, pengantar pada Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. (1999). Major Themes of the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Siroj, Said Aqil. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan.
Syari’ati, ‘Ali. (1992). Humanisme: Antara Islam dan Mahzab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb.
1.2.1. Perlunya Merujuk pada Al Qur'an
1.2.2. Catatan Tentang Pengetahuan Terhadap Allah SWT.
1.2.3. Tauhid dan Batas-Batasnya
1.2.4. Bukti-Bukti Tauhid dalam Al Qur'an
1.2.5. Tauhid dalam Zat, Sifat dan Perbuatan Allah SWT.
1.2.6. Sejauh Mana Allah SWT. Bisa Diketahui
1.2.7. Perbuatan-Perbuatan Allah SWT.
1.2.8. Prinsip Sebab Akibat dalam Al Qur'an
1.2.9. Lingkup Kekuasaan dan Kehendak Allah SWT.
1.2.10. Tujuan Penciptaan dalam Al Qur'an
1.2.11. Ketentuan Allah SWT.
1.2.1. Perlunya Merujuk pada Al Qur'an
1.2.2. Catatan Tentang Pengetahuan Terhadap Allah SWT.
1.2.3. Tauhid dan Batas-Batasnya
1.2.4. Bukti-Bukti Tauhid dalam Al Qur'an
1.2.5. Tauhid dalam Zat, Sifat dan Perbuatan Allah SWT.
1.2.6. Sejauh Mana Allah SWT. Bisa Diketahui
1.2.7. Perbuatan-Perbuatan Allah SWT.
1.2.8. Prinsip Sebab Akibat dalam Al Qur'an
1.2.9. Lingkup Kekuasaan dan Kehendak Allah SWT.
1.2.10. Tujuan Penciptaan dalam Al Qur'an
1.2.11. Ketentuan Allah SWT.
Label: 1.2. Filsafat tauhid
• Studi Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sekang kita hidup di era yang modern,semua yang kita butuhkan langsung tersedia secara instant. Fenomena ini,bisa kita lihat di beberapa bidang. Di bidang komonikasi,kita dulu masih SD tidak ada orang yang megang handphone kecuali orang-orang tertentu saja,bahkan dulu TV sangat sulit kita jumpai,tetapi pada era ini anak SD pun sekarang udah banyak yang megang HP,bahkan sekarang di desa-desa udah ada yang namanya internet. Di bidang kedokteran,sekarang orang yang hamil bisa diketahui apakah bayinya laki-laki atau perempuan,bahkan juga bisa mengetahui istri yang sudah ditinggalkan suaminya apakah dirahimnya terdapat bayinya atau tidak. Dan dibidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan perkembangan itu,persolan-persoalan juga semakin kompleks. Dan apkah hukum Islam bisa menjawab semua perolan-persolan itu?. Dan apakah jawaban-jawaban itu masih relevan seperti saman Nabi dan shabat-sahabat-Nya? Dan apa yang harus dilakukan jika jawaban-jawaban itu tidak relevan lagi?
1.2 Topik Bahasan
Topik bahasan dalam hal ini adalah: Apa definisi dari pembaharuan hukum Islam itu sendiri?,Bagaiman histories perkembangan hukum Islam dari zaman Rasulullah SAW sampai sekarang?,Dan bagaiman caranya untuk melakukan pembaharuan hukum Islam itu?
1.3 Tujuan artikel
Artikel ini dimaksudkan untuk mengetahui pembaharuan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang dan mengapa harus ada pembahauan hukum Islam dan bagaiman caranya untuk melakukan pembaharuan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembahuruan Hukum Isalam
Pembahuruan hukum Islam terdiri dari dua kata,yaitu “pembahuruan” yang berarti modernisasi,atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru;dan “hukum Islam”, yakni kumpulan atau koleksi daya upaya para fukaha dalm bentuk hasil pemikiran untuk menerapkan syariat berdasarkan kebutuhan masyarakat.dalam hal ini hukum Islam sama dengan fiqh,bukan syariat.
2.2 Historis Perkembangan Hukum Islam
Sebelum penulis membahas pembaharuan hukum Islam di Indosesia,perlu diketahui historitas pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa kemasa. masa,yaitu;
? Pada Masa Rasulullah (610M – 632M)
Dengan diturunkanya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW mulailah tarikh tasyri’ Islami. Sumber tasyri’ Islami adalah wahyu (Kitabullah dan Sunnah Rasul). Ayat tasyri’ datang secara berangsur-angsur dan bertahap (tadrij).tadrij ini berhubungan dengan adat-adat bangsa Arab meninggalkan adat-adat yang lama dengan hukum yang baru/hukum Islam.dan dijadikan prinsip-prinsip umum.
? Pada masa Khulafa’ur Rasyidin (632M – 662M)
1) Abu Bakar Ash-Shiddiiq
Pada masa ini disebut masa penetepan tiang-tiang (da’aa’im).dengan memerangi orang-orang yang murtad mutanabbi dan pembangkang penyerahan zakat. Di masa ini pula dikumpulkan Al-Qur’an pada satu mushaf.
2) Umar Ibn Khatab
Pada masa ini telah bisa menyusun administrasi pemerintahan menetapkan pajak.kharaj atas tanah subur yang dimiliki oleh orang non muslim,menetapkan peradilan,perkantoran,dan kalender penanggalan.
Umar dikenal sebagai imamul-mujtahidin. Di masanya beliau berijtihad.antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya dan tidak memberi zakat kepada al-muallafatu quluubuhum,karena tidak ada ‘illah untuk memberinya.
3) Utsman Ibn Affan
Pada zamanya telah diperintahkan Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Zubair. Sa’iid Ibn Al-Ash dan Abdurrahman Bin Harits untuk mengumpulkan Al-Qur’an dengan qiraah (dialek) yang satu dengan mushaf satu macam pula pada tahun 30 H./650M.
4) Ali bin Abi Thalib
Dengan wafatnya Sayyidina Ali, berakhirlah masa Khulafa’ur-Rasyidin dalam perkembangan tasyri’ Islam.
Pada masa ini sumber tasyri’ Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang disebut dengan nash atau naql,apabila ada masalah yang tidak jelas dalam nash,para sahabat pada zaman Khulafa’ur-Rasyidin,memakai ijtihad dengan berpegang kepada ma’quul an-nash dan mengeluarkan ‘illah atau hikmah yang dimaksud dari nash itu,kemudian menerapkan pada semua masalah yang sesuai dengan ‘illahnya dengan ‘illah pada yang dinash untuk mendapatkan hukum yang dicari,yang disebut dengan al-qiyaas,jika hukum yang dicari tidak ada nashnya,maka para sahabat bermusyawarah,yang disebut dengan al-ijmaa’. Para Ulama’ menyebutkan bahwa dari praktek khulafa’ur-Rasyidin itu terdapat perluasan dasar tasyri’ Islam disamping Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat juga Al-Qiyaas dan Al-Ijmaa’.
? Masa Khilafah Amawiyah
Pada masa ini adalah masa pembentukan fiqh Islami yaitu ilmu furu’ syari’ah dan hukum-hukumnya yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili.para fuqaha meletakkan peraturan dasar yang diambil dari Al-Qur’an,As-Sunnah dari Ijma’ dan Qiyas.pada garis besarnya mereka terbagi ke dalam dua aliran,yaitu aliran Hijaz yang berpegang kepada nas-nas as-sunnah/ahli hadis,dan aliran Irak yang telah dipengaruhi kebudayaan masyarakat yang baru,sehingga para fukaha-nya cendrung menggunakan qiyas/ar-ra’yi. Dan masa ini juga telah dimulai penafsiran al-qur’an dan pengumpulan hadits,mempelajari dan mendalaminya,menjaga kepalsuan dari pengaruh politik,pengaruh gololongan,atau sebab-sebab yang lain.
? Masa Keemasan Abbasiyah
Pada masa ini syari’at dipelajari secara khusus dengan ilmu khusus yaitu ushulul-fiqh dan dikarang kitab-kitab dalam hal furu’ fiqh. Dan pada masa ini fuqaha sunni terbagi tiga golongan,yaitu fuqaha sunni ahli Ra’yi tokohnya abu hanifah di iraq,dan fuqaha sunni ahli hadits tokohnya malik ibnu anas di hijaz,dan golongan yang bertentangan dari kedua golongan tersebut yaitu aliran asy-syafi’i
Kemudian muncullah madzhab-madzhab sunni.yang besa dan masih hidup: hanafi, maliki, syafi’i, dan hanbali.
Dari segi sumber tasyri’ selain nash (Al-Qur’an dan Sunna) telah bertambah dalil ‘aqli,yaitu ijma’ dan qiyas,dan dalil-dalil istihsan dari Abi Hanifah dan mashlahatul-mursalah.
? Masa Kemerosotan
lmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit,bahkan mereka melakukan ijtihad fil-madzhab,sehingga khalifah-khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang adaturki mendukung madzhab hanafi,ayyubi mendukung syafi’I,fathimi mendukung madzhab isma’ili.Para hakim menjadi engikut madzhab yang dianut oleh Negara yang tidak berijtihad sendiri.
Pada permulaan abad ke empat hijrah,fuqaha sunni menetapkan tertutupnya pintu ijtihad,sehingga berkembanglah bid’ah dan khurafat dan hanya taqlid yang berkembang.
? Masa kebangkitan
Pada masa ini Ahmad Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang bermadzhab kepada Hanbali memerangi bid’ah dan khurafat, dan menganjurkan memahami syari’at dengan memakai pikiran, penalaran dan akal sehat, dan mengatakan pintu ijtihad itu terus berlaku sampai hari kiamat, dan memerangi taqlid buta.
? Perkembangan Fiqh Pada Masa Mujtahihidin
Akhir abad pertama muncul mujtahid-mujtahid dalam furu’. Yang termasyhur serta urutanya sebagai berikut:
1. Madzhab Aby Hanifah
Dikalangan sunni madzhab ini banyak memperkenalkan ra’yu.dan dalam berijtihad selain menggunakan Al-Qur’an,Hadits,Ijma’ dan Qiyas juga menggunakan dalil Al-istihsan sebagai dalil yang khusus.madzhab ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Utsmaniyah pada zaman Abbasiyah
2. Madzhab Maliki
Madzhab ini berimam pada malik ibn anas dan terkenal sebagai madrasah ahlul-hadits.pegangan dalam beristinbath selain Al-Qur’an,Hadits,Ijma’ dan Qiyas juga menggunakan Al-Maslahatul Mursalah,qaul shahabi dan adat yang diikuti di Madinah
3. Madzhab Asy-Syafi’i
Dalam beristinbath hukumnya juga menggunakan Al-Qur’an,Hadits,Ijma’ dan Qiyas,tetapi menolak dalil Al-istihsan dari Aby Hanifa dan Al-Maslahatul Mursalah dari imam Maliki.karena madzhab ini merupkaqn pertengahan dari Aby Hanifah dan Imam Maliki.
4. Madzhab Ahmad Ibn Hanbal
Madzhab ini merupakan madzhab yang terakhir dikalangan sunni.gurnnya adalah imam Syafi’i,tetapi memiliki madzhab sendiri dan lebih banyak bergerak pada aqidah untuk membersihkan ummat dari khurafat,takhayul,bid’ah.dan dikenal dengan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits mengikuti paham salaf.
5. Madzhab Syi’ah
Madzhab ini timbul karena problem politik,mereka tidak mengakui Khulafaur-Rasyidin kecuali sayyidina ali,Abbasiyah,dan Amawiyah,karena mereka memiliki statemen “khalifah itu hanya keturunan Nabi (Ahl Al-bait).
Madzhab ini terbagi menjadi dua bagian diantaranya:
1) Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah
Deasar fiqhnya adalah al-qur’an dan hadits yang sanadnya dari Ahlu Bait dan ijma’nya dari imam yang ma’shum,kemudian dengan dalil aqal yang bukan qiyas yang disebut dengan madzhab Ja’fari.
2) Syi’ah Zaidiyayah
Madzhab ini mengakui kekholifahan Khulafaur-Rasyidin,sehingga diidentifikasi dengan madzhab sunni.
3) Syi’ah isma’iliyyah
Atau juga disebut madzhab Batiniyah,karena mereka menganggap kalau Al-Qur’an makna-Nya yang batin.
6. Madzhab-madzhab lainya
a) Madzhab Al-Auza’i
b) Madzhab Dzahiri
Tokoh pendirinya adalah Dawud Ibn Ali (wafat 270 H/883 M).Madzhab ini berpegang kepada zhahir ana al-qur’an dan hadits.mereka tidak menerima ijma’ selain ijma’nya sahabat,dan tidak menerima qiyas selain qiyas nash.
c) Kadzhab Al-Thabari
? Perkembangan Fiqh Pada Masa Utsmani
Pemerintah Utsmani lahir pada abad ke-14 di Anatoli (Turki) dan berlangsung 4 abad dan menganut madzhab hanafi secara resmi untuk fatwa dan keadilan setelah beberapa tahun.
Ada beberapa halangan untuk mengodifikasikan hukum,antara lain:
I. Sumber Tasyri’ Islami
Mereka khawatir dalam berijtihad mengalami kekeliruan,karena sumber tasyri’ adalah hal yang suci.
II. Kemerdekaan Berijtihad
Berijtihad merupakan hak asasi bagi yang berhak.Apabila hasil ijtihad telah dikodifikasikan,maka tidak menerima ijtihad orang lain,padahal dalam hal masalah baru harus ber-ijtihad lagi,
III. Kemerdekaan Aqidah
Islam tidak ada paksaan untuk beragama,jadi apabila fiqh telah dikodifikasikan,berarti membatasi kemerdekaan aqidah bagi yang lain.
Jadi dalam melakukan kodifikasi ditempuh secara bertahap, antara lain:
a. Menetapkan Yang Resmi Bagi Negara
Pada awalnya untuk menetapkan madzhab yang resmi sangat sulit, karena dikewatirkan terjadi pertentang pendapat.tetapi karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang mendesak,maka sultan salim yang memerintah pada saat itu menetapkan madzhab hanafi sebagai madzhab resmi Negara dalam hal peradilan dan fatwa.
b. Menyusun Pendapat Satu Madzhab
Setalah mempersatukan madzhab diseluruh wilayahnya,maka disusunlah hukum perdata utsmani yang dikenal dengan majallatul-ahkam al-adliyah,selain semua rakyat untuk menaatinya,hakim juga harus mengikuti perintah sultan dan tidak boleh menerima hasil mujtahid yang lainya.
c. Membuat Kompilasi Madzhab Lain
Pemerintah juga mengambil pendapat dari madzhab yang lain yang sesuai demi kemaslahatan ummat.
d. Mengambil PerUndang-Undangan Modern
Hukum perdata,hukum perdagangan,hukum pidana yang baru yang lebih modren dititik beratkan harus berdasarkan syari’at Islamiya.
? Masuknya Campur Tangan Asing Ke Dalam Undang-Undang Asing
Yang sangat krusial campur tangan asing pada abad ke-19 ketika pemerintahan utsmani sudah melemah,khususnya pada pemerintahan abdul-aziz (1861M – 1876M),ketika Negara jatuh ke dalam hutang luar negeri karena pemborosan keroyalan dan juga karena berpikirnya tidak berdasarkan kesatuan agama tetapi karena kesukuan dan kebangsaanya.
? Peraturan Dan PerUndang-Undangan Kerajaan Utsmani
Beberapa Undang-Undang pemerintah Utsmani yang dipengaruhi campur tangan asing,diantaranya adalah:
1. Undang-Undang perdagangan
2. Undang-Undang pertahanan
3. Undang-Undang hukum pidana
4. Undang-Undang perdagangan laut
5. Undang-Undang hukum acara
2.3 Islam Datang Ke Indonesia
Label: 0.4. Tasyri' Islam
Allah swt berfirman:
وَ مَا أَرْسلْنَك إِلا رَحْمَةً لِّلْعَلَمِينَ
“Tidaklah Aku mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’/21: 107)
Sebenarnya kata “Rahmat” sangat luas makna dan kaitannya dengan aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an mengkaitkan kata “Rahmat”, misalnya dengan hidayah, keberkahan, shalawat, karunia (fadhilah), maghfirah, sakinah dan mawaddah, serta lainnya. Insya Allah kaitan-kaitan ini akan kami posting dalam artikel-artikel berikutnya secara berkala.
Rahmat, kasih sayang pada seluruh manusia adalah tujuan dari misi Rasulullah saw. Tujuan ini tak akan pernah tercapai sekiranya misi ini dipisahkan diri Rasulullah saw. Jika hanya mengambil konsepnya saja dan tidak mendeladani beliau, tentu hal ini suatu yang mustahil mencapai tujuan seperti yang dicapai oleh Rasulullah saw. Yang kesuksesannya diakui oleh barat yang objektif, bahkan meletakkan urutan yang pertama dari para pemimpin yang sukses.
Risalah Nabi saw tidak seperti sains dan tehnologi yang untk menerapkannya cukup mempelajari buku panduannya, tanpa perlu menghadirkan penemunya.
Risalah Nabi saw bukanlah sesuatu yang sederhana, ia sangatlah kompleks secara ilmu dan terapannya, meliputi segala aspek kehidupan manusia, bahkan alam semesta. Sehingga bagi manusia biasa seperti kita untuk mempelajarinya saja tidak cukup usianya. Belum lagi latihan-latihan mempraktekkannya. Ilmu kedokteran saja, yang jauh lebih spesifik, untuk mempelajarinya secara akademis membutuhkan paling tidak antara 5-7 tahun, itu belum lagi peningkatan kwalitas dan ilmu-ilmu yang berkait dengannya. Paling tidak membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dokter yang agak profesional.
Bagaimana mungkin dengan risalah Nabi saw yang mencakup segala aspek kebutuhan manusia cukup dipelajari hanya 5-10 tahun? Kemudian sebagian kita mengklaim dirinya sudah layak mengemban risalah Nabi saw. Nabi saw yang manusia istimewa membutuhkan waktu 23 tahun, itu yang kelihatan kasat mata, belum lagi ilmu-ilmu khusus yang diajarkan langsung oleh Allah swt tanpa melalui Jibril (as). Dalam waktu yang cukup lama itu Nabi saw memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh, tanpa sedikit pun hati dan pikirannya disibukkan oleh dunia yang mengganggunya.
Kita pernah menyaksikan, bahkan sering, akibat-akibat fatal yang diderita pasien-pasien bahkan banyak juga yang meninggal, karena dokter yang belum memadai ilmu dan latihan-latihan prakteknya, atau karena penyakit mental yang sebenarnya belum layak mengemban profesi dokter. Insinyur sipil yang belum cukup ilmunya dan belum siap mentalnya menyandang profesinya, bukannya bangunan yang kokoh yang dihasilkan tetapi korban-korban manusia akibat kejatuhan bangunan yang roboh. Juga ekonom yang belum cukup ilmu dan mentalnya pasti berakibat pada jerit dan tangis mansyarakat karena kelaparan.
Apalagi profesi pelanjut pengemban risalah Nabi saw? Profesi ini jauh lebih bahaya dari dokter, insinyur, ekonom dan profesi lainnya. Karena profesi ini harus menyehatkan manusia secara lahir dan batin, mencerahkan pikiran dan hati mereka, membimbing dan memberi contoh pada mereka dalam segala aspek kehidupan, menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat, mengendalikan semua profesi, membuat kebijakan, menetapkan aturan dan lainnya.
Oleh karena tugas profesi ini mencakup semua aspek profesi dan kehidupan manusia, maka semestinya kreteria dan syarat-syarat lebih diketat dari profesi yang lain dan tak dapat ditawar-tawar. Sekiranya pengemban profesi ini mekakukan dosa dan kesalahan, maka dosanya tidak diampuni oleh Allah swt, paling tidak sulit diampuni, karena korbannya sangat luas. Apalagi dosa dan kesalahan itu disengaja karena adanya pesanan tertentu atau kepentingan-kepentingan yang lain. Bukti dan fakta akibat buruk darinya bisa kita saksikan dengan kasat mata dalam kehidupan bangsa ini.
Karena itu, untuk profesi ini Allah dan Rasul-Nya memperketat kreteria dan syarat-syaratnya. Namun sebagian kita yang mempermudahnya, sehingga akibatnya seperti apa yang kita saksikan sekarang ini, seperti benang kusut yang sulit diurainya. Maka sampai kapanpun negeri ini sulit diselesaikan bahkan tak akan terselesaikan sepanjang tidak memperketat kreteria dan syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinannya secara ilmu dan mental. Kita akan seperti mimpi di siang bolong, mengharapkan curahan hujan di musim kemarau panjang. Bukannya kesejukan curahan hujan yang datang, tetapi kekeringan yang mencekik kita dan bangsa kita bersamaan dengan gersangnya mental para pemimpin dan kehausan mereka terhadap dunia dan kekuasaan.
Fakta itu tak dapat kita pungkiri, karena kita menyaksikannya dengan kasat mata. Lalu siapa yang salah dan berdosa? Kita semua. Kita semua akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah swt. Karena kita semua terlibat di dalamnya, langsung atau tak langsung. Paling tidak, ridha terhadap kezaliman, setuju terhadap penyederhanann kreteria dan syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan serta segala perangkatnya.
Dalam hal kepemimpinan dan mikanisme kita ingin mencontoh Nabi saw. Tapi sayang keinginan itu tak memenuhi persyaratan untuk mencapai keinginan. Mengapa? Karena sebagian kita tidak setuju dengan kreteria dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengapa saya katakan sebagian kita tidak setuju? Mari kita buktikan dengan pertanyaan dan jawaban berikut ini, dalam tanyakan pada hati kita masing-masing.
Siapakah yang memilih Rasulullah saw sebagai pemimpin? Mengapa Rasulullah saw hidup sederhana dalam menjalan roda risalahnya? Mengapa Rasulullah saw mendidik keluarganya khsususnya puteri dan mantunya dengan hidup sederhana? Dari sisi yang mana pemimpin kita dan keluarganya mencotoh Rasulullah saw dan keluarganya?
Mari kita mulai dulu tentang kesederhanan keluarga Nabi saw, karena ini penting bagi para calon pemimpin, dan punya pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa pemimpin. Keluarga Nabi saw hidup dalam kesederhanaan. Coba kita saksikan kehidupan puterinya Fatimah Az-Zahra’ (sa), tangannya melepuh karena banyak menggiling gandum sendiri. Padahal suaminya seorang panglima perang dan ayahnya seorang pemimpin tertinggi. Tentu sekiranya ia ingin mencari peluang dunia dan harta, di situ banyak peluang. Harta rampasan perang melimpah, suaminya panglima perang dan ayahnya pemimpin tertinggi. Ini semua adalah berkat pendidikan Nabi saw terhadap puteri tercintanya.
Kaitan Risalah dan pengembannya
Dapatkah risalah Nabi saw dipisahkan dari Rasulullah saw sebagai pengembannya?
Mari kita perhatikan ayat ini secara lahiriyah!
Dapatkah risalah Nabi saw dipisahkan dari Rasulullah saw sebagai pengembannya?
Mari kita perhatikan ayat ini secara lahiriyah!
وَ مَا أَرْسلْنَك إِلا رَحْمَةً لِّلْعَلَمِينَ
Dalam ayat ini tujuan risalah dikaitkan dengan kalimat “Inna Arsalnaka”. Kalimat ini mengandung tiga subtansi penting yang tak dapat dipisahkan yaitu risalah dan diri Rasulullah saw yang dinyakan denga “ka” (kamu), dan Allah swt sebagai penentu dan pemilihnya. Di sini Allah swt sebagai pihak yang mengutus, memilih dan menetapkan Muhammad saw sebagai pengemban risalah-Nya. Allah swt tidak melibatkan manusia siapa pun, Dia menunjkkan otoritas-Nya kepada semua makhluk-Nya, mereka setuju atau tidak setuju, Dia tidak memperdulikan suara mereka. Sikap Allah ini dicontoh oleh Rasulullah saw dalam membuat kebijakan dan keputusan penting. Beliau tidak pernah kompromi dengan pendapat-pendapat manusia siapa pun dalam menjalan roda risalahnya. Apalagi pendapat manusia biasa, kwalitasnya jelas di bawah kwalitas Rasulullah saw, belum lagi pendapat mereka masih diliputi hawa nafsu.
Tentu dalam hal itu sebagian kita sepakat. Yang mungkin tidak sepakat adalah jawaban dari pertanyaan: Siapakah pelanjut Nabi saw untuk mengemban risalahnya? Pilihan manusia biasa atau pilihan Allah dan Rasul-Nya? Jika kita menjawab: pelanjut Nabi saw harus dipilih oleh manusia biasa, maka konsepnya berbeda tipis dengan demokrasi, yang oleh sebagian pendapat dikatakan sebagai produk zionis, pengembangan dari konsep “suara rakyat suara Tuhan”. Mana mungkin suara rakyat suara Tuhan, buktinya dari dulu hingga sekarang suara rakyat banyak bersebarangan dengan suara Tuhan Yang Maha Esa. Umumnya rakyat ingin senang-senang di dunia Allah menghendaki senang-senang nanti di akhirat. Mereka senang mengikuti hawa nafsu, Allah melarangnya; mereka suka menzalimi orang lain, Allah murka, dan masih banyak contoh lain yang menguatkan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan.
Anda boleh tidak setuju, tanggung jawab kita nanti masing-masing di hadapan Allah:
Saya ikut pada pendapat yang menyatakan bahwa pelanjut Rasulullah saw dalam pengemban misi kepemimpinannya harus ditunjuk oleh Rasululah saw. Karena saya yakin pilihan Rasululah saw tidak akan salah, dan tidak disertai oleh hawa nafsu. Apalagi menerima sogokan dalam menentukan pilihan. Rasulullah saw jelas suci dari segala sifat yang negatif, dan kwalitan pilihannya jelas paripurna, jauh dibanding dari hasil pilihan manusia biasa. Karena pilihan Rasulullah saw adalah pilihan Allah swt.
Saya ikut pada pendapat yang menyatakan bahwa pelanjut Rasulullah saw dalam pengemban misi kepemimpinannya harus ditunjuk oleh Rasululah saw. Karena saya yakin pilihan Rasululah saw tidak akan salah, dan tidak disertai oleh hawa nafsu. Apalagi menerima sogokan dalam menentukan pilihan. Rasulullah saw jelas suci dari segala sifat yang negatif, dan kwalitan pilihannya jelas paripurna, jauh dibanding dari hasil pilihan manusia biasa. Karena pilihan Rasulullah saw adalah pilihan Allah swt.
Bagaimana dengan pilihan manusia biasa? Namanya manusia biasa, tentu ada yang baik juga ada yang buruk, ada yang cerdas ada yang lemah, dari dulu hingga sekarang sama saja. Mereka masih diliputi kesalahan dan dosa, hawa nafsu dan keserakahan, cinta dunia dan kekuasaan, kezaliman dan penindasan, dan sifat-sifat negatif lainnya. Jika sifat-sifat ini yang mengusai para pemilihnya, maka hasil pilihannya tidak jauh beda dengan para pemilihnya.
Dalil-Dalil Nash
Tentang dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis tidak perlu dipaparkan secara detail, bagi yang ingin tahu secara detail cukup membacanya di bagian “Asbabun Nuzul” dan “Hadis-hadis pilihan”. Secara nash sudah sangat kuat, tinggal pemahaman terhadap makna nash-nash tersebut, dari keshahihan hadis dan kandungan maknanya.
Tentang dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis tidak perlu dipaparkan secara detail, bagi yang ingin tahu secara detail cukup membacanya di bagian “Asbabun Nuzul” dan “Hadis-hadis pilihan”. Secara nash sudah sangat kuat, tinggal pemahaman terhadap makna nash-nash tersebut, dari keshahihan hadis dan kandungan maknanya.
Risalah Nabi saw yang terpenting
Dalam risalah Nabi saw banyak pokok-pokok persoalan. Ulama mengelompokkan menjadi: persoalan akidah, syariat dan akhlak. Dari masing-masing pokok persoalan ini ada sub-sub pembahasan. Rasulullah saw menyampaikan semuanya secara sempurna dalam masa 23 tahun. Selama masa 23 tahun beliau menyampakan risalahnya dengan sempurna dan mencapai puncak kesuksesan. Sehingga Rasulullah saw dipanggil oleh Allah ke haribaan-Nya, wafat.
Dalam risalah Nabi saw banyak pokok-pokok persoalan. Ulama mengelompokkan menjadi: persoalan akidah, syariat dan akhlak. Dari masing-masing pokok persoalan ini ada sub-sub pembahasan. Rasulullah saw menyampaikan semuanya secara sempurna dalam masa 23 tahun. Selama masa 23 tahun beliau menyampakan risalahnya dengan sempurna dan mencapai puncak kesuksesan. Sehingga Rasulullah saw dipanggil oleh Allah ke haribaan-Nya, wafat.
Lalu apa penyebab utama yang menentukan Nabi saw mencapai puncak kesuksesan dalam menegakkan risalahnya?
Jawabannya adalah karena Rasulullah saw itu sendiri sebagai pemimpin dan pengawal risalahnya. Tak ada seorang pun yang mampu membantah beliau dan instruksinya. Sebagai pemimpin beliau punya otoritas, menentukan dan menetapkan kebijakan, dan menjadi tempat rujukan manusia dalam segala aspek kehidupan.
Jadi, tercapainya tujuan risalah Nabi saw adalah ditentukan oleh pemimpin dan kepemimpinan. Jika misi ini gagal, maka gagallah misi-misi yang lain. Paling tidak, tak akan sempurna. Karena itulah Allah swt berfirman:
يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ
“Wahai rasul, segera sampaikan apa yang telah diturunkan dari Tuhanmu. Jika kamu belum juga menyampaikan, maka kamu (dinyatakan) belum menyampaikan risalah-Nya. Allah akan menjaga kamu dari (kejahatan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)
Poin-poin penting dalam ayat ini perlu kita renungkan:
1. Para mufassir menyatakan bahwa ayat ini turun di Madinah menjelang wafat Nabi saw.
2. Ada risalah terpenting yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw, sementara risalah-risalah yang lain sudah disampaikan semuanya.
3. Allah menyatakan dan menjanjikan jaminan kemanaan dari kejahatan manusia yang tidak setuju terhadap risalah ini.
4. Allah menyatakan tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkat terhadap risalah ini.
5. Misi ini disampaikan paling terakhir.
1. Para mufassir menyatakan bahwa ayat ini turun di Madinah menjelang wafat Nabi saw.
2. Ada risalah terpenting yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw, sementara risalah-risalah yang lain sudah disampaikan semuanya.
3. Allah menyatakan dan menjanjikan jaminan kemanaan dari kejahatan manusia yang tidak setuju terhadap risalah ini.
4. Allah menyatakan tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkat terhadap risalah ini.
5. Misi ini disampaikan paling terakhir.
Sebagai penutup ayat tentang tujuan risalah Nabi saw oleh pernyataan Allah swt:
“Sungguh telah Kami catat dalam Zabur sesudah itu dalam Al-Qur’an bahwa bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shaleh.” (Al-Ambiya’: 105)
“Sungguh telah Kami catat dalam Zabur sesudah itu dalam Al-Qur’an bahwa bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shaleh.” (Al-Ambiya’: 105)
“Sesungguhnya dalam hal ini terdapat informasi yang indah bagi bangsa yang melakukan pengabdian (kepada Allah).” (Al-Anbiya’: 106)
Kesimpulan sementara:
1. Rahmatan lil-‘alamin akan tercapai bila pengemban risalah Nabi saw mencontoh beliau dalam keilmuan dan mental, dan pola hidupnya.
2. Bumi ini akan berada dalam kendali oleh orang-orang shaleh sebagai perwujudan Rahmatan lil-‘alamin.
3. Tujuan ini hanya akan dicapai oleh bangsa yang beribadah, dan punya jiwa pengabdian yang tinggi.
1. Rahmatan lil-‘alamin akan tercapai bila pengemban risalah Nabi saw mencontoh beliau dalam keilmuan dan mental, dan pola hidupnya.
2. Bumi ini akan berada dalam kendali oleh orang-orang shaleh sebagai perwujudan Rahmatan lil-‘alamin.
3. Tujuan ini hanya akan dicapai oleh bangsa yang beribadah, dan punya jiwa pengabdian yang tinggi.
Label: 0.3. Tujuan Risalah Islam
AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA INDONESIA DALAM SENI BANGUNAN
0 komentar Diposting oleh adh-Dhoif al-Fakir di 11.39PENDAHULUAN
Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Terjadi proses “Iltibas bainal haq wal bathil,” percampuradukan antara nilai-nilai yang datang dari Islam dengan nilai-nilai batil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat agama budaya tersebut. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal.
Universalisme Sebagai Karakteristik Islam
Universalisme (al-’Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya: “Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam “. “Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam .
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya . Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari’ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan.
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschaung) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial .
PEMBAHASAN
Seperti di kemukakan di pada bagian pendahuluan, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam .
Akulturasi Islam dengan Budaya di Indonesia
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat .
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian .
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
PERPADUAN ANTARA SENI BUDAYA INDONESIA DENGAN
BUDAYA ISLAM PADA SENI BANGUNAN
Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam pada seni bangunan dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan lainnya.
1. Masjid
a.Atap (bagian yang melingkupi ruang bujur sangkar)
Atap bukan berupa kubah, melainkan berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Tingkatan paling atas membentuk limas. Jumlah tumpang selalu ganjil, biasanya 3, tapi ada juga yang lima seperti pada masjid Banten.
b. Menara
Menara Mesjid Kudus merupakan sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya serta diberi atap tumpang. Sedang menara Masjid Banten adalah tambahan yang diusahakan oleh seorang pelarian Belanda bernama Cardeel.
c. Letak Masjid
Pada umumnya masjid didirikan berdekatan dengan istana. Kalau di sebelah utara dan selatan istana biasanya terdapat sebuah lapangan, yang di Jawa disebut alun-alun, maka masjid didirikan di tepi barat alun-alun.
Masjid juga sering ditemukan di tempat-tempat keramat, yaitu tempat makam seorang raja, wali atau ahli agama yang termasyur. Masjid-masjid itu di antaranya:
• Masjid Agung Cirebon yang bertingkat dua dan dibangun pada awal abad ke-16 M.
• Masjid Katangka di Sulawesi Selatan dari abad ke-17 M.
• Masjid-masjid yang terdapat di Jakarta seperti Masjid Angke, Tambora, Marunda.
• Masjid Agung Demak yang terdiri abad ke-16 M.
• Masjid Baitturahman dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda.
• Masjid Ternate.
• Masjid Jepara.
• Masjid Agung Banten dibangun pada abad ke-16 M.
2. Makam
Kuburan atau makam biasanya diabadikan atau diperkuat dengan bangunan dari batu yang disebut jirat atau kijing. Di atas jirat ini sering juga didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah.
Makam tertua di Indonesia adalah makam Fatimah binti Maimun yang lebih terkenal dengan nama putri Suwari dileran (tahun 1082 M), dan makamnya justru diberi cungkup. Makam ini mirip candi. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke-11 M masyarakat masih terikat pada bentuk candi.
KESIMPULAN
Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal. Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam terdapat di berbagai aspek budaya dalam kompleksitas masyarakat Indonesia yang heterogen dan terutama pada seni bangunan sebagaimana yang diuraikan lebih jauh dalam makalah ini adalah dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan lainnya.
Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam diberbagai tempat merupakan hasil akulturasi dengan budaya lokal setempat. Hal ini terlihat dari atap masjid, menara, dan letak masjid. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam oleh Abdurrahman Wahid dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”. Editor: Budhy Munawwar Rahman. (Yayasan Paramadina, cet. I, Mei 1994)
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan” (Jakarta, cet. I, 1989)
Dr. Kuntowijoyo, “Paridigma Islam” (Mizan, cet. III, 1991)
Islam (Bahasa Arab: الإسلام; al-'islām (bantuan·maklumat); disebut: [ɪs.ˈlaːm]) (aslama = أسلم, yuslimu = يسلم, islaman = اسلاما) ialah agama samawi yang terkandung dalam al-Quran, yang dianggap penganutnya sebagai kalam Allah (Arab: الله, Allāh), kata demi kata, serta ajaran dan contoh normatif nabi terakhir Nabi Muhammad s.a.w., seorang tokoh politik dan keagamaan Arab abad ke-7. Perkataan Islam bermaksud "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.[1] Seorang penganut Islam dikenali sebagai Muslim, bermaksud "seorang yang tunduk [kepada Allah]".[2][3]
Muslim percaya bahawa Allah itu Esa dan tujuan hidup ialah untuk menyembah Tuhan.[4] Muslim juga percaya bahawa Islam merupakan versi lengkap dan sejagat kepercayaan monoteistik ajaran Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan lain-lain nabi. Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah pengasas agama baru, sebaliknya menjadi pemulih keimanan monoteistik ajaran nabi-nabi terdahulu. Tradisi Islam menegaskan bahawa agama Yahudi dan Kristian memutarbalikkan wahyu yang Allah berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks atau memperkenalkan tafsiran palsu, atau kedua-duanya.[5]
Amalan keagamaan Islam termasuklah Rukun Islam, yang merupakan lima tanggungjawab yang menyatukan Muslim ke dalam sebuah masyarakat.[6] Selain itu, terdapat syariat Islam (شريعة, syari'ah) yang menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktik seperti hukum pemakanan dan perbankan kepada jihad dan zakat.[7]
Hampir kesemua Muslim tergolong dalam salah satu dari dua mazhab terbesar, Sunah dan Syiah.[8][9][10] Islam adalah agama paling berpengaruh di Afrika dan Timur Tengah, serta di sebahagian besar Asia. Komuniti besar juga ditemui di China, Semenanjung Balkan di Eropah Timur dan Rusia. Terdapat juga sebahagian besar komuniti pendatang Muslim di bahagian lain dunia, seperti Eropah Barat. Sekitar 20% Muslim tinggal di negara-negara Arab,[11] 25% di Asia Selatan dan 13% di Indonesia, negara Muslim terbesar mengikut populasi.[12] Terdapat sekitar 1.57 bilion Muslim, atau 23% penduduk dunia, menjadikan Islam agama kedua terbesar di dunia, selepas Kristian,[13] dan boleh dikatakan agama yang berkembang paling pesat di dunia.[14][15][16][17][18]
Isi kandungan[sorokkan] |
[sunting] Etimologi dan maksud
- Rencana utama: S-L-M
[sunting] Rukun Iman
Muslim percaya bahawa Allah mewahyukan pesanan terakhirNya kepada manusia melalui Nabi Islam Muhammad s.a.w. dan melalui malaikat Jibrail. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad s.a.w. merupakan Nabiullah terakhir dan kitab al-Qur'an merupakan wahyu yang diterima baginda lebih dari dua dekad.[24] Muslim percaya bahawa para nabi merupakan manusia dan bukan tuhan/dewa, meskipun mereka mampu melakukan mukjizat untuk membuktikan kenabian mereka. Nabi-nabi dianggap menjadi yang paling hampir sempurna dari semua manusia, dan uniknya merupakan penerima wahyu ketuhanan-sama ada terus dari Allah atau melalui perantaraan malaikat. Al-Qur'an menerangkan nama-nama berbagai tokoh yang dianggap nabi dalam Islam, termasuk Nabi Adam a.s., Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.[25] Teologi Islam mengatakan bahawa semua pesuruh Allah sejak Nabi Adam a.s. memberi perutusan yang sama - Islam - penundukan kepada Allah. Islam dihuraikan dalam al-Qur'an sebagai "sifat primordial bagaimana Allah mencipta manusia",[26] dan Al-Qur'an menyatakan bahawa nama Muslim telah diberikan oleh Nabi Ibrahim a.s.[27]
[sunting] Allah
- Rencana utama: Allah dan Tuhan dalam Islam
- Lihat juga: Tauhid
"Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad ialah pesuruh Allah."Dalam teologi tradisi Islam, Allah itu di luar pemahaman manusia; Muslim tidak perlu membayangkan Allah, cuma memuja dan sujud padaNya sebagai pencipta alam. Mereka mempercayai tujuan kewujudan ialah untuk menyembah Tuhan.[4] Qur'an kadangkala memerikan Allah dengan nama atau sifat lain, seperti al-Rahman, bermakna "Maha Pengasih" dan al-Rahim, bermakna "Maha Penyayang" (lihat Asmaul Husna).[29] Allah dihuraikan dalam surah 112 al-Qur'an sebagai:[30]
"Dialah Allah Yang Maha Esa; Allah, Yang Kekal, Mutlak; Dia tiada beranak dan Dia pula tidak diperanakkan; Dan tidak ada sesiapapun yang serupa denganNya." (112:1-4)Dengan itu Muslim menolak doktrin Tritunggal Kristian, dan membandingkannya kepada politeisme.[31]
[sunting] Kitab
- Lihat juga: Sejarah al-Qur'an
Al-Qur'an dibahagikan kepada 114 surah, atau bab, yang apabila digabungkan, mengandungi 6,236 ayat. Surah lebih awal secara kronologinya, diturunkan di Makkah, menekankan topik etika dan kerohanian. Surah Madaniyyah berikutnya kebanyakannya membincangkan isu sosial dan moral yang berkaitan dengan masyarakat Muslim.[33] Al-Qur'an lebih menekankan panduan moral berbanding ajaran undang-undang, dan dianggap "buku sumber prinsip dan nilai Islam".[34] Pakar undang-undang Muslim merujuk hadith, atau rekod bertulis kehidupan Nabi Muhammad s.a.w., sebagai tambahan kepada al-Qur'an dan untuk membantu menafsirkannya. Sains ulasan dan takwil al-Qur'an dikenali sebagai tafsir.[35]
Perkataan Qur'an bermaksud "pengucapan". Apabila Muslim bertutur secara abstrak mengenai al-Qur'an, mereka lazimnya memaksudkan kitab suci yang dibaca dalam bahasa Arab berbanding karya bercetak atau sebarang terjemahannya. Bagi Muslim, al-Qur'an hanya sempurna seperti diturunkan dalam bahasa Arab asli; terjemahan adalah semestinya kurang tepat atas sebab perbezaan bahasa, kesilapan daripada penterjemah, dan kemustahilan mengekalkan gaya asal yang diilhamkan. Terjemahan oleh itu hanya dianggap sebagai ulasan terhadap al-Qur'an, atau "tafsiran maksudnya", bukan seperti al-Qur'an itu sendiri.[36]
[sunting] Malaikat
- Rencana utama: Malaikat
[sunting] Nabi dan Rasul
- Rencana utama: Nabi dan Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam Islam, contoh "normatif" kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. dipanggil Sunnah (harfiahnya "kebiasaan"). Contoh ini dipelihara dalam tradisi yang dikenali sebagai hadith ("laporan"), iaitu rekod kata, perbuatan, dan perwatakan peribadi baginda. Muslim digalakkan untuk mencontohi perbuatan Nabi Muhammad s.a.w. dalam kehidupan harian mereka, dan sunnah dilihat sebagai penting kepada panduan tafsiran al-Qur'an.[42]
[sunting] Kebangkitan dan pengadilan
- Rencana utama: Hari Kiamat
Al-Qur'an menyenaraikan beberapa dosa yang boleh membawa seseorang ke neraka, seperti kufur, riba dan ketidakjujuran. Muslim melihat syurga (jannah) sebagai tempat keriangan dan kebahagiaan, dengan rujukan al-Qur'an menghuraikan sifatnya dan keseronokan fizikal yang akan datang. Terdapat juga rujukan kepada ridwān (kegembiraan dan senang hati).[44] Tradisi mistik dalam Islam meletakkan keseronokan kesyurgaan ini dalam konteks kesedaran yang amat terhadap Allah.[45]
[sunting] Takdir
- Rencana utama: Qada dan qadar
[sunting] Kewajipan dan amalan
[sunting] Lima Rukun Islam
- Rencana utama: Rukun Islam
Rukun Islam bagi Muslim Sunnah ialah:
- Syahadah (الشهادة), iaitu fahaman asas ajaran Islam:
اشهد ان لا اله الا الله اشهد ان محمدا رسول الله
Perjanjian ini adalah asas untuk semua kepercayaan dan amalan lain dalam Islam. Muslim harus mengulangi syahadah ini dalam solat, dan bukan-Muslim yang ingin memeluk Islam diperlukan untuk mengucap kalimah ini.[49]
Aku bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahawa Muhammad adalah pesuruh Allah
- Solat (صلاة), atau amalan sembahyang, wajib dilakukan lima kali sehari. Setiap solat perlu menghadap Kaabah di Makkah. Di kebanyakan negara Muslim, peringatan yang dipanggil Azan disiarkan secara umum dari masjid tempatan pada masa yang sesuai.
- Puasa (صوم), iaitu berpuasa pada bulan Ramadan. Muslim tidak boleh makan atau minum dari subuh hingga senja pada bulan ini, dan harus berwaspada dari dosa lain.
- Zakat (زكاة), atau pemberian sedekah. Amalan pemberian ini wajib untuk semua Muslim yang mampu, berdasarkan pada kekayaan yang dikumpul. Bahagian yang ditetapkan digunakan untuk membantu yang miskin dan yang memerlukan, dan juga untuk membantu menyebarkan Islam.
- Haji (حج), iaitu ziarah semasa bulan Zulhijjah ke bandar Makkah. Setiap Muslim yang mampu (dari segi badan dan harta) wajib menunaikan haji sekurang-kurangnya sekali seumur hidupnya.
- Tauhid, Tuhan itu satu dan unik.
- Keadilan, konsep kebenaran moral berasaskan etika, keadilan dan kesaksamaan, bersama dengan hukuman jika melanggarnya.
- Hari Kiamat, penilaian terakhir Tuhan terhadap manusia.
- Kenabian, cara Tuhan menghantar utusan, atau nabi, untuk membimbing manusia.
- Imamah, institusi yang mewarisi institusi kenabian.
[sunting] Hukum dan perundangan
Hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan, daripada hal negara, seperti pentadbiran dan hubungan luar, kepada isu kehidupan seharian. Al-Qur'an menakrifkan hudud sebagai hukuman untuk lima jenayah khusus: berzina, tuduhan zina, meminum arak, mencuri dan merompak. Al-Qur'an dan Sunnah juga mengandungi hukum pewarisan, perkahwinan, dan pembalasan untuk kecederaan dan bunuh, serta peraturan untuk puasa, sedekah dan solat. Bagaimanapun, arahan dan larangan ini mungkin agak umum, jadi tahap amalannya berbeza-beza. Para ulama telah membentuk sistem hukum berasaskan peraturan-peraturan ini dan tafsiran mereka.[52]
Fiqh, atau "perundangan", ditaksirkan sebagai pengetahuan peraturan amali agama. Cara yang digunakan pakar hukum Islam untuk memperoleh hukum dikenali sebagai usul al-fiqh ("teori hukum", atau "prinsip fiqh"). Menurut teori hukum Islam, undang-undang Islam mempunyai empat sumber asas, iaitu mengikut keutamaan: Al-Qur'an, Sunnah, kesepakatan ulama Muslim (ijma'), dan pemikiran beranalogi (qiyas). Untuk pakar hukum Islam awal, teori kurang penting berbanding aplikasi pragmatik hukum ini. Pada abad ke-9, Imam al-Shafi'i memberikan asas teori perundangan Islam dengan mengekodkan prinsip fiqh (termasuk empat sumber asas) dalam bukunya ar-Risālah.[53]
[sunting] Agama dan negara
[sunting] Kehidupan keluarga
- Lihat juga: Wanita dalam Islam
Seorang lelaki boleh mempunyai hingga empat isteri jika si suami percaya dia boleh melayani mereka dengan adil, manakala seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu suami. Di kebanyakan negara Muslim, proses penceraian dalam Islam dikenali sebagai talaq, yang lazimnya dilakukan suami dengan menyebut kata "cerai".[57] Wanita dikehendaki memakai tudung dan menurut aurat, namun para sarjana tidak sependapat sama ada terdapat dalil Qur'an terhadap amalan tradisional Islam seperti purdah dan burqa.
Bermula pada abad ke-20, reformis sosial Islam bertelagah terhadap amalan ini dan amalan lain seperti poligami, dengan kejayaan berbeza. Pada masa sama, ramai wanita Islam cuba menyelaraskan tradisi dan kemodenan dengan menggabungkan kehidupan aktif dengan kesederhanaan luaran. Sesetengah kumpulan Islamis seperti Taliban pula cuba untuk meneruskan peraturan tradisional seperti yang digunakan kepada wanita.[58]
[sunting] Pakar hukum
[sunting] Adab dan pemakanan
- Rencana utama: Adab dan hukum pemakanan Islam
[sunting] Ketenteraan
- Rencana utama: Jihad dan Peraturan perang dalam Islam
Di dalam fiqh, jihad lazimnya dianggap bermaksud penggunaan ketenteraan terhadap penempur bukan-Muslim dalam pertahanan atau pengembangan ummah. Tujuan terakhirnya diperdebatkan, sesetengah mendakwa ia cuma sebagai pertahanan dan pencegahan, manakala yang lain mendakwa matlamatnya ialah menyejagatkan Islam. Jihad merupakan satu-satunya bentuk peperangan yang dibenarkan dalam Islam dan mungkin diisytiharkan terhadap orang murtad, pemberontak, perompak, kumpulan ganas, dan ketua atau negeri yang menindas Muslim atau menghalang dakwah.[67][68] Kebanyakan Muslim kini mentafsirkan jihad sebagai hanya suatu bentuk pertahanan perang: jihad luaran termasuk berjuang untuk membuat masyarakat Islam mematuhi norma keadilan Islam.[69]
Dalam kebanyakan keadaan dan untuk kebanyakan Muslim, jihad merupakan tugas kolektif (fardu kifayah): pelaksanaannya oleh sebahagian masyarakat mengecualikan yang lain. Hanya untuk orang yang diberi kuasa, terutamanya raja (imam), jihad menjadi tugas individu. Untuk penduduk lain, ini hanya berlaku dalam kes pengerahan umum.[68] Untuk kebanyakan Syiah, jihad serangan hanya boleh diisytiharkan oleh Imam masyarakat Muslim, dan oleh itu digantung sejak keghaiban Muhammad al-Mahdi pada 868 M.[70]
[sunting] Sejarah
- Rencana utama: Sejarah Islam dan Penyebaran Islam
[sunting] Nabi Muhammad (610–632)
- Rencana utama: Nabi Muhammad s.a.w.
Semasa zaman ini, Nabi Muhammad s.a.w. berdakwah kepada orang Makkah, merayu mereka untuk meninggalkan politeisme. Walaupun sesetengahnya memeluk Islam, Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikutnya telah ditindas oleh pihak berkuasa Makkah. Selepas 13 tahun berdakwah, baginda dan orang Muslim berhijrah ke bandar Madinah (dahulu dikenali sebagai Yathrib) pada 622. Di sana, dengan mualaf Madinah (Ansar) dan pendatang Makkah (Muhajirin), Nabi Muhammad s.a.w. mendirikan kuasa keagamaan dan politiknya. Beberapa pertempuran terjadi dengan Musyrikin Makkah dan orang Yahudi Madinah yang menentang Muslim diusir. Pada masa yang sama, laluan perdagangan Makkah disekat sambil Nabi Muhammad s.a.w. membawa puak-puak padang pasir di sekeliling Madinah masuk ke pihaknya.[73] Pada 629 baginda telah menakluki Makkah dengan hampir tanpa pertumpahan darah, dan pada masa kewafatannya pada 632 telah menguasai seluruh Semenanjung Arab.[74]
[sunting] Kebangkitan khilafah dan perang saudara (632–650)
Maklumat terperinci: pewaris kepada Nabi Muhammad, Khulafa al-Rasyidin, Penaklukan Muslim, dan Pertempuran Karbala
Nabi Muhammad s.a.w. mula berdakwah menyebarkan Islam di Makkah sebelum berhijrah ke Madinah di mana baginda menyatukan puak-puak Arab kepada sebuah negara Islam terawal. Dengan kewafatan Nabi Muhammad s.a.w. pada 632, perselisihan faham tercetus terhadap siapa yang akan mewarisi baginda sebagai ketua umat Muslim. Umar Al-Khattab, sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang terkenal, mencadangkan Abu Bakar as-Siddiq, yang merupakan rakan dan sahabat karib Nabi Muhammad s.a.w. Orang lain menambah sokongan mereka dan Abu Bakar telah dilantik sebagai khalifah pertama. Pilihan ini bagaimanapun dipertikaikan oleh sesetengah sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang beranggapan bahawa Ali bin Abi Talib, sepupu dan menantunya, sepatutnya dilantik sebagai pewarisnya. Tugas segera Abu Bakar as-Siddiq ialah untuk membela kekalahan baru-baru ini kepada Empayar Byzantine (atau Empayar Rom Timur, walaupun beliau terpaksa menghentikan pemberontakan sekelompok puak Arab dalam episod yang dikenali sebagai Perang Riddah, atau "Perang Murtad".[75]Kewafatan beliau pada 634 menyebabkan pelantikan Umar al-Khattab sebagai khalifah, diikuti oleh Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Keempat-empat khalifah ini dikenali sebagai al-khulafā' ar-rāshidūn ("Khalifah yang Benar"). Di bawah mereka, wilayah pemerintahan Muslim berkembang jauh ke wilayah Parsi dan Byzantine.[76]
Apabila Saidina Umar telah dibunuh pada 644, pemilihan Uthman sebagai pewaris menghadapi penentangan yang meningkat. Pada 656, Saidina Uthman juga dibunuh, dan Saidina Ali memegang jawatan khalifah. Selepas melawan pembangkang dalam perang saudara pertama ("Fitnah Pertama"), Ali pula telah dibunuh oleh Khawarij pada 661. Berikutan ini, Mu'awiyah, yang merupakan gabenor Levant, mengambil kuasa dan memulakan Dinasti Umayyah.[77]
Pertikaian terhadap kepimpinan agama dan politik ini telah membawa kepada perpecahan dalam masyarakat Muslim. Majoritinya menerima kesahan tiga pemerintah sebelum Saidina Ali, dan kini dikenali sebagai Sunah. Minoriti yang tak setuju, dan percaya bahawa Saidina Ali adalah pewaris sebenar; telah dikenali sebagai Syiah.[78] Selepas kemangkatan Mu'awiyah pada 680, konflik pewarisan tercetus sekali lagi dalam perang saudara yang dikenali sebagai "Fitnah Kedua". Sesudah itu, Dinasti Umayyah kekal memerintah selama 70 tahun, dan berjaya menakluk Maghribi dan Al-Andalus (Semenanjung Iberia, bekas Hispania Visigoth) dan Gallia Narbonensis di barat di samping mengembangkan wilayah Muslim ke Sindh dan pinggiran Asia Tengah.[79] Antara contoh seni bina terbaik hasil penaklukan Islam yang masih kekal ialah Masjid Besar Kairouan (di Tunisia) yang dibina pada 670 oleh jeneral Umayyah Uqbah ibn Nafi[80] dan dianggap sebagai moyang dan model semua masjid di barat dunia Islam[81][82] Sementara elit Arab-Muslim bertempur dalam penaklukan, sesetengah Muslim zahid mula mempersoalkan kewarakan dan menurut kemahuan dalam kehidupan duniawi, menekankan kepada kemiskinan, rendah diri dan pengelakan dosa sebagai jalan menolak kemahuan badan. Muslim soleh yang zahid seperti Hasan al-Basri ini kemudian membangkitkan gerakan yang akan berkembang menjadi kesufian.[83]
Bagi aristokrasi Umayyah, Islam dilihat sebagai agama untuk Arab sahaja;[84] ekonomi Empayar Umayyah berdasarkan pada anggapan bahawa majoriti bukan-Muslim (Zimmi) perlu membayar cukai kepada Arab Muslim minoriti. Seorang bukan-Arab yang mahu memeluk Islam perlu terlebih dahulu menjadi pelanggan suku Arab. Malah selepas pemelukan, Muslim baru ini (mawali) tidak mencapai kesamaan sosial dan ekonomi dengan Arab. Keturunan dari bapa saudara Nabi Muhammad s.a.w. Abbas bin Abdul Muttalib menghimpunkan mawali yang tidak puas hati, Arab miskin, dan sebahagian Syi'ah terhadap Umayyah dan menggulingkan mereka dengan bantuan dari propagandis dan jeneral mereka iaitu Abu Muslim, memulakan Dinasti Abbasiyyah pada 750.[85]
[sunting] Zaman Kegemilangan (750–1258)
- Rencana utama: Zaman Kegemilangan Islam
Maklumat terperinci: Revolusi Pertanian Islam
Di bawah Abbasiyyah, tamadun Islam berkembang pesat pada "Zaman Kegemilangan Islam", dengan ibu kotanya di bandar kosmopolitan Baghdad.[86] Koleksi hadith utama telah disusun dan empat mazhab Sunah moden telah diasaskan. Hukum Islam telah maju dengan hebat oleh usaha imam awal abad ke-9 al-Shafi'i; beliau mengekodkan cara untuk memastikan kebolehpercayaan hadis, satu topik yang telah menjadi fokus pertikaian di kalangan sarjana Islam.[87] Ahli falsafah Ibnu Sina dan Al-Farabi cuba untuk menggabungkan prinsip Greek ke dalam teologi Islam, manakala yang lain seperti ahli teologi abad ke-11 Abu Hamid Al-Ghazali menentangnya dan akhirnya berjaya.[88] Sufisme dan Syiah pula mengalami perubahan besar pada abad ke-9. Kesufian menjadi gerakan mantap yang telah bergerak ke arah kebatinan dan menjauhi rumpun zahidnya, manakala Syiah berpecah berpunca dari ketidaksetujuan atas pewarisan Imam.[89]Penyebaran penguasaan Islam menyebabkan permusuhan di kalangan penulis Kristian medieval yang melihat Islam sebagai musuh berdasarkan bilangan besar pemeluk baru Muslim. Penentangan ini mengakibatkan perjanjian polemik yang menggambarkan Islam sebagai agama anti-Al-Masih dan Muslim sebagai penuh bernafsu dan submanusia.[90] Pada Zaman Pertengahan juga, sebilangan kecil ahli falsafah Arab seperti pemuisi Al-Ma'arri mengambil pendekatan kritikal kepada Islam, dan ahli falsafah Yahudi Maimonides membezakan pandangan Islam mengenai moral dengan pandangan Yahudi yang beliau sendiri huraikan.[91]
Hospital awam didirikan pada masa ini (dipanggil hospital Bimaristan), dan dianggap "hospital pertama" dari segi makna moden perkataan itu[92] dan mengeluarkan diploma perubatan pertama untuk perlesenan doktor perubatan.[93][94] Guinness Book of World Records mengiktiraf Universiti Al-Karaouine yang diasaskan pada 859 M sebagai universiti memberi ijazah tertua di dunia.[95] Asal usul kedoktoran juga bermula dari ijazat attadris wa 'l-ifttd ("lesen mengajar dan memberikan pendapat hukum") di madrasah yang mengajar syariah.[96] Institusi pertama untuk pesakit mental juga diasaskan di dunia Muslim.[97] Ketika ini, piawai teknik uji kaji dan pengkuantitian diperkenalkan kepada proses saintifik untuk membezakan teori-teori bersaing di samping tradisi petikan.[98][99] Ibn Al-Haitham dianggap sebagai bapa kaedah saintifik moden dan sering dipanggil "ahli sains sebenar pertama."[100] Institusi perundangan yang diperkenalkan Islam termasuklah amanah dan wakaf.[101][102]
[sunting] Perpecahan dan serangan
- Rencana utama: Perang Salib dan Reconquista
Maklumat terperinci: Serangan Mongol ke Asia Tengah dan Ilkhanat
Pada lewat abad ke-9, khilafah Abbasiyyah mula retak apabila beberapa wilayah mendapat autonomi lebih. Di sepanjang Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tengah, amiriah terbentuk apabila wilayah berpecah. Empayar Arab monolitik memberi laluan kepada Dunia Islam yang lebih homogen di mana Fatimiyyah Syiah malah menandingi kekuasaan keagamaan khilafah. Pada 836, khalifah Al-Mu'tasim memindahkan ibu negara khilafah dari Baghdad ke bandar baru Samarra, sehinggalah 892 apabila ia dikembalikan semula ke Baghdad oleh al-Mu'tamid. Pada 1055 Turki Seljuk telah mengatasi Abbasiyyah sebagai kuasa tentera, walaupun mereka terus menghormati kuasa khalifah pada namanya.[103] Semasa zaman ini pengembangan dunia Islam diteruskan, melalui kedua-dua penaklukan dan dakwah secara aman walaupun kedua-dua rangkaian perdagangan Islam dan Muslim berkembang ke sub-Sahara Afrika Barat, Asia Tengah, Volga Bulgaria dan Kepulauan Melayu.[2]Reconquista telah dilancarkan terhadap taifa Muslim di Iberia, dan hak milik Itali Muslim telah dirampas oleh Norman. Bermula abad ke-11, pakatan kerajaan Kristian Eropah dikerahkan bagi melancarkan siri peperangan yang dikenali sebagai Perang Salib, dengan matlamat mengundurkan tentera Muslim dari bahagian timur bekas Empayar Rom, terutamanya Tanah Suci, dan mendirikan Negeri Salibi. Pada mulanya berjaya, perolehan wilayah ini telah dibalikkan oleh jeneral Muslim yang berikutnya seperti Salahuddin al-Ayyubi; yang menawan semula Baitulmuqaddis semasa Perang Salib Kedua.[104]
Di timur, Empayar Mongol mengakhiri dinasti Abbasiyyah di Pertempuran Baghdad 1258, dalam satu siri serangan menakluki tanah Muslim. Sementara itu di Mesir, tentera-hamba Mamluk mengambil alih kuasa dalam kebangkitan pada 1250[105] dan dalam pakatan dengan Angkatan Kencana menghentikan tentera Mongol pada Perang Ain Jalut. Dalam abad yang berikutnya kekhanan Mongol memeluk Islam dan penyerapan keagamaan dan kebudayaan ini menandakan zaman baru sintesis Mongol-Islam yang membentuk penyebaran lanjut Islam di tengah Asia, timur Eropah dan subbenua India. Kekhanan Krimea merupakan antara kuasa terkuat di Eropah Timur hingga akhir abad ke-17.[106]
[sunting] Wangsa dan penaklukan baru (1030–1918)
Pada abad ke-13 dan ke-14 Empayar Uthmaniyyah (dinamakan bersempena Uthman I) muncul dari kalangan "amiriah Ghazi" ini dan bertapak kukuh selepas satu siri penaklukan yang termasuk Balkan, sebahagian Greece dan barat Anatolia. Pada 1453 di bawah Muhammad al-Fatih mereka mengepung Constantinople, ibu kota Byzantium, yang jatuh sejurus selepas itu, tidak mampu melawan bilangan tentera Uthmaniyyah yang lebih besar dan sedikit sebanyak, teknologi meriam.[107] Selepas Mesir Mamluk jatuh kepada mereka pada 1517, Empayar Uthmaniyyah turut melancarkan kempen Eropah yang menjangkau hingga ke pintu Vienna pada 1529.[108] Menjelang abad ke-18, meskipun terdapat cubaan pemodenan, Empayar Uthmaniyyah telah mula rasa diancam oleh kelebihan ketenteraan dan ekonomi Eropah.Sementara itu bermula pada abad ke-13, Sufisme mengalami perubahan, secara besarnya berpunca dari usaha al-Ghazali untuk mengesahkan dan menyusun semula gerakan tersebut. Beliau mengembangkan model golongan Sufi—satu komuniti guru dan pelajar rohaniah.[109] Satu lagi perkara penting pada Kesufian ialah penghasilan Masnawi, satu koleksi puisi mistik oleh pemuisi Parsi Rumi. Masnawi mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pemikiran keagamaan Sufi; bagi kebanyakan Sufi ia kitab kedua terpenting, selepas al-Qur'an.[110]
Dari abad ke-14 hingga ke-16 bahagian timur dunia Islam mengalami satu lagi zaman kegemilangan di bawah Wangsa Timuriyah. Pada awal abad ke-16, Wangsa Safawiyah menguasai Parsi dan menetapkan Islam Syiah sebagai agama rasmi di sana, dan meskipun terdapat halangan berkala, kekal berkuasa selama dua abad sehinggalah awal abad ke-18.
Selepas penjajahan Parsi dan penjarahan Baghdad oleh Mongol pada 1258, Delhi menjadi pusat kebudayaan terpenting Muslim timur.[112] Banyak wangsa Islam memerintah pelbagai bahagian subbenua India bermula dari abad ke-12. Yang utama termasuk Kesultanan Delhi (1206-1526) dan Empayar Mughal (1526-1857). Empayar-empayar ini membantu penyebaran Islam di Asia Selatan. Pada abad ke-18 gerakan Wahabi mula bertapak di Arab Saudi. Diasaskan oleh pendakwah Ibn Abdul Wahhab, Wahabi merupakan ideologi fundamentalis yang mengutuk amalan seperti Sufisme dan penghormatan kepada wali sebagai tidak Islamik.[113]
Menjelang pertengahan abad ke-19 Empayar British secara rasminya mengakhiri dinasti Mughal,[114], dan pada akhir abad ke-19 menggulingkan Kerajaan Mysore yang diperintah Muslim. Pada abad ke-19, kebangkitan nasionalisme telah mengakibatkan Greece mengisytiharkan dan memenangi kemerdekaan pada 1829, dengan beberapa negeri Balkan ikut serta selepas Uthmaniyyah mengalami kekalahan dalam Perang Rusia-Turki 1877–1878. Pada masa ini, ramai Muslim berpindah, kebanyakannya dari India dan Indonesia ke Caribbean, secara tidak langsung menyebarkan agama mereka di tempat-tempat baru. Era Uthmaniyyah berakhir di hujung Perang Dunia Pertama dan khilafah dimansuhkan pada 1924.[115][116]
[sunting] Zaman moden (1918–kini)
Maklumat terperinci: pembubaran Empayar Uthmaniyyah, Pemberontakan Arab, Konflik Arab-Israel, revolusi Iran, dan Islam dan sekularisme
Pada awal abad ke-20, kebanyakan dunia Muslim di luar Empayar Uthmaniyyah telah diserap ke dalam empayar Eropah bukan Islam. Selepas kekalahan Perang Dunia Pertama, saki-baki empayar ini telah dibahagikan sebagai negeri naungan atau lingkungan pengaruh Eropah. Sejak itu kebanyakan masyarakat Muslim jajahan Eropah ini telah merdeka, dan isu baru seperti kekayaan minyak dan hubungan dengan Israel telah mendapat keutamaan.[117]Abad ke-20 memperlihatkan dunia Islam makin terdedah kepada pengaruh kebudayaan luar. Sebagai gerak balas, banyak gerakan "pemulih" Islam dimulakan. Kumpulan seperti Ikhwanul Muslimun di Mesir dan Jamaat-e-Islami di Pakistan menyokong alternatif totalistik dan teokratik kepada ideologi politik sekular. Kadangkala dipanggil Islamis, mereka melihat nilai kebudayaan Barat sebagai ancaman, dan menggalakkan Islam sebagai penyelesaian komprehensif kepada persoalan harian umum dan peribadi. Di negara seperti Iran, gerakan revolusi menggantikan rejim sekular dengan negeri Islam, manakala kumpulan transnasional seperti al-Qaeda Osama bin Laden terlibat dengan pengganasan untuk mencapai matlamat mereka. Berbeza pula dengan gerakan liberalisme Islam yang cuba untuk menyelaraskan tradisi keagamaan dengan norma moden pemerintahan sekular dan hak asasi manusia. Penyokongnya mengatakan bahawa terdapat berbagai cara untuk membaca teks suci Islam, dan menekankan perlunya meninggalkan ruang untuk "pemikiran bebas pada perkara keagamaan".[118]
Kritikan terhadap Islam masa kini termasuk tuduhan bahawa Islam tidak bertoleransi terhadap kritikan dan syariat Islam terlalu keras pada orang murtad. Pengkritik seperti Ibn Warraq mempersoalkan kemoralan al-Qur'an, mengatakan bahawa kandungannya mewajarkan penganiayaan terhadap wanita dan menggalakkan komen antisemitik oleh ahli teologi Muslim.[119] Ada juga penulis yang mengkritik Islam (dan agama lain) sebagai seksis, tiada toleransi dan suka berperang. Dakwaan seumpama itu dipertikaikan oleh penulis Muslim seperti Fazlur Rahman,[120] Syed Ameer Ali,[121] Ahmed Deedat[122] dan Yusuf Estes.[123] Yang lain seperti Daniel Pipes dan Martin Kramer lebih memfokuskan pada kritikan penyebaran fundamentalisme Islam, satu bahaya yang mereka rasakan telah diabaikan.[124] William Montgomery Watt dan Norman Daniel bagaimanapun menyangkal banyak kritikan sebagai produk mitos dan polemik lama.[125] Kebangkitan Islamofobia, menurut Carl W. Ernst, telah menyumbangkan kepada pandangan negatif mengenai Islam dan Muslim di Barat.[126]
[sunting] Mazhab
- Rencana utama: Cabang dan mazhab Islam
[sunting] Sunah
- Rencana utama: Ahli Sunah Waljamaah
Sunah (atau Sunni) percaya bahawa empat khalifah pertama merupakan pewaris benar kepada Nabi Muhammad s.a.w.; kerana Allah tidak menunjukkan mana-mana ketua tertentu untuk mewarisinya, ketua itu perlu dipilih.[127] Sunah mengakui empat mazhab (aliran pemikiran) utama yang sah: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Keempat-empat mazhab ini menerima kesahihan yang lain dan seorang Muslim boleh memilih mana-mana yang menyenangkannya,[129]. Terdapat juga gerakan ultra-ortodoks di dalam Sunah, contohnya Salafi yang mengambil generasi pertama Muslim sebagai model teladan.[130]
[sunting] Syi'ah
- Rencana utama: Syiah
- Lihat juga: Pewaris kepada Nabi Muhammad
[sunting] Kesufian
- Rencana utama: Kesufian
[sunting] Lain-lain
Khawarij adalah mazhab yang berasal pada zaman awal Islam. Rumpun Khawarij yang masih hidup ialah Ibadi. Tidak seperti kebanyakan kumpulan Khawarij, Ibadi tidak menganggap Muslim berdosa sebagai kafir. Imam merupakan topik penting dalam kesusasteraan hukum Ibadi, yang mensyaratkan bahawa ketua patut dipilih menurut hanya pengetahuan dan kewarakannya, dan hendaklah disisihkan jika bertindak zalim. Kebanyakan Muslim Ibadi tinggal di Oman dengan sedikit komuniti di Afrika Utara.[137]Ahmadiyyah merupakan satu gerakan yang muncul di akhir abad ke-19, bermula dari kehidupan dan ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Beliau mengaku sebagai Mujaddid abad ke-14 takwim Islam, Al-Masih dan Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.[138][139] Ahmadi menekankan kepercayaan bahawa Islam ialah hukum terakhir kemanusiaan dan keperluan mengembalikan intipati sebenarnya, yang telah hilang ditelan zaman. Ahmadi melihat diri mereka sebagai pendahulu pemulihan dan penyebaran aman Islam.[140] Terdapat sekatan undang-undang terhadap Ahmadi di beberapa negara Muslim, khususnya Pakistan.[141]
Terdapat juga Muslim yang menolak Hadith, dipanggil golongan al-Quran sahaja atau anti-Hadith.
[sunting] Demografi
- Rencana utama: Dunia Islam dan Ummah
- Lihat juga: Islam mengikut negara
Majoriti Muslim tinggal di Asia dan Afrika.[146] Sekitar 62% Muslim menetap di Asia, dengan lebih 683 juta penganut di Indonesia, Pakistan, India dan Bangladesh.[147][148] Di Timur Tengah, negara bukan Arab seperti Turki dan Iran adalah negara majoriti Muslim terbesar; di Afrika, Mesir dan Nigeria memiliki masyarakat Muslim teramai.[149]
Kebanyakan anggaran menyatakan yang Republik Rakyat China memiliki antara 20 hingga 30 juta Muslim (1.5% hingga 2% penduduk).[150][151][152][153] Bagaimanapun, data daripada International Population Center San Diego State University menunjukkan bahawa China memiliki 65.3 juta Muslim.[154] Islam ialah agama kedua terbesar selepas Kristian di banyak negara Eropah,[155] dan sedang menghampiri status tersebut di benua Amerika, dengan antara 2.45 juta dan kira-kira 7 juta Muslim di Amerika Syarikat.[9][156]
[sunting] Kebudayaan
- Rencana utama: Kebudayaan Islam
[sunting] Masjid
- Rencana utama: Masjid
[sunting] Seni
- Rencana utama: Kesenian Islam
[sunting] Takwim
- Rencana utama: Takwim Hijrah
Hari suci Islam jatuh pada tarikh tetap dalam takwim qamari, yang bermakna mereka terjadi pada musim berlainan pada tahun berlainan dalam Kalendar Gregory. Perayaan Islam yang terpenting ialah Hari Raya Aidilfitri (B. Arab: عيد الفطر) pada 1 Syawal, yang menandakan berakhirnya bulan berpuasa Ramadan, dan Hari Raya Aidiladha (B. Arab: عيد الأضحى) pada 10 Zulhijah, serentak dengan haji ke Makkah.[160] Hari dalam takwim Islam bermula pada waktu maghrib.[161]
[sunting] Agama lain
- Rencana utama: Islam dan agama lain
Hukum Islam membahagikan bukan-Muslim kepada beberapa kategori, bergantung pada hubungan mereka dengan negeri Islam. Kristian dan Yahudi yang hidup di bawah pemerintahan Islam dikenali sebagai zimmi ("orang yang dilindungi"). Menurut aturan ini, keselamatan peribadi dan harta zimmi dijamin dengan syarat mereka membayar ufti (jizyah) kepada kerajaan Islam. Status ini turut diberikan kepada orang Majusi dan kadangkala orang Hindu, tetapi bukan kepada ateis atau agnostik.[164] Mereka yang hidup di tanah bukan-Muslim (dar al-harb) dikenali sebagai harbi, dan sebaik memasuki pakatan dengan negeri Muslim dikenali sebagai ahl al-ahd. Mereka yang menerima jaminan keselamatan semasa tinggal buat sementara waktu di tanah Muslim dikenali sebagai ahl al-amān. Kedudukan mereka adalah sama seperti zimmi kecuali mereka tidak perlu membayar jizyah. Orang yang bersetuju gencatan senjata (ahl al-hudna) adalah yang tinggal di luar wilayah Muslim dan bersetuju untuk menahan diri dari menyerang Muslim.[165][166] Murtad dari Islam ditegah, dan boleh dihukum bunuh.[167]
Gerakan Alevi, Yazidi, Duruzi, Ahmadiyyah, Bábí, Bahá'í dan Barghawata sama ada berpunca dari Islam atau berkongsi sesetengah kepercayaan dengan Islam. Sesetengah menganggap diri mereka berbeza manakala yang lain menganggap masih bermazhab Islam walaupun berkontroversi dalam sesetengah kepercayaan mereka dengan Muslim aliran utama. Sikhisme, diasaskan oleh Guru Nanak pada lewat abad ke-15 di Punjab, mengandungi aspek kedua-dua Islam dan Hinduisme.[168]
0.1. Risalah Islam
Label: 0.0. ISLAM
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)